Perjalanan ”Kompas” Menyambangi Kampung Misteri, Kampung Bati Kelusi di Pulau Seram
BEGITU melangkah memasuki kampung Bati Kelusi itu gerimis tiba-tiba mengguyur. Cuaca yang tadinya cerah berubah menjadi sendu. Begitulah sambutan alam saat kami menjejakkan kaki di kampung yang diyakini sebagai jantung dari permukiman suku Bati di pedalaman Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku.
Mendengar kedatangan orang baru, beberapa warga yang bermukim dekat pintu masuk kampung itu menampakkan diri. Ada yang melongok lewat jendela, bahkan ada yang langsung keluar rumah. Mereka menjawab sapaan dengan senyum ramah juga menyambut uluran tangan untuk bersalaman.
Setelah berjalan melewati beberapa rumah, tampak seorang pria lanjut usia berbalut kain sarung dengan baju kaus sudah menanti di depan pintu rumahnya. Dahlan Siasun, pria berusia sekitar 90 tahun itu, berdiri di depan pintu rumahnya seolah sudah mengetahui kehadiran kami yang akan menemuinya.
Setelah bersalaman, Dahlan mempersilakan kami masuk. Dahlan kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Ahmad dalam bahasa Bati. Tiba-tiba saja, hujan deras mengguyur bumi Bati disertai petir yang menggelegar dan kilat-kilat yang bersahutan. Kami tercengang dengan perubahan cuaca yang sedemikian ekstrem karena beberapa jam sebelumnya langit Pulau Seram masih cerah.
Ahmad pun menenangkan kami. Dia menjelaskan, perubahan cuaca yang tidak lazim itu justru penanda bahwa semesta dan leluhur suku Bati berkenan menyapa kedatangan para tamu. Turunnya hujan justru pertanda niat baik. Begitulah kepercayaan mereka.
Kepada Kompas, Ahmad juga membocorkan bisikan Dahlan. Ternyata, rencana kedatangan kami telah diketahui Dahlan sehari sebelumnya. Dahlan bahkan tahu pemilik rumah di Desa Artafella, tempat Kompas dan beberapa pewarta lokal menginap semalam.
Kami kembali terheran-heran. Bagaimana mungkin Dahlan tahu rencana kehadiran kami? Di kampung itu bahkan sama sekali tidak ada sinyal telekomunikasi. Bahkan, ketika kami berada di Desa Artafella, sinyal telekomunikasi sangat terbatas. Jika ingin menelepon, kami harus berjalan hingga tepi pantai karena di sanalah titik sinyal yang terkuat.
Ahmad sebelumnya telah mengingatkan bahwa akan ada hal-hal irasional di Kampung Bati Kelusi. Meski kini Ahmad menetap di Desa Artafella, sekitar 10 kilometer ke arah pesisir dari Bati Kelusi, Ahmad tetaplah keturunan Bati. Bati Kelusi dan Artafella sama-sama berada di Pulau Seram, Kecamatan Kian Darat, di pedalaman bagian timur Pulau Seram, Maluku.
Berulang kali, sebelum kami berangkat dari Artafella, Ahmad telah mengingatkan akan ada banyak hal tidak rasional selama di Kampung Bati Kelusi. Ia meminta tetap tenang jika mendapati kejanggalan. Tak boleh panik. Menggores tanah ke dahi dilakukan Ahmad supaya kami lebih nyaman selama di kampung itu.
Kami kemudian berbincang di rumah Dahlan. Bersama dengan kakaknya, Hamidun Siasun―yang usianya tidak terpaut jauh—mereka kemudian duduk bersila untuk berdiskusi dengan kami.
Bati ternyata berarti hati atau batin. Hati yang bersih, kata mereka, diyakini mampu menentukan perjalanan hidup mereka.
Namun ternyata, tidak hanya kekuatan batin yang unggul, tetapi kekuatan fisik mereka juga tampak prima. Hamidun dan Dahlan―di usia yang mencapai 90 tahun itu—mengaku masih bisa berburu rusa atau memikul sagu dari Bati Kelusi ke pesisir sejauh lebih dari 10 kilometer dengan medan jalanan penuh tanjakan.
Kami tentu saja tidak punya cukup waktu untuk membuktikannya. Namun, tubuh liat mereka telah dapat kami lihat sendiri.
Warga Bati juga percaya bahwa tamu yang punya motivasi buruk tak mungkin bisa sampai di kampung yang kini hanya dihuni delapan keluarga itu. Dapat saja tamu itu mengalami kecelakaan atau hilang di jalan.
Untung saja, niat kami baik sehingga kami dapat mencapai kampung itu dengan selamat. Bahkan, disambut dengan guyuran hujan.
Kami juga berupaya menggali kisah lain. Abdullah Sukunwatan, Sekretaris Desa Aratafella yang juga keturunan Bati Kelusi, mengungkapkan kisah mistis yang pernah dialaminya. Dia bersama pamannya pernah berjalan kaki dari Artafella ke Bati Kelusi dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Biasanya, rute itu ditempuh paling cepat tiga jam.
”Sekitar pukul 17.00 lewat, saya dan paman baru jalan dari Artafella ke Bati Kelusi. Saat keluar dari kampung, ada daun kenari jatuh, lalu paman saya mengambil kenari itu kemudian simpan di saku baju. Tidak lama kami sudah sampai di Bati Kelusi. Kami sampai sebelum shalat Maghrib,” tutur Abdullah. Dia mengaku tidak tahu mengapa dapat sampai begitu cepat. Dia juga memilih tidak bertanya kepada pamannya soal pengalaman di masa kecilnya itu.
Desa Artafella sesungguhnya hanya 10 kilometer dari Desa Bati Kelusi. Meski demikian, banyak warga Artafella yang tidak pernah berkunjung ke Bati Kelusi. Istri Kepala Desa Artafella, misalnya, mengaku takut ke Bati.
Buku Orang Bati
Bagaimana kami dapat tertarik dengan suku Bati? Tentu saja, suku Bati sangat terkenal di seantero Maluku.
Namun, sumber yang lebih penting lagi adalah buku karya Pieter Jacob Pelupessy, pengajar pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pattimura, Ambon. Buku itu berjudul, Esuriun Orang Bati.
Buku itu bersumber dari disertasi Pieter yang berhasil dipertahankannya dalam sidang promosi gelar doktor di Universitas Kristen Satya Wacana tahun 2012.
Pieter selama puluhan tahun telah meneliti Orang Bati. Pieter bahkan diterima sebagai ”Anak Esuriun” di Tana (Tanah) Bati yang ditandai dengan upacara Adat Esuriun Orang Bati pada hari Rabu, 12 Januari 2011, di Bati Kilusi (Bati Awal).
Dalam bukunya, Pieter menyebutkan bahwa masyarakat suku Bati tersebar di 27 kampung. Salah satunya adalah Bati Kelusy. Jumlah penduduk suku Bati, yang didata oleh Pieter ketika itu, lebih kurang 8.000 jiwa.
Dalam penelitiannya, Pieter menyatakan masih menemukan warga Bati yang memiliki kemampuan supranatural. Mereka dapat menyembuhkan orang sakit, menahan hujan, terbang, dan berubah wujud. Namun, kesaktian itu tidak bisa ditampakkan di sembarang tempat.
Pieter menyatakan masih menemukan warga Bati yang memiliki kemampuan supranatural. Mereka dapat menyembuhkan orang sakit, menahan hujan, terbang, dan berubah wujud.
Kehadiran Kompas ke Bati Kelusi salah satunya untuk membuktikan kebenaran isi buku Pieter yang terbit pada Februari 2013 itu. Namun, perjalanan itu, saya anggap sebagai bonus karena intinya saya ingin memotret pembangunan infrastruktur di suku Bati dan daerah sekitar. Siapa tahu tulisan saya dapat membantu mempermudah hidup rakyat. Bukankah itu salah satu esensi pekerjaan sebagai wartawan?
Pieter sendiri pun baru berhasil menjejakkan kaki di Kampung Bati Kilusi pada 15 Agustus 2008. Itu setelah—menurut bukunya—selama puluhan tahun dia berupaya menguak tabir masyarakat suku Bati yang dalam persepsi warga Maluku antara ada dan tiada.
Bagaimana Pieter dapat ”menemukan” kampung suku Bati? Dari bukunya, dapat dibaca bahwa pada Juli 2008, Pieter telah melakukan ritual penyerahan diri secara khusus untuk mewujudkan ”niat” (lamino) untuk bertandang ke Kampung Bati.
Kemudian, melalui bantuan dari penjaga batas wilayah kekuasaan Orang Bati, Pieter menuju Negeri Orang Bati, yaitu Tana (Tanah) Bati yang sakral. Saat berada di wilayah adat Weulartafela, Pieter kemudian melaporkan diri kepada pemerintah Negeri Kian Darat.
Sesuai kisah Pieter, ketika dia berada di rumah kediaman Sekretaris Negeri Kian Darat, tiba-tiba datang empat Orang Bati dari gunung (ukar). Mereka menyebut diri sebagai Orang Rumbou (Bati Tengah) yang bermaksud datang untuk menjemput Pieter atas perintah kepala adat. Bagaimana sang kepala adat mengetahui ada akademisi yang ingin meneliti suku Bati? Entahlah.
Saya kemudian dengan penuh semangat ingin mengikuti jejak Pieter. Saya lebih semangat lagi pergi ke Bati Kelusi setelah menelusuri arsip harian Kompas. Mengapa? Karena setelah saya telusuri, ternyata belum pernah ada wartawan Kompas yang meliput ke Bati Kelusi.
Saya lebih semangat lagi pergi ke Bati Kelusi setelah menelusuri arsip harian Kompas. Mengapa? Karena setelah saya telusuri, ternyata belum pernah ada wartawan Kompas yang meliput ke Bati Kelusi.
Meliput sesuatu yang belum pernah diliput tentu sebuah capaian. Terlebih lagi mengingat ada pepatah yang mengatakan, ”there is nothing new under the sun”, tidak ada yang baru di bawah matahari. Tapi ternyata, Bati Kelusi adalah sesuatu yang baru, setidaknya reportase yang baru bagi harian Kompas.
Mewujudkan mimpi pribadi
Mimpi untuk liputan ke perkampungan suku Bati akhirnya terjawab saat Kompas berencana ke Kabupaten Seram Bagian Timur. Dari Kota Ambon, kami harus naik mobil ke Pelabuhan Hunimua sejauh 45 menit kemudian menyeberang dengan feri lebih kurang dua jam ke Pelabuhan Waipirit.
Dari Waipirit, yang berada di Kabupaten Seram Bagian Barat, kami naik mobil selama 12 jam menuju Bula, ibu Kota Kabupaten Seram Bagian Timur. Rute itu juga melewati Kabupaten Maluku Tengah yang nama ibu kotanya adalah Masohi. Sekedar informasi, Masohi dalam bahasa setempat berarti gotong royong—nama yang diberikan Bung Karno saat berkunjung ke daerah itu pada tahun 1957.
Dalam perjalanan menuju Bula, kami harus melewati Taman Nasional Manusela yang luasnya mencapai 174.545,59 hektar. Jalan yang membelah taman nasional itu diwarnai kabut. Jalanannya pun berkelok dan mendaki kemudian menurun. Orang menyebut jalan itu SS alias Saleman-Sawai. Karena kabut tebal, kami menempuh jalan sejauh 30 kilometer dalam waktu sekitar 2,5 jam!
Setiba di Bula, yang juga disebut ”Kota Minyak”, Kompas bersama beberapa wartawan lokal menyusun rencana ke suku Bati. Kami langsung mencari mobil bergardan ganda. Tanpa mobil gardan ganda, kami akan kesulitan melewati sungai tanpa jembatan dan kolam berlumpur. Kami juga menyiapkan bekal secukupnya.
Setelah tiga jam menempuh perjalanan sejauh 75 kilometer dari Kota Bula, pada hari Kamis (21/9) sekitar pukul 18.00 WIT, kami baru tiba di Artafella. Jalan yang ditempuh memang tidak terlalu baik sehingga rata-rata kecepatan kami hanya 25 kilometer per jam.
Setiba di Artafella, kami diberi tahu jarak menuju Bati Kelusi 10-12 kilometer. Saya menyarankan untuk meneruskan perjalanan. Bukankah menarik untuk langsung bermalam di rumah warga di Bati Kelusi?
Namun, warga Artafella mencegah keinginan kami. Jika dipaksakan, mereka mengingatkan, nyawa kami dapat menjadi taruhannya. ”Jangan jalan malam ini, apalagi ini malam Jumat. Bahaya,” ujar seorang warga. Raut wajah mereka menggambarkan keseriusan mereka dalam menasehati kami.
Warga Artafella mencegah keinginan kami. Jika dipaksakan, mereka mengingatkan, nyawa kami dapat menjadi taruhannya.
Kami akhirnya takluk dan memilih bermalam di Artafella. Hari Jumat pagi kami baru melaju ke Kampung Bati Kelusi dengan waktu tempuh hanya 25 menit.
Baca: tulisan terkait keterbatasan infrastruktur di Maluku.
Yang mengagetkan, ketika jalan kabupaten yang melintasi Artafella saja masih berupa jalan tanah ternyata ruas jalan dari Artafella menuju Kampung Bati sudah dilapisi aspal walau hanya aspal kasar.
Setelah ditanyakan, ternyata waktu kampanye, Bupati Seram Bagian Timur menjanjikan pengaspalan jalan menuju kawasan Bati. Janji itu langsung ditepati karena takut mendapatkan hukuman dari leluhur Bati. Sungguh menarik jika para kepala daerah terpilih terpaksa memenuhi janji mereka.
Menurut warga setempat, calon kepala daerah memang biasanya datang ke Kampung Bati saat masa kampanye. Mereka mencari semacam ”doa restu” dari tetua Kampung Bati.
Kami berada di Kampung Bati selama lebih kurang dua jam. Hamidun dan Dahlan lebih banyak bicara tentang kampung itu. Mereka bicara soal pembangunan yang belum menyentuh kampung mereka.
Kampung Bati, misalnya, belum dialiri listrik. Desa Artafella, desa tetangga Kampung Bati Kelusi, bahkan hanya menikmati listrik selama 12 jam sehari. Itu pun lebih banyak padamnya.
Meski Dahlan tidak lancar berbahasa Indonesia, dari dia kami memahami betapa warga Kampung Bati hidup dari alam di sekitarnya. Kearifan lokal suku Bati juga mampu menjaga kelestarian hutan.
Ketika melihat alam Kampung Bati, saya jadi bertanya-tanya. Bagaimana masa depan kampung itu ketika investasi perkebunan kelapa sawit menginvasi Seram bagian timur? Eksistensi mereka bakal terancam. Ketika penebangan hutan dilakukan serampangan, tanaman sagu sebagai pokok kehidupan mereka juga terancam. Mau makan apa mereka?
Terkait “misteri” suku Bati, tidak banyak informasi yang diperoleh dari Hamidun dan Dahlan. Boleh jadi, kami hanya singgah sebentar sehingga tidak banyak kisah yang didapatkan.
Saya juga paham kalau masih terlalu ”pagi” untuk menguak segala hal tentang suku Bati. Tentu saja, ini baru perjumpaan pertama. Setelah kami saling percaya, boleh jadi kisah-kisah lain dan pengetahuan-pengetahuan lain kelak akan terkuak.
Ini baru perjumpaan pertama. Setelah kami saling percaya, boleh jadi kisah-kisah lain dan pengetahuan-pengetahuan lain kelak akan terkuak.
Namun secara umum, mereka terkesan rendah hati. Mereka juga hanya tersenyum dan mengangguk tatkala disinggung mengenai kesaktian suku Bati. ”Bati,” ucap Hamidun sembari menunjuk ke dadanya. Hanya itu tanggapannya ketika kami membeberkan apa kata orang tentang kesaktian masyarakat suku Bati.
”Mungkin, mereka tidak mau membanggakan diri,” ujar Abdullah. Kami menerima masukan itu. Apa pun, warga Kampung Bati Kelusi sangat baik dalam menerima kehadiran kami. Kami juga dijamu makan dan minum.
Usai berbincang, Hamidun dan Dahlan minta untuk difoto. Mereka juga meminta supaya foto itu dicetak dan dikirim ke Kampung Bati Kelusi. Kepada mereka, saya langsung berjanji memenuhi permintaan mereka.
”Kalau bapak sudah janji, bapak harus penuhi. Kalau tidak, bahaya,” ujar Ahmad Nabal, sebelum Kompas pamit pulang ke Bula.
Begitu tiba di Bula pada hari Jumat (22/9) petang, Kompas langsung bergegas menuju studio foto. Saya mencetak dua foto itu bahkan langsung membingkainya. Dua foto berpigura itu kemudian dititipkan kepada teman-teman di Bula untuk selanjutnya diantar ke Bati Kelusi.
Apakah dunia supranatural itu ada di Kampung Bati Kelusi? Sulit menjawabnya. Namun setidaknya, saya mengalami sendiri perubahan cuaca yang begitu mendadak yang belum pernah saya alami. Memang tidak rasional, tetapi itu adalah fakta yang saya alami di Kampung Bati Kelusi di tanah Seram.
Berdasarkan pengalaman itu, foto saya cetak dalam tempo sesingkat-singkatnya. Saya sama sekali tidak berniat menjajal ”kesaktian” suku Bati. Saya hadir di Kampung Bati Kelusi itu cukup untuk meliput saja.