Wiji Thukul, Film ”Istirahatlah Kata-Kata”, dan Swiss
Tak banyak orang yang mengetahui bahwa pada bulan September ini, 69 tahun yang lalu, draf Deklarasi Universal HAM untuk pertama kalinya diajukan dalam pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ada 50 negara peserta yang ikut membahas draf itu. Kemudian, pada 10 Desember 1948, draf resmi diterima oleh Majelis Umum PBB. Peristiwa ini sangat bersejarah karena untuk pertama kalinya komunitas internasional mengakui ada hak-hak dasar yang melekat dalam diri manusia sejak bayi hingga ia mati. Hak-hak tersebut tak bisa dikurangi oleh otoritas apa pun. Beberapa di antaranya ialah hak untuk hidup serta hak atas kebebasan.
Maka, mengingat posisi bulan September yang cukup penting itu, Kompas kali ini menurunkan Di Balik Berita mengenai peliputan yang juga berkaitan dengan perjuangan penegakan HAM di Tanah Air.
Kisah yang disampaikan dalam Di Balik Berita edisi kali ini terjadi pada tahun lalu, yakni ketika berlangsung pemutaran perdana film mengenai potongan perjalanan hidup Wiji Thukul, aktivis sekaligus penyair yang sampai sekarang tak diketahui rimbanya atau hilang. Pemutaran film berjudul Istirahatlah Kata-Kata itu berlangsung di Festival Film Internasional Locarno, Swiss. Dalam versi asing, film karya sutradara Yosep Anggi Noen itu diberi judul Solo, Solitude. Produser film, Yuli Evina Bhara, lewat Twitter, menyebut pemutaran perdana di Locarno tak ubahnya kelahiran seorang bayi. Dari pemutaran perdana itulah, Istirahatlah Kata-Kata dikenal publik untuk pertama kalinya.
Keberangkatan menuju Locarno dilakukan pada hari Minggu, 7 Agustus 2016. Ada enam orang yang berangkat. Selain saya selaku wartawan peliput dari Kompas, mereka adalah Mbak Evina; sang sutradara Anggi; pemeran Sipon (istri Wiji), yaitu Marissa Anita; Ahmad Mahendra, Kepala Subdirektorat Program Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kemdikbud; serta Abduh Aziz yang waktu itu baru saja diangkat sebagai Direktur Utama Perum Produksi Film Negara (PFN). Pemeran Wiji, Gunawan Maryanto, tidak ikut berangkat ke Locarno karena ada kegiatan lain.
Dari Bandara Soekarno-Hatta, pesawat menuju Dubai. Kemudian, dari salah kota penting di Uni Emirat Arab ini, kami melanjutkan penerbangan ke Milan, Italia. Perjalanan diteruskan via darat dari Milan di Italia menuju Locarno di Swiss selatan. Dengan bus besar yang disediakan panitia Festival Film Internasional Locarno, waktu tempuh rute darat ini sekitar dua jam.
Pemandangan indah tersaji selama perjalanan. Cuaca cerah musim panas mengiringi perjalanan kami. Pegunungan, terowongan yang menembus perut bukit, serta air danau yang bening memanjakan mata kami yang lelah setelah menempuh perjalanan berjam-jam dari Soekarno-Hatta.
(Suasana di kawasan Italia utara dalam perjalanan darat dari Milan (Italia) menuju Locarno (Swiss selatan) tanggal 8 Agustus 2016. Kompas/A Tomy Trinugroho)
Tanpa terasa, kami tiba di Locarno, kota mungil yang terletak di tepi Danau Maggiore. Meskipun mungil, mobil Ferrari, Porsche, dan Lamborghini berseliweran di kota ini.
Udara yang sejuk, cuaca cerah, dan jalanan yang rapi dan bersih membuat Locarno terasa sangat cocok untuk berlibur dan menenangkan diri. Kondisinya tentu saja sangat jauh berbeda dengan Milan, kota besar yang sibuk dan sangat ramai.
Bus mengantar kami ke sekretariat panitia penyelenggara Festival Film Internasional Locarno. Kami melakukan registrasi. Marissa yang mahir berbahasa Italia membantu kami semua menyelesaikan urusan dengan cepat.
Berada di Swiss selatan, Locarno memang memiliki budaya Italia. Bahasa yang dipakai warga kota itu adalah bahasa Italia.
Dari sekretariat, setelah selesai melakukan registrasi, kami menuju hotel. Kami menggunakan bus yang disediakan untuk mengantar anggota delegasi. Setiba di hotel yang terletak di lereng bukit dan meletakkan barang-barang di kamar, kami dapat sejenak beristirahat. Saya sekamar dengan Anggi.
Perdana
Film Istirahatlah Kata-Kata diputar perdana (premiere) pada tanggal 9 Agustus 2016. Beberapa jam menjelang pemutarannya di salah satu studio dalam Festival Film Internasional Locarno, Anggi agak gelisah di kamar.
Rupanya, ia tegang menjelang premiere dari salah satu karyanya. Ketegangan pemuda asal DI Yogyakarta ini dimuat dalam Nama dan Peristiwa harian Kompas, 13 Agustus 2016. Adapun berita pemutaran perdana dimuat pada tanggal 10 Agustus 2016.
Berikut isi tulisan mengenai pemutaran perdana Istirahatlah Kata-Kata dalam Harian Kompas edisi 10 Agustus 2016:
”Istirahatlah Kata-Kata” Memukau
Film Istirahatlah Kata-Kata mendapatkan apresiasi positif dari para penikmat film di Festival Film Internasional di Locarno, Swiss, Selasa (9/8). Mereka menyebut film yang disutradarai Yosep Anggi Noen itu indah karena, antara lain, menampilkan bentuk-bentuk simbolik dari pesan yang diusung.
”Namun, apakah kaum muda di Indonesia tahu cerita akibat ketidakadilan itu?” tanya seorang penonton dalam sesi tanya jawab pascapemutaran perdana Istirahatlah Kata-Kata di La Sala, Locarno.
Film itu dibuat berdasarkan inspirasi dari riwayat Wiji Thukul ketika menghindari kejaran aparat pascakerusuhan 27 Juli 1996. Wiji Thukul pergi menuju Pontianak, Kalimantan Barat, setelah peristiwa penyerangan kantor DPP PDI itu.
Secara resmi dilaporkan hilang pada tahun 2000, keberadaan Wiji Thukul hingga saat ini masih misteri.
Menanggapi pertanyaan penonton itu, produser Yulia Evina Bhara mengatakan, Istirahatlah Kata-Kata dibuat justru untuk memastikan bahwa potongan sejarah tentang orang hilang dapat diketahui oleh generasi muda Indonesia.
Yulia berdiri di depan untuk menjawab pertanyaan audiens bersama sutradara Anggi serta Marissa Anita, pemeran Sipon, istri Wiji Thukul.
Bahasa simbol
Pemutaran perdana film ini dihadiri sekitar 500 orang di La Sala. Mereka tidak beranjak meninggalkan tempat duduk selama film berdurasi 97 menit itu diputar. Saat adegan di pengujung, yakni Sipon menyapu lantai ruang makan di rumahnya dan Wiji Thukul tidak kembali lagi ke ruangan itu, berakhir, penonton bertepuk tangan meriah.
Penonton lainnya, Sabrina asal Swiss, mengaku tersentuh dengan bahasa-bahasa simbol dalam film itu. Ia menilai penggunaan pensil (dipakai Wiji Thukul saat menulis puisi di Pontianak) sebagai simbol perlawanan untuk mendapatkan kebebasan berekspresi.
Istirahatlah Kata-Kata bersaing dengan 14 film lain dari sejumlah negara di kategori Concorso Cineasti del presente. Kategori ini disediakan bagi satu atau dua film panjang pertama karya sutradara dari sejumlah negara. Film-film ini dapat berbiaya rendah, fiksi atau dokumenter, tetapi memiliki kesamaan, yakni mempunyai sudut penuturan yang khas.
Pada empat tahun lalu, Anggi juga mengirimkan film panjangnya, Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya, ke Festival Film Internasional di Locarno, di kategori yang sama.
Setelah pemutaran perdana itu, Istirahatlah Kata-Kata secara resmi beredar. Pada awal 2017, film itu diputar di Indonesia, di jaringan bioskop. Ada pula acara nonton bersama yang memutar film tersebut. Film Istirahatlah Kata-Kata kemudian ditayangkan di sejumlah kota, mulai dari kota-kota di Pulau Sumatera, Jawa, hingga di Sulawesi.
Tentu saja, Istirahatlah Kata-Kata hanya awal sehingga semoga dapat menjadi inspirasi bagi para seniman film untuk mau menggali kisah-kisah perjuangan penegakan hak asasi ataupun demokrasi di Indonesia pada masa lalu. Generasi muda sekarang perlu mengetahui bahwa kebebasan berbicara yang sekarang dinikmati bukan hadiah, tetapi diperoleh berkat pengorbanan orang-orang yang rendah hati dan tidak mengejar nama tenar seperti Wiji Thukul.
Lewat film seperti itu pula, Indonesia dapat dikenal luas oleh dunia. Cara ini merupakan salah satu bentuk strategi diplomasi budaya, demikian kata Mahendra (Kepala Subdirektorat Program Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kemdikbud) di tepi Danau Maggiore setahun silam.