Ketika ”Kompas” Memihak Nasib dan Masa Depan Petani
Setelah pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi beras, Agustus lalu, beberapa hari berselang saya menerima pesan singkat dari Teguh Prasetyo (22), petani juga pengelola penggilingan padi di Desa Mranak, Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. ”Kalau ke Demak, mampir ke Mranak, ya, Mas,” tulisnya singkat.
Teguh Prasetyo, kenalan saya yang bergelut di bidang pertanian padi, merupakan anak muda yang hebat. Saya katakan hebat karena, meski alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB), dia lebih memilih meneruskan usaha pertanian milik ibunya, Kasmi.
Mencari petani muda, bagi saya—yang sudah hampir 25 tahun meliput pertanian di sejumlah daerah di Jawa Tengah—seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Petani muda semakin langka, bahkan lebih dari 70 persen narasumber saya merupakan petani yang tidak muda lagi.
Mencari petani muda, bagi saya—yang sudah hampir 25 tahun meliput pertanian di sejumlah daerah di Jawa Tengah—seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, di Indonesia, dari sekitar 26,3 juta rumah tangga petani, sekitar 65 persennya sudah berusia di atas 45 tahun dan nyaris tidak ada proses regenerasi. Petani seperti Teguh lebih langka lagi karena dia berpendidikan tinggi.
Bukti kerja nyata pemerintah di sektor pertanian, bagi saya, jelas harus dilihat dari petani. Jadi, peliputan pertanian utamanya harus meliputi dua hal. Pertama, mengetahui apa yang dibutuhkan petani supaya penghasilan mereka meningkat. Kedua, adalah untuk mengetahui apakah kebijakan pemerintah benar-benar bermanfaat bagi petani dalam jangka panjang.
Maka, ketika saya bertemu Teguh, awal September, sambil duduk-duduk di tumpukan karung beras di penggilingan padi UD Padi, dia menilai harga eceran tertinggi (HET) beras itu tidak berpengaruh, baik di tingkat petani maupun di tingkat pedagang beras.
Pemerintah memang telah menetapkan HET beras medium Rp 9.450 per kilogram dan beras premium sebesar Rp 12.800 per kilogram.
Kenapa HET tidak berpengaruh? Bagi Teguh, saat ini kebutuhan beras sangat tinggi. Di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, saja, saat dia mengirim 30 ton beras, kurang dari dua jam sejak tiba, langsung habis terjual. Harga beras medium di Cipinang sekitar Rp 9.500 per kilogram.
HET beras juga tidak ada artinya bagi peningkatan pendapatan petani. HET hanya menjaga stabilitas inflasi. Apa fungsi HET beras? Fungsinya, lebih bagi pemerintah yang ingin menjaga stabilitas harga di konsumen.
Kalau pemerintah mau mendorong peningkatan pendapatan petani, sebaiknya harga pembelian pemerintah atas gabah dihapus saja. Perdagangan gabah sebaiknya juga diserahkan kepada mekanisme pasar. Jika gabah berkualitas tinggi, ya, harga jualnya tinggi, begitu pula sebaliknya.
Harus diakui, pemerintah sudah pernah berniat baik membantu petani. Pada 2010, misalnya, pemerintah menyediakan mesin pengering gabah di Demak, Pati, dan Grobogan, tetapi mesin itu kerap rusak.
Menurut Teguh, mesin pengering gabah senilai Rp 900 juta itu untuk membantu petani memproses gabahnya sendiri agar nilainya meningkat. Kalau hanya menjual gabah kering sawah saat panen raya, nilainya per kilogram Rp 2.300. Akan tetapi, setelah dikeringkan, harganya menjadi Rp 3.000 per kilogram.
Persoalannya, mesin-mesin itu kerap rusak karena spesifikasi mesin dan rentannya komponen mesin. Jadi, kesimpulannya, tidak jarang penerapan teknologi di lapangan jauh dari kontrol pemerintah.
Harus kreatif
Dari pengalaman saya meliput pertanian dan bertemu para petani yang sederhana, wartawan harus mengubah konsep bertanya.
Lebih baik dialirkan saja pertanyaan-pertanyaan sederhana, seperti ”pripun kabare, Pak?” (bagaimana kabarnya, Pak) dan ”kados pundi panen pantune?” (bagaimana panen padinya, untung atau rugi). Itu adalah contoh pertanyaan sederhana. Pertanyaan yang tidak menggurui kiranya mampu melahirkan cukup banyak cerita keluh kesah petani kecil, yang sesungguhnya merupakan pahlawan pangan ini.
Sebab, jangankan menulis artikel yang berpengaruh. Kedatangan wartawan untuk mendengarkan saja sangat dibutuhkan petani karena seolah meringankan beban hidup mereka. Kesediaan wartawan untuk mendengarkan keluh kesah petani sedikit lebih lama ternyata sangat mereka butuhkan. Bagi saya, liputan petani bahkan adalah bagian dari menyampaikan amanat hati nurani rakyat.
Kedatangan wartawan untuk mendengarkan saja sangat dibutuhkan petani karena seolah meringankan beban hidup mereka.
Terlebih lagi, pada kenyataannya, sehari-hari mereka sudah terlalu banyak ditekan dan dijejali janji-janji oleh pejabat. Petani juga dipusingkan oleh petugas penyuluh yang terkadang teorinya dimentahkan oleh anomali iklim yang tidak selamanya bersahabat dengan petani.
Saat bertemu dengan Ketua Gabungan Kelompok Tani Lanjar Mulia, Hardiono, di Desa Ngaringan, Kabupaten Grobogan, pekan pertama September, dia menyebut, untuk bertahan hidup, petani mesti kreatif. Di Ngaringan yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Blora, para petani beramai-ramai memelihara sapi potong.
Budidaya sapi potong dipilih karena Ngaringan termasuk desa yang mengalami kekeringan paling awal tiap musim kemarau di Jawa Tengah. Jadi, tanaman jagung setelah panen padi pada musim tanam kedua dapat langsung menjadi sumber makanan pokok sapi. Di samping itu, desa ini dekat dengan pasar sapi besar di Wirosari. Petani dapat lebih mudah membeli bibit sapi serta lebih mudah saat menjual sapinya di pasar itu.
Ketika dikunjungi di rumahnya di Dusun Payasan, Ngarangan, sejauh 80 kilometer arah timur Kota Semarang, Hardiono antusias mengajak saya ke proyek Bendung Dumpil di Desa Arap-Arap. Bendung senilai Rp 100,2 miliar itu sedang digarap dan akan selesai pada akhir 2018.
Apabila Bendung Dumpil berfungsi, areal sawah yang dilayani irigasi makin luas, dari hanya 4.000 hektar menjadi 12.000 hektar di sejumlah desa di Grobogan. Bendung ini memperoleh pasokan air dari Waduk Kedungombo melalui Sungai Lusi.
Menurut Hardiono, bendung itu sudah rusak sejak tahun 1985. Tiga tahun berselang, dia sudah mengusulkan supaya bentung itu diperbaiki. Namun, keuangan negara saat itu sedang seret. Pada 2003, ketika Menteri Pertanian Bungaran Saragih datang ke desanya, Hardiono menyampaikan usul serupa. Dan, ternyata, baru pada 2016 perbaikan Bendung Dumpil dimulai.
Dari persoalan lambatnya perbaikan Bendung Dumpil ini, ternyata benar juga kata Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Grobogan Wardi (78) bahwa upaya meningkatkan kesejahteraan petani tidak semata mengutak-atik HPP atau HET beras. Pada masa Orde Baru, kata dia, ada yang namanya koperasi unit desa (KUD) yang peranannya begitu besar.
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani tidak semata mengutak-atik HPP atau HET beras.
KUD menjadi wadah anggaran subsidi sarana produksi pertanian yang langsung dirasakan petani. Lembaga itu juga menampung gabah hasil panen petani. KUD kala itu menjadi fasilitas penting yang menghubungkan petani dengan konsumen. Sayangnya, karena banyak pengurus KUD yang memakai uang koperasi untuk kepentingan pribadi, akhirnya banyak koperasi yang kolaps.
Kini, petani pesimistis KUD bisa bangkit. ”KUD mungkin bisa bangkit, tetapi harus di tangan petani yang jadi pengurusnya. Petani itu juga harus orang baik,” ujar Wardi berkelakar.
Wardi, atau populer dipanggil Mbah Wardi, kerap mengingatkan, HPP petani sebaiknya ditinjau. Pasalnya, HPP itu mensyarakatkan kehadiran pemerintah ketika petani panen raya harus kuat. Sementara Perum Badan Urusan Logistik (Bulog), sebagai lembaga yang bertugas menyerap gabah dari petani, belum maksimal dalam menjalankan perannya.
Di Grobogan, misalnya, kemampuan Bulog menyerap hasil panen padi petani tidak lebih dari 10 persen. Itu sama saja hanya membeli gabah dari petani satu kecamatan. Padahal, di Grobogan, sekali musim panen bisa mencapai 700.000 ton.
Petani lahan payau
Bagi rekan wartawan yang jauh lebih muda dari saya, meliput pertanian ternyata juga meninggalkan kesan mendalam. Bagi Aditya Putra Perdana, atau yang biasa disapa Adit, pertanian adalah bidang yang juga dia liput sejak awal bertugas di Kota Semarang.
Apalagi, di sekitar Semarang terdapat sejumlah sentra pertanian, sebut saja Kabupaten Demak, Kudus, Pati, dan Grobogan. Bahkan, di Kota Semarang pun masih ada lahan pertanian. Namun, baginya, melihat langsung lahan pertanian yang berjarak kurang dari 700 meter dari pantai menjadi pengalaman tersendiri.
Pagi itu, Jumat (1/9), bertepatan dengan hari raya Idul Adha, merupakan hari ketiga dia berada di Kota Tegal. Sejak Rabu, dia meliput kelanjutan operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno.
Ketika bersiap kembali ke Semarang, pesan masuk dari Kepala Biro Kompas Jawa Tengah Gregorius Magnus Finesso. Isinya, arahan berupa liputan feature atau berita khas tentang para petani di Desa Nyamplung Sari, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, Jateng.
Pada pertengahan Agustus 2017, Kompas pernah memuat berita tentang panen raya di desa di pesisir Laut Jawa. Panen itu menarik karena untuk pertama kalinya hasil panen mereka optimal setelah menanam benih Inpari Unsoed 79 Agritan yang dikembangkan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Sebelumnya, selama puluhan tahun, para petani panen seadanya karena lahan mereka berada di area dengan salinitas atau tingkat keasinan tinggi. Lahan tersebut biasa disebut lahan salin. Terlebih lagi, lahan salin letaknya paling jauh dari sumber irigasi. Saat kekeringan, mereka hanya mendapat air ”sisa”.
Rasa penasaran tumbuh karena selama ini lahan pertanian yang kerap diliput Kompas biasanya berjarak cukup jauh dari pesisir.
Mengendarai mobil operasional kantor, sekitar pukul 09.30, Adit meninggalkan Kota Tegal melalui jalur pantura ke arah timur. Dia memakai aplikasi Google Maps untuk mencari tahu lokasi Desa Nyamplung Sari, Petarukan, Pemalang, yang berjarak sekitar 45 kilometer (km) dari Kota Tegal.
Hanya dalam satu jam perjalanan, Desa Nyamplung Sari, yang terletak di sebelah utara jalan pantura berhasil dijangkau. Akses ke desa tersebut berupa jalan beraspal selebar 8 meter. Di beberapa titik, kondisi jalan berupa bebatuan sehingga kendaraan harus berjalan perlahan.
Dia pun bertanya ke beberapa warga di mana letak rumah kepala desa. Informasi detail memang lebih mudah didapat dari kepala desa atau tokoh masyarakat. Adapun kantor desa tutup lantaran sedang hari libur nasional. Berdasarkan informasi dari sejumlah warga setempat, akhirnya Adit bertemu dengan Kepala Desa Nyamplung Sari, Kholif Sujai.
Meski sedang beristirahat, Kholif menerima kedatangannya. Mereka pun berbincang tentang segala hal di Desa Nyamplung Sari, termasuk potensi pertanian dan pariwisata. Hasil perbincangan tersebut pun menjadi pijakan awal sebelum melihat langsung kondisi lahan pertanian di lahan salin.
Dari Kholif, Adit tahu siapa yang perlu ditemui untuk berbincang lebih lanjut tentang usaha para petani lahan payau di Desa Nyamplung Sari. Dia disarankan bertemu Cokrowolo, yang tidak lain adalah Ketua Kelompok Tani Sidomakmur Desa Nyamplung Sari.
Sempat bertanya kepada sejumlah warga, dia akhirnya tiba di rumah yang dituju. Jaraknya sekitar 400 meter dari Pantai Joko Tingkir. Setelah memperkenalkan diri, Adit dipersilakan masuk.
Kalkulator dan buku catatan tergeletak di meja ruang tamu rumah Cokrowolo. Setelah panen pada pertengahan Agustus lalu, Cokrowolo kini sibuk mengurusi keuangan kelompok tani yang dipimpinnya. Dia berharap panen raya lalu menjadi titik awal kesejahteraan para petani lahan salin.
Tidak optimal
Kepada Adit, Cokrowolo mengisahkan, selama ini para petani lahan payau tidak dapat bercocok tanam dengan optimal. Di lahan dengan kadar keasinan tinggi, hasil 4 ton gabah kering panen (GKP) per hektar sudah maksimal. Padahal, di lahan biasa, masih di desa yang sama, umumnya hasil panen lebih dari 8 ton GKP per hektar.
Menurut dia, dari total biaya produksi sekitar Rp 9 juta per ha, pendapatan petani biasanya pas-pasan atau hanya cukup untuk menutup biaya produksi. Bahkan, tak jarang mereka merugi. Sebagian petani mengalihfungsikan lahan mereka menjadi tambak. Namun, sebagian petani tetap bertahan karena merasa hanya tanilah sumber mata pencarian mereka.
Karena itu, panen pada pertengahan Agustus 2017 dapat dikatakan sebagai momen bersejarah. Dengan benih Inpari Unsoed 79 Agritan, lahan yang selama ini mereka tanami bisa menghasilkan 8 ton GKP per hektar, atau dua kali lipat dari panen biasanya.
Tawaran Cokrowolo untuk mengantar Adit menuju lokasi panen raya langsung disambar. Dengan sepeda motor, Cokrowolo menunjukkan arah. Lahan itu berjarak sekitar 200 meter saja dari rumah Cokrowolo.
Begitu tiba, terlihat damen atau jerami padi berwarna kuning kecoklatan, setinggi sekitar 30 sentimeter, masih tegak berdiri di hamparan sawah itu. Itu tanda belum lama ini ada panen raya di lahan tersebut. Dari 450 hektar lahan pertanian di Desa Nyamplung Sari, 150 hektar di antaranya merupakan lahan dengan tingkat salinitas tinggi.
Lahan yang paling utara bersebelahan langsung dengan tambak. Di dekatnya, juga menjulang tinggi tanaman bakau yang merupakan tanaman khas wilayah pesisir. Namun, dengan ditanami benih unggul yang dikembangkan Unsoed, seakan tak ada masalah saat sawah dan tambak berdampingan.
Petani merupakan sosok sentral dalam ketahanan pangan walau nasib petani justru paling miris. Berada di tingkat pertama dalam rantai produksi, kehidupan petani penuh risiko. Mereka juga tak punya kuasa untuk menentukan harga. Sebab, umumnya mereka menjual kepada para penebas yang benar-benar tahu harga di pasar. Penebas, misalnya, tidak bekerja sekeras petani, tetapi pendapatannya lebih tinggi.
Petani merupakan sosok sentral dalam ketahanan pangan walau nasib petani justru paling miris.
Meliput tentang kehidupan petani di lahan salin menjadi pengalaman tersendiri bagi Adit. Sebelumnya, dia juga pernah meliput nasib miris petani lainnya. Misalnya, para petani di Kabupaten Pati yang merugi total karena lahannya kebanjiran saat musim hujan. Juga, petani bawang merah di Kabupaten Brebes yang terpaksa merawat hasil panen untuk dijadikan bibit karena kualitasnya buruk.
Dari sekian banyak kisah yang saya dan Adit temukan saat meliput pertanian, terlihat sekali kalau sebagian besar petani belum sejahtera. Lagi pula, bagaimana bisa sejahtera kalau, berdasarkan Sensus Pertanian 2013, petani dengan luas lahan kurang dari 2 hektar mencapai 22,9 juta rumah tangga atau 87,63 persen dari total rumah tangga petani. Mayoritas petani di antaranya bahkan hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar.
Para petani tidak memiliki posisi tawar yang bagus serta selalu dibayangi risiko puso. Hidup mereka seolah tidak pernah tenang. Padahal, setelah republik ini merdeka selama puluhan tahun, sudah saatnya petani berdaya dan sejahtera.