Tidak Ada Berita Senilai Nyawa…
PENINGKATAN aktivitas Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, telah memancing perhatian masyarakat luas, termasuk publik internasional. Keberadaan Gunung Agung di Pulau Bali, yang merupakan destinasi wisata favorit, sejarah letusannya yang dahsyat, juga kepadatan penduduk di sekitarnya membuat aktivitas Gunung Agung menjadi sorotan.
Sebagai media nasional, harian Kompas tak ingin tertinggal dalam mewartakan peristiwa itu secara mendalam. Sejumlah wartawan dan fotografer dikirim untuk melaporkan kondisi terkini dan dinamika apa pun terkait Gunung Agung.
Di Pulau Bali, sebenarnya ada dua wartawan Kompas yang bertugas, yakni Ayu Sulistyowati dan Cokorda Yudistira. Namun, ketika aktivitas Gunung Agung meningkat signifikan, Cokorda sedang bertugas di luar negeri. Redaksi Kompas pun menerbangkan sejumlah wartawan dari luar Bali untuk membantu peliputan soal Gunung Agung.
Wartawan Kompas pertama dari luar Bali yang dikirim untuk membantu liputan di Gunung Agung adalah Angger Putranto. Sehari-hari, Angger bertugas di Banyuwangi, Jawa Timur. Ia diminta menyeberang ke Bali pada Selasa (19/9), hanya beberapa jam setelah status Gunung Agung naik dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III).
Selama beberapa hari, Angger bahu-membahu bersama Ayu melaporkan situasi terkini Gunung Agung.
Saat status Gunung Agung naik dari Siaga menjadi Awas—status gunung api tertinggi—pada Jumat (22/9), Kompas mengirimkan dua personel lain ke Karangasem.
Mereka adalah Haris Firdaus, wartawan yang sehari-hari bertugas di Yogyakarta, dan Raditya Mahendra Yasa, fotografer Kompas di Jawa Tengah. Keduanya tiba di Bali kurang dari 24 jam setelah penetapan status menjadi Awas dan langsung bergabung bersama Ayu dan Angger di Karangasem.
Sementara itu, Siwi Yunita Cahyaningrum diminta bergeser dari Malang ke Banyuwangi untuk mengantisipasi pergerakan pengungsi ke Pulau Jawa. Ayu dan Siwi Yunita yang kemudian menjadi penghubung antara teman di lapangan dan kantor pusat di Jakarta.
Keduanya tiba di Bali kurang dari 24 jam setelah penetapan status menjadi Awas.
Ada kisah di balik penetapan status Gunung Agung menjadi Awas. Ayu, misalnya, sempat dituduh menyebarkan kabar bohong. ”Mbak itu wartawan, ya. Jangan sembarangan menyebarkan status Awas. Ini kondisinya tegang,” ujar seorang anggota PMI di ruangan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Bali di Posko Tanah Ampo.
Ayu, misalnya, sempat dituduh menyebarkan kabar bohong.
Tuduhan itu terjadi setelah Ayu, yang mendapatkan kabar peningkatan status Gunung Agung, spontan mengabarkan informasi itu kepada para petugas BPBD Bali yang justru belum mendengar kabar itu. Kata Ayu, petugas BPBD Bali malah justru terlihat sedikit panik.
Kemarahan sang bapak anggota PMI, kata Ayu, baru reda setelah Angger mengirimkan video pernyataan pers ke Ayu. Setelah video itu diperlihatkan, baru kemudian sang bapak meminta maaf.
Baca: Warga Gunung Agung masih menunggu “tanda-tanda” sebelum mengungsi.
Ayu pun mengenang betapa setelah status Gunung Agung naik menjadi Awas, Jumat (22/9) malam itu, situasi di Pelabuhan Tanah Ampo menjadi terasa menegangkan. ”Ombak sekitar pelabuhan pun seakan berdebur semakin kencang,” kenang Ayu. Pak Ketut, bagian umum Kompas di Bali, yang diajak Ayu, juga merasa heran dengan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang di Tanah Ampo.
”Yang bikin merinding, jalan umum di depan posko Tanah Ampo menjadi ramai seakan siang hari. Padahal, itu tengah malam, pukul 00.00. Saya lihat mobil dan sepeda motor ngebut membabi-buta ke arah Karangasem ataupun ke arah Denpasar. Mereka ingin menjemput keluarga atau lari dari Gunung Agung,” tutur Ayu.
Jalanan dan lokasi pengungsian seketika ramai didatangi warga. Orang-orang tegang, menelepon, memeluk anak-anak mereka, dan menanti jemputan di tepi jalan. Mobil, motor, kata Ayu, ngebut hingga nyaris saling sambar di tengah jalan.
”Saya berulang kali menelepon Angger untuk memastikan keselamatan dia dan teman-teman wartawan lain di Pos Rendang,” ujar Ayu.
Baru pada Sabtu (23/9), ketegangan mereda. Karena kekuatan menyama braya, banyak warga di luar daerah Karangasem dan Klungkung membuka kos gratis, banjar-banjar dibuka, rumah hingga pekarangan yang luas diperbolehkan untuk menitipkan ternak pengungsi. Kepanikan warga pun jauh berkurang.
Berbagi tugas
Tugas kemudian dibagi. Angger diminta berjaga di Pos Pemantauan Gunung Api Agung di Kecamatan Rendang, Karangasem, yang berada di bawah pengelolaan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Dari pos ini, seluruh aktivitas Gunung Agung dipantau dari waktu ke waktu.
Sementara itu, Ayu dan Haris memantau kondisi warga pengungsi sekaligus berjaga di Pos Komando Penanganan Bencana Gunung Agung di Tanah Ampo, Karangasem. Pos komando di Tanah Ampo merupakan pusat operasi seluruh instansi yang terlibat dalam penanganan bencana Gunung Agung. Adapun Raditya ”blusukan” di kaki Gunung Agung untuk mendapatkan foto terbaik.
Beragam pengalaman menantang dialami para wartawan Kompas saat meliput Gunung Agung. Angger, misalnya. Ia memilih menginap selama berhari-hari di pos pemantauan di Rendang demi mendapatkan informasi terkini aktivitas Gunung Agung. Bersama sejumlah wartawan dari media lain, Angger ikut ”mengungsi” di pos tersebut. Ia tidur, makan, dan mandi di pos itu bersama para petugas dari PVMBG.
Menginap di posko
”Pilihan untuk menginap di pos pemantauan bukan karena Kompas tak mampu menyewa penginapan, melainkan karena saya ingin mendapatkan informasi terkini mengenai Gunung Agung,” kata Angger.
Selama liputan Gunung Agung, tim Kompas telah menyewa dua kamar di sebuah penginapan di Kabupaten Klungkung, Bali. Penginapan itu dipilih karena letaknya strategis di tengah-tengah antara pos pemantauan di Rendang dan pos komando di Tanah Ampo. Namun, kamar yang sudah disewa itu kerap dibiarkan ”menganggur” karena anggota tim harus menginap di lapangan.
Di pos pantau di Rendang, Angger dan para wartawan lain tidur beralas karpet tipis tanpa selimut, bantal, dan guling. Jika beruntung, mereka tidur di sofa.
Pos pemantauan berada di radius 12 kilometer dari puncak Gunung Agung, batas terakhir zona aman yang ditetapkan PVMBG. Hampir tiap hari, mereka ikut merasakan guncangan gempa dari Gunung Agung, baik yang lemah dan singkat maupun yang kuat dan lama.
Ketika terjadi gempa, biasanya Angger dan para wartawan berlari keluar ruangan untuk melihat Gunung Agung di arah utara pos, berharap bisa menyaksikan detik-detik letusan. ”Namun, harus saya akui, ada rasa takut saat gempa besar terjadi, apalagi kalau sampai muncul awan panas. Lagipula, saat ini saya sedang menantikan kelahiran anak pertama saya,” tutur Angger.
Untuk meningkatkan kewaspadaan, instrumen pemantau gempa dibuat sendiri. Pasalnya, belum tentu informasi kegempaan dapat langsung diterima. Jangan heran apabila Angger kemudian meletakkan sebuah botol air kemasan yang isinya tinggal separuh di samping televisi di ruang tamu pos pemantauan, tempat wartawan biasa berkumpul.
Angger kemudian meletakkan botol air kemasan yang isinya tinggal separuh di samping televisi di ruang tamu pos pemantauan, tempat wartawan biasa berkumpul.
”Pokoknya kalau airnya goyang, itu berarti gempa, ya,” ujar Angger kepada para wartawan lain. Cara memantau gempa dengan air botol itu didapat Angger dari seorang kawannya yang mengalami gempa bumi di Yogyakarta pada 2006.
Tak hanya alat pemantau gempa, para wartawan juga membuat alat pemantau arah angin. Alat ini digunakan untuk memprediksi arah sebaran abu vulkanik saat Gunung Agung meletus.
Alat pemantauan itu dibuat dari batang rokok. Mula-mula rokok diisap hingga ujung baranya membakar kertas dan menghasilkan asap. Rokok lantas diposisikan vertikal. Arah asap rokok menunjukkan arah angin.
Para wartawan di pos pantau biasanya paling khawatir apabila asap rokok bertiup ke arah selatan. Mengapa? Ya, tentu saja, apabila angin bertiup ke selatan, pos pemantauan berpotensi terkena guguran hujan abu saat terjadi letusan Gunung Agung.
Evakuasi
Pengalaman menantang juga dihadapi Haris yang dua kali mengikuti petugas dan relawan untuk mengevakuasi warga yang masih tinggal di kawasan rawan bencana Gunung Agung.
Setelah status Gunung Agung naik menjadi Awas, PVMBG merekomendasikan agar masyarakat tidak beraktivitas di seluruh area dalam radius 9 km dari kawah puncak Gunung Agung dan diperluas sejauh 12 km ke arah utara-timur laut serta tenggara-selatan-barat daya. Namun, masih banyak warga yang tetap bermukim di radius yang direkomendasikan untuk dikosongkan.
Minggu (24/9), Haris mengikuti tim gabungan yang terdiri dari anggota Badan SAR Nasional (Basarnas), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Karangasem, relawan dari Sai Rescue, dan Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam). Tim melakukan evakuasi di Desa Bhuana Giri, Kecamatan Bebandem, Karangasem, yang masuk dalam radius 12 km sehingga masyarakat tak boleh beraktivitas di sana.
Minggu sekitar pukul 08.00 Wita, Haris sudah tiba di Pos Komando Penanganan Darurat Bencana Gunung Agung di Tanah Ampo. Di posko inilah seluruh kegiatan penanganan darurat bencana dikoordinasikan, termasuk pemberangkatan petugas evakuasi.
Di posko ini, Haris sudah menjalin komunikasi dengan relawan Sai Rescue agar bisa meliput secara embedded atau melekat dengan petugas evakuasi. Namun, saat itu, ia sama sekali belum mendapat izin dari komandan Basarnas yang memimpin proses evakuasi.
Sempat waswas dengan kondisi itu, Haris memutuskan tetap ikut apel bersama para relawan dan petugas. Saat itu, ia sama sekali belum membuka identitasnya sebagai wartawan kepada pemimpin apel karena khawatir tidak diperkenankan meliput evakuasi di zona bahaya. Karena itu, boleh jadi pemimpin apel mengira Haris adalah bagian dari relawan.
Dengan dibantu relawan Sai Rescue, Haris akhirnya bisa ikut naik ke truk Basarnas yang digunakan untuk evakuasi. Padahal, waktu itu, anggota Basarnas menyeleksi ketat relawan dan petugas yang ikut evakuasi. Seleksi dilakukan karena jumlah kendaraan untuk evakuasi sangat terbatas, sementara relawan yang ingin terlibat cukup banyak. Tidak sedikit relawan yang hari itu gagal mengikuti proses evakuasi.
Begitu naik ke truk Basarnas, Haris baru membuka identitasnya sebagai wartawan kepada para anggota tim. Beruntung, mereka tidak keberatan dengan kehadiran wartawan bersama mereka. Selama perjalanan menumpang truk, interaksi dengan anggota tim pun berlangsung cair.
Begitu naik ke truk Basarnas, Haris baru membuka identitasnya sebagai wartawan kepada para anggota tim.
Ketika truk memasuki wilayah Bhuana Giri, ternyata masih cukup banyak warga yang tinggal di sana. Beberapa di antaranya terlihat menyiapkan diri untuk mengungsi secara mandiri, tetapi yang lain masih banyak yang tampak ”tenang-tenang saja” seolah tak terjadi apa-apa.
Di desa itu, Haris menyaksikan secara dekat upaya anggota tim evakuasi untuk membujuk dua warga penderita gangguan jiwa agar mau dievakuasi. Warga penderita gangguan jiwa bahkan sempat memukul wajah salah seorang petugas dan melempar sejumlah barang. Namun, berkat upaya persuasif anggota tim, dua warga penderita gangguan kejiwaan itu berhasil dievakuasi.
Di Desa Bhuana Giri, Haris dan anggota tim menghabiskan waktu sekitar dua jam lebih. Perasaan merinding tiba-tiba saja hadir setelah mengetahui bahwa mereka berada di zona bahaya yang bisa terkena dampak apabila Gunung Agung tiba-tiba erupsi. Sesudah evakuasi tuntas, sejumlah anggota tim terlihat ingin segera meninggalkan desa itu untuk menjaga keselamatan diri.
Namun, tugas belum selesai. Di tengah perjalanan, tim diminta mengangkut sekitar 30 warga yang kebanyakan orang lanjut usia dan anak-anak. Truk yang ditumpangi anggota tim pun menjadi penuh sehingga para petugas dan relawan, termasuk Haris, harus rela berdiri selama sisa perjalanan kembali ke pos komando.
Perasaan merinding tiba-tiba saja hadir setelah mengetahui bahwa mereka berada di zona bahaya.
Longsor
Keesokan harinya, Haris kembali ditugaskan mengikuti proses evakuasi. Namun, untuk berjaga-jaga dan agar lebih mudah menyelamatkan diri saat situasi genting, Haris memutuskan mengendarai sepeda motor. Pagi-pagi, ia kembali datang ke pos komando di Tanah Ampo. Begitu sejumlah truk Basarnas keluar dari pos untuk melakukan evakuasi, Haris memacu sepeda motornya dan membuntuti truk itu dari belakang.
Tujuan truk tersebut adalah Kecamatan Selat, Karangasem, yang sebagian wilayahnya masuk dalam radius 12 km dari Gunung Agung. Jalan menuju ke Selat berkelok-kelok dan penuh tanjakan curam. Pagi itu, kabut juga turun cukup tebal sehingga jarak pandang terbatas. Haris pun mengendarai motor dengan sangat hati-hati dan terus menjaga jarak dengan truk Basarnas yang diikutinya.
Saat perjalanan makin mendekati Gunung Agung, medan makin tak bersahabat. Sejauh mata memandang, hanya ada jalanan sunyi dengan pohon-pohon lebat di kiri-kanannya. Sesekali saja terlihat rumah-rumah warga.
Tiba-tiba truk Basarnas yang diikuti Haris berhenti. Di depan, jalanan tak lagi bisa dilewati karena ada material tanah longsor yang menutupi jalan. Tanah lumpur, batu-batu kecil, dan ranting pohon tertumpuk jadi satu di tengah jalan.
Semua anggota tim evakuasi turun dari kendaraan. Mereka terlihat tegang sambil memandangi jalanan di depan yang tertutup longsoran. Haris ikut tegang. Saat itu, ia tak tahu sedang berada di desa apa dan, yang terpenting, apakah lokasinya aman dari bahaya erupsi Gunung Agung atau tidak.
Mereka terlihat tegang sambil memandangi jalanan di depan yang tertutup longsoran. Haris ikut tegang.
Setelah berdiskusi dengan warga sekitar, tim berbalik arah mencari jalan lain. Mereka menuju Desa Duda, Kecamatan Selat, untuk mengevakuasi warga sakit. Namun, perjalanan ke sana juga tidak mudah. Tim evakuasi, yang terdiri dari dua anggota Basarnas, dua anggota Polri, dan satu relawan dari organisasi Bali Rescue, harus berjalan kaki sekitar 1 km untuk mencapai rumah warga tersebut. Bersama anggota tim, Haris juga ikut berjalan menuju rumah warga yang sakit itu.
Rumah tersebut berlokasi di sekitar kebun salak dan hutan yang masih tertutup rapat. Jalan menuju ke sana sempit, penuh lumpur, dan menanjak. Di rumah yang berjarak sekitar 12 km dari puncak Gunung Agung itu terdapat tiga warga yang tengah sakit, yakni pasangan suami-istri I Nyoman Rupa dan Ni Wayan Rupa yang sudah berusia 90 tahun serta anak mereka, Ni Wayan Sari (49). Ni Wayan Rupa dan Ni Wayan Sari sama-sama lumpuh dan tak bisa berjalan, sementara I Nyoman Rupa masih mampu berjalan kaki.
Tim evakuasi yang dipimpin anggota Basarnas, I Wayan Dek Edy, memutuskan mengevakuasi I Nyoman Rupa dengan sepeda motor, sementara Ni Wayan Rupa dan Ni Wayan Sari dievakuasi dengan tandu. Namun, karena tandu yang dibawa tim hanya satu, evakuasi terpaksa dilakukan bergantian. ”Tidak apa-apa kita bolak-balik, yang penting warga bisa dievakuasi,” kata Edy.
Sebagai satu-satunya wartawan yang menyaksikan evakuasi itu secara langsung, Haris tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ia tak hanya mengumpulkan bahan untuk berita, tetapi juga mengambil foto dan video sebanyak mungkin. Hasilnya, foto evakuasi Ni Wayan Rupa yang diambil Haris berhasil terpilih menjadi foto headline halaman 1 harian Kompas, 26 September 2017.
Foto itu menggambarkan sejumlah petugas dan relawan sedang menandu Ni Wayan Rupa. Yang menarik, komposisi petugas yang ikut menandu Rupa dalam foto tersebut ternyata sangat lengkap. Ada anggota Polri, TNI, Basarnas, petugas pemadam kebakaran, serta dua relawan dari organisasi berbeda. Foto tersebut, dapat dikata, menggambarkan kerja sama kuat antarinstitusi dalam penanganan ancaman bencana erupsi Gunung Agung.
Peralatan pendukung
Meski dalam liputan harus menghadapi tantangan dan risiko, anggota tim sepakat keselamatan adalah yang utama. Jangan heran apabila anggota tim Kompas membekali diri dengan perlengkapan khusus, misalnya masker dan kacamata anti-asap. Dua peralatan itu sangat penting untuk menjaga diri saat Gunung Agung mengalami erupsi dan ”batuk-batuk” mengeluarkan abu vulkanik.
Kami juga memanfaatkan aplikasi peta yang dibuat BNPB dan PVMBG untuk mengetahui posisi masing-masing, apakah berada di zona aman atau tidak. Aplikasi itu sangat penting karena PVMBG telah menetapkan agar masyarakat, termasuk wartawan, tidak berada dalam radius 9 km dari puncak Gunung Agung dan ditambah perluasan sektoral 12 km ke arah utara-timur laut serta tenggara-selatan-barat daya.
Sikap waspada dan kehati-hatian juga selalu kami pegang selama liputan. Komunikasi di dalam tim dijaga sedemikian rupa agar masing-masing anggota bisa saling mengingatkan dan saling jaga. Tak jarang, saat ada anggota yang ingin masuk ke zona bahaya, anggota lainnya mengingatkan untuk membatalkan keputusan itu.
Saat ada anggota yang ingin masuk ke zona bahaya, anggota lainnya mengingatkan untuk membatalkan keputusan itu.
Semua itu dilakukan karena kami sadar situasi di lapangan sangat tidak menentu dan dapat mengalami perubahan sangat cepat. Kami pun bersiap mengantisipasi risiko terburuk meski kami tentu saja berharap yang terbaik.
Sebagai informasi, pekerjaan wartawan adalah salah satu pekerjaan paling beresiko. Berdasarkan data International News Safety Institute, pada 2016 sebanyak 115 wartawan meninggal saat bertugas. Kebanyakan wartawan yang menjadi korban pada 2016 meninggal saat meliput konflik meski bahaya dari bencana alam tidak boleh diabaikan.
Pada 2010, misalnya, seorang wartawan media daring meninggal di Gunung Merapi, Yogyakarta. Dia meninggal saat erupsi Gunung Merapi ketika pada saat bersamaan sedang menjalankan tugas jurnalisme untuk mewawancarai Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi.
Namun, kami semua bersyukur, selama menjalani tugas peliputan Gunung Agung hingga hari ini, seluruh anggota tim berada dalam kondisi baik, tidak ada yang mengalami musibah apa pun.
Gunung Agung pun, hingga berita ini ditulis, belum juga mengalami erupsi. Padahal, Angger dan Ayu, misalnya, sudah berlatih kode saat Gunung Agung erupsi. ”Jangan telepon kalau erupsi, ya, Mbak Ayu. Nanti saya kirim pesan suara di WA isinya, ’tremor... tremor’. Kalau dengar itu, berarti sudah erupsi,” ujar Angger.
Baca: Warga diminta “mengalah” supaya tidak terkena erupsi Gunung Agung.
Walau erupsi Gunung Agung belum terjadi, gempa terjadi tiap malam dengan intensitas 3-10 menit. Kedalamannya pun beragam, tetapi kurang dari 10 kilometer di kawasan Karangasem tak jauh dari Gunung Agung.
Menurut Ayu, dia juga kerap waswas dengan ”pergerakan” Raditya Mahendra Yasa yang secara tak terduga kerap masuk ke zona merah. Raditya Mahendra alias Wendra adalah wartawan foto Kompas yang daya jelajahnya tinggi. Pegerakannya kerap baru diketahui setelah tim Kompas pada malam hari berkumpul di penginapan Wak Asih untuk saling berdiskusi atau sekadar berbagi cerita.
Mulai Senin (2/10), tim Kompas yang meliput Gunung Agung dirombak demi penyegaran. Angger, Haris, dan Raditya ditarik kembali ke wilayah tugas masing-masing dan digantikan sejumlah wartawan dan fotografer lain. Adapun Ayu diminta istirahat beberapa hari di Denpasar.
Liputan Gunung Agung kemudian diserahkan ke tim lain dari harian Kompas. Namun, liputan Gunung Agung terus berjalan dengan satu prinsip yang sama, yakni tak ada berita yang senilai nyawa manusia….