Mengemban Misi untuk Rohingya Bersama A-1316, Hercules TNI AU
WINDBREAKER, balaclava, dan kantong tidur tak cukup mampu menghadirkan kehangatan di dalam kabin C-130 Hercules TNI Angkatan Udara yang begitu dingin. ”Kira-kira 5 derajat celsius!” seru seorang kru di antara deru mesin pesawat yang menyusup ke dalam kabin.
Saat itu, pesawat tengah melintas dengan ketinggian 19.000 kaki di atas Teluk Andaman menuju Chittagong, kota terbesar kedua di Banglades. Di tengah deraan hawa dingin itu beberapa anggota Pasukan Khas TNI Angkatan Udara memasukkan tangan mereka di antara bal-bal berisi selimut.
Kira-kira 5 derajat celsius!
Saya pun mencobanya, ternyata memang terasa lebih hangat. Ini bukan penerbangan first class di sebuah maskapai terkemuka sehingga suhu kabin pesawat tidak dapat diatur seenaknya. Jadi, satu jam terakhir dari 4,5 jam penerbangan dari Pangkalan Udara Sultan Iskandar Muda, Aceh, menuju Chittagong adalah pertarungan melawan hawa dingin.
Namun, saat mengingat kembali jam-jam menjelang kepastian keberangkatan ke Chittagong, hawa dingin di kabin Hercules itu adalah sebuah ”kehangatan”.
Menjelang misi
Setelah upacara singkat melepas misi kemanusiaan Indonesia untuk migran Rohingya di Banglades yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Pangkalan Udara TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Rabu (13/9), usai, mesin-mesin yang memutar baling-baling pesawat mulai menderu. Raungan empat C-130 Hercules TNI Angkatan Udara memekakkan telinga.
Saat deru mesin itu semakin keras dan pintu-pintu tertutup, kabut seputih asap segera deras mengalir dari lubang-lubang saluran pendingin ruangan. Hawa kabin C-130 Herkules TNI Angkatan Udara yang semula hangat perlahan berubah menjadi dingin.
Saat roda-roda pendarat pesawat dengan nomor penerbangan A-1316 itu meninggalkan landasan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, kepulan putih yang semula memenuhi ruangan itu perlahan hilang. Mendekati ketinggian kurang lebih 1.500 kaki, kabin pun bersih dari asap semburan alat pendingin.
Pesawat pun terus menanjak, menembus gumpalan-gumpalan awan yang membuat laju Herkules sedikit berguncang. Namun, empat mesin Allison T56 turboprops yang memberi tenaga Hercules ini mampu dengan garang menunaikan tugasnya untuk membawa C-130 itu melintasi angkasa menuju ke arah Pangkalan Udara Sultan Iskandar Muda, Aceh.
Pagi itu, kabin A-1316 tidak dipenuhi peterjun atau kargo militer. Berbeda dari biasanya, kabin pesawat militer itu dipenuhi kargo berupa selimut, tenda pengungsi, dan paket bantuan lain seberat 7 ton.
Selimut-selimut itu dikemas dalam bentuk bal berukuran lebih kurang 1,5 meter kubik dan disusun memanjang, sekitar 9 meter dengan tinggi lebih kurang 2 meter. Konfigurasi itu menjadi tempat yang nyaman untuk beristirahat atau sekadar membaringkan tubuh karena waktu tempuh Halim-Sultan Iskandar Muda cukup lama, yakni 4,5 jam.
Lepas dari semua itu, perjalanan pengiriman bantuan untuk migran Rohingya di Banglades tersebut merupakan kesempatan sekaligus pengalaman sangat berharga. Tidak setiap wartawan mendapat kesempatan untuk ikut dalam misi pertama. Apalagi, saya bukan wartawan dari biro Istana yang memiliki paspor dinas.
Informasi dan penugasan untuk ikut dalam misi itu masuk melalui pesan pendek pada Selasa (12/9) siang, mendekati pukul 12.00. Sebenarnya tidak banyak waktu dan tipis kemungkinan untuk mendapatkan visa dari pemerintah Banglades karena umumnya proses pemberian visa membutuhkan waktu sedikitnya tiga hari sejak permohonan dan semua persyaratan diserahkan hingga persetujuan.
Sedikit nekat, tentu juga didukung doa dan telepon sana-sini, jalan pun mulai terbuka. Yang pertama, kepastian bahwa Kompas akan mengirim wartawan sudah disampaikan kepada pihak Istana Negara melalui biro pers Istana. Yang penting, nama sudah tercatat dulu dalam manifes mereka.
Sedikit nekat, tentu juga didukung doa dan telepon sana-sini, jalan pun mulai terbuka.
Selanjutnya, saya menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Dhaka. Sekretaris III KBRI Fajar Primananda dan Sekretaris II KBRI Dewanto Priyokusumo, yang seminggu sebelumnya saya kenal saat mengikuti lawatan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi ke Dhaka, sangat membantu.
Kepada mereka, saya sampaikan rencana bepergian ke Banglades untuk meliput pengiriman bantuan Indonesia. Fajar pun meminta sejumlah dokumen yang diperlukan. Sekitar pukul 12.30 semua dokumen, seperti foto dan fotokopi paspor, termasuk rencana kedatangan dan lama tinggal di Banglades, terkirim ke Dhaka melalui layanan surat elektronik.
Sekitar pukul 12.52, masuk pesan pendek dari Dewanto Priyokusumo, yang bertanggung jawab untuk bidang protokol dan kekonsuleran. Dia menginformasikan kalau surat rekomendasi telah siap dan, beberapa menit berikutnya, surat rekomendasi itu melayang ke Kedutaan Besar Banglades di Jakarta. Pada saat yang sama, saya telah ngebut menuju Kedubes Banglades di Kuningan.
Padatnya lalu lintas Jakarta membuat perjalanan memakan waktu sekitar satu jam. Di tengah perjalanan, anggota staf kedutaan Banglades menghubungi dan meminta saya segara datang. Tiba di kedutaan sekitar pukul 14.15, saya langsung diwawancarai. Namun, pihak kedutaan belum bisa memberi kepastian apakah visa akan diberikan atau tidak. ”Menunggu persetujuan dari Kementerian Luar Negeri di Dhaka, tetapi harap sabar dan tunggu di sini,” kata anggota staf kedutaan.
Singkat cerita, sekitar pukul 16.30, kabar baik tiba. Visa pun diberikan. Kompas pun memastikan kepada pihak biro pers Istana bahwa visa sudah diperoleh dan seorang wartawan akan turut serta.
Misi ke Chittagong
Kisah selanjutnya adalah kabin C-130 Hercules TNI Angkatan Udara yang begitu dingin saat mengudara di ketinggian 19.000 kaki di atas perairan Teluk Andaman.
Saat transit di Pangkalan Udara Sultan Iskandar Muda, Aceh, misi itu sempat dirundung ketidakpastian jam keberangkatan menuju Chittagong. Otoritas Penerbangan Banglades belum memberikan clearance karena keterbatasan kapasitas dan padatnya lalu lintas pesawat di Bandara Internasional Shah Amanat, Chittagong.
Komandan misi kemanusiaan, Marsekal Pertama Nanang Santoso mengatakan, situasi lapangan sangat dinamis, jadwal keberangkatan bisa berubah dan tidak semua pesawat, empat Hercules, dapat mengudara dengan interval waktu yang telah direncanakan. Marsma Nanang mengatakan, pihak KBRI terus berupaya agar izin dari Pemerintah Banglades dapat segera diperoleh.
Benar saja, pagi itu, dari jadwal awal terbang pada pukul 06.00, penerbangan pertama mundur hingga pukul 09.00 dan lalu menjadi pukul 12.00. Kemudian, hanya butuh waktu sekitar 15 menit, Kamis (14/9), kru dan tim telah di dalam pesawat dan Hercules pun mengudara.
Namun, hari itu, hanya dua pesawat yang memperoleh izin, A-1316 yang mengangkut selimut, tenda, dan paket lainnya serta A-1319 yang mengangkut 10.000 ton beras. Sehari berikutnya, dua pesawat lain menyusul.
Menjelang petang, sekitar pukul 17.10 WIB, pesawat pertama, yaitu A-1316, mendarat di Shah Amanat. Perlahan, pintu di bagian ekor A-1316 terbuka dan bantuan pun dikeluarkan.
Duta Besar Rina P Soemarno menyambut dengan senyum hangat. Saat petang menjelang dan lampu-lampu bandara menggantikan terang cahaya matahari, semua barang bantuan telah dikeluarkan dan diserahterimakan kepada perwakilan Pemerintah Banglades. Kerja keras banyak pihak membuat misi itu tuntas.
Beberapa hari berikutnya, perwakilan pemerintah daerah di Cox’s Bazar mengirimkan foto tenda-tenda pengungsi bantuan dari Indonesia telah berdiri di kamp-kamp penampungan. Misi kemanusiaan Indonesia telah dirasakan oleh warga Rohingya.
Pihak KBRI pun terus memantau proses pengiriman itu melalui jejaring mereka. Karena alasan keamanan dan kondisi lapangan, Pemerintah Banglades memang belum memberi izin kepada pihak-pihak luar untuk turut secara langsung membagikan bantuan.
Namun, sikap saling percaya antara Indonesia dan Banglades membuat misi itu berjalan optimal. Dan, ketika mereka mengirimkan lagi foto penyerahan paket-paket bantuan lain dari Indonesia kepada migran Rohingya, misi itu pun menjadi tuntas dengan sempurna....