Saat ”Kompas” Merasakan ”Bumi Bergoyang” di Changsha, China
KETIKA transit di Bandara Fuzhou, Provinsi Fujian, China, menunggu penerbangan ke Beijing, pada akhir September 2017 lalu, saya baru tersadar bahwa jaringan internet China berbeda dengan dunia luar. China telah melarang beberapa aplikasi. Seketika, komunikasi terputus dengan dunia luar. Dunia seolah gelap.
China memang punya aturan sendiri, dan memutuskan untuk memakai aplikasi mereka sendiri. Tanpa Google, mereka ada Baidu. Youku sebagai pengganti Youtube, Weibo sebagai pengganti Twitter, Renren sebagai pengganti Facebook, Nice sebagai pengganti Instagram, dan WeChat menggantikan WhatsApp.
Stabilitas politik, sosial, dan ekonomi tampaknya memang dicoba untuk diwujudkan Pemerintah China dengan menutup akses terhadap ribuan situs tidak hanya terhadap aplikasi media sosial. Sistem sensor China itu dikenal sebagai ”The Great Firewall”.
Bagaimana menyiasatinya? Ternyata, ketika saya baca, ada virtual private networks alias VPN. Saya akui, saya terlambat mengunduh VPN.
Awalnya, saya dapat menggunakan WhatsApp, tetapi kemudian entah kenapa tidak bisa lagi. Persoalannya, tidak hanya WA yang tidak dapat digunakan, tetapi juga mesin pencari Google. Padahal, tanpa Google, kepada siapa kita harus bertanya? Katakanlah, di mana kita dapat mengetahui restoran terdekat dari posisi kita? Bahkan, pada akhirnya, surat elektronik pun tidak dapat digunakan. Bagaimana saya dapat bekerja?
Setelah berselancar di sejumlah situs, saya menemukan aplikasi VPN berbayar. Setelah berkomunikasi dengan pengelolanya, saya memutuskan mengunduh aplikasi. Harga untuk 30 hari pemakaian 9 dollar AS atau sekitar Rp 120.000, dibayar dengan kartu kredit. Namun ternyata, aplikasi itu tidak bisa digunakan. Menurut pengelolanya, aplikasi tidak dapat digunakan karena saya menggunakan jaringan Wi-Fi hotel. Aduh, gemas sekali rasanya.
Sebelumnya, ketika mendarat di Bandara Beijing, pemandu wisata kami, Hu Fangfang, tidak merekomendasikan pembelian nomor seluler China. ”Banyak Wi-Fi gratis di hotel, restoran, dan tempat publik. Buat apa? Sayang jika hanya dipakai beberapa hari,” ujar Fangfang, begitu ia ingin disapa. Harga nomor telepon seluler baru, setelah dikonversi ke rupiah, ternyata juga mencapai Rp 600.000.
Tapi rupanya, persoalan komunikasi ini sangat menyiksa kami. Sulit rasanya bila tidak dapat berkomunikasi dengan kantor dan keluarga di Tanah Air.
Sulit rasanya bila tidak dapat berkomunikasi dengan kantor dan keluarga di Tanah Air.
Malamnya, bersama beberapa jurnalis dari Indonesia, kami menjelajahi internet. Saya, yang dasarnya tergolong gagap teknologi, harus begadang untuk menuntaskan urusan ini. Akhirnya, kami menemukan APKPure, semacam Play Store.
Setelah mengunggah APKPure, kami baru dapat mengunggah VPN gratis. Setelah itu, kami dapat berkomunikasi kembali dengan WhatsApp dan membuka aplikasi lainnya.
Tadinya, saya berpikir hanya kami atau warga negara non-China yang menggunakan VPN. Namun ternyata, kami bertemu dengan seorang wartawan yang juga menggunakan WhatsApp. ”Kami juga pakai VPN untuk membuka aplikasi yang dilarang pemerintah,” katanya.
Kaget juga kami mendengarnya. Namun begitulah, selalu ada hal-hal mengejutkan dari China, yang menurut pengamatan saya yang bertugas di Biro Kompas, Medan, ternyata makmur. Setidaknya, ya, lebih makmur dari Kota Medan, yang saya huni selama beberapa tahun terakhir.
Saya melihat sendiri jalan-jalan kota yang teratur dan mulus, yang jelas lebih baik kualitasnya dari jalan di Kota Medan, bahkan lebih baik dari infrastruktur di Jakarta.
Bicara soal infrastruktur kereta api, jelas China lebih baik. Mereka telah mengoperasikan jaringan rel kereta cepat hingga 22.000 kilometer. Hingga tahun 2020, China menargetkan penambahan 10.000 kilometer jaringan rel kereta cepat. Bagaimana dengan di Indonesia? Kita tahu, kita masih nol kilometer jaringan rel kereta cepat.
Tata kota di China juga sangat teratur. Bangunan modern yang dibangun belakangan dipadukan dengan bangunan lama sehingga menimbulkan kesan apik. Siapa pun yang meragukan kemampuan China untuk membangun sudah sepantasnya melihat langsung negeri China.
Perjalanan saya di China, khusus memenuhi undangan Kementerian Luar Negeri China. Kemenlu China memiliki agenda kunjungan ke beberapa kawasan industri dan perusahaan-perusahaan internasional di tiga kota, yakni Beijing, ibukota China; Nanjing, ibu kota Provinsi Jiangsu; dan Changsha, ibu kota Provinsi Hunan.
Selain melihat perkembangan industri di China, kunjungan itu juga untuk melihat keseriusan China untuk mempersiapkan Inisiatif Sabuk dan Jalan. Mereka pun mengundang sepuluh wartawan dari Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Baca: artikel Kompas terkait inisiatif Sabuk dan Jalan China.
Kami kemudian diundang melihat industri baja, pembangkit listrik, alat kelistrikan, hingga industri manufaktur kereta api. Perusahaan yang saya kunjungi, China Railway Group Limited, tampaknya sudah membangun di berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa hingga Amerika Selatan.
Kehidupan di China
Namun, dalam perjalanan itu, tentu saya tidak hanya mendapat pengetahuan soal China, perekonomian China, dan ambisi China. Saya juga mendapatkan pengalaman soal kehidupan dan nilai-nilai warga China.
Di Beijing, misalnya, para wartawan dipandu oleh Fangfang yang begitu profesional dan bersahabat. Ibu muda itu pintar menghidupkan suasana.
Dia menerangkan begitu runut dan menarik, misalnya saat kami berkunjung ke Kota Terlarang, istana Kekaisaran China yang dibangun Dinasti Qing pada tahun 1644. Bangunan yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia itu berdiri di lahan seluas 72 hektar dengan sekitar 8.000 ruangan.
Ketika kami sudah masuk ke dalam Kota Terlarang, dia mengajak kami menengok ke belakang. ”Berapa jumlah pintu gerbangnya?” ujarnya. Kami baru tersadar ada lima pintu, padahal dari luar hanya terlihat tiga pintu.
”Itulah cermin budaya masyarakat China. Meskipun mereka punya lima pintu, mereka hanya menunjukkan tiga pintu,” kata Fangfang. ”Kalau orang China dikatakan kaya, mereka akan merendah, menunjukkan diri kalau mereka tidak kaya,” ujarnya lagi.
Kalau orang China dikatakan kaya, mereka akan merendah, menunjukkan diri kalau mereka tidak kaya.
Setelah memperlihatkan arsitektur Kota Terlarang yang menakjubkan, dia menceritakan kaitan taman di dalam istana terlarang itu dengan budaya China. ”Dari luar tampak benteng, tapi di dalam ada taman yang indah, bukan? Itu seperti kepribadian China, menyembunyikan sesuatu yang baik dari orang luar. Hanya orang-orang yang dianggap dekat yang akan diundang ke rumah untuk menikmati keindahan taman,” kata Fangfang.
Di dalam sebuah taman di Kota Terlarang, Fangfang mengajari kami taichi dengan analogi semangka. Semangka imajiner itu, ujarnya, ditopang dengan tangan kiri, kemudian tangan kanan bergerak membelah semangka secara vertikal.
Posisi kaki kemudian setengah ditekuk. Lalu, separuh semangka diserahkan untuk orang lain, sedangkan separuh semangka untuk diri sendiri, dan kemudian disantap bersama-sama. Kami tertawa mendengar penjelasan itu meski kemudian berlatih taichi dengan antusias.
Fangfang juga sempat mengajak kami berbelanja di Pasar Xiu Shui atau Silk Market di Distrik Chaoyang, Beijing. Pasar itu berupa mal kecil lima lantai yang menyediakan aneka produk tiruan dari barang bermerek dengan kualitas nomor satu sampai nomor lima. ”Anda harus menawar. Jangan pernah beli barang di atas 200 yuan (sekitar Rp 400.000),” kata Fangfang.
Tawar-menawar barang berlangsung sadis. Wartawan Filipina, Celso L Cainglet, ternyata paling jago menawar. Tadinya, pedagang menawarkan kaus seharga 100 RMB per potong (sekitar Rp 200.000). Namun, Celso dapat membawa pulang tidak hanya satu, tetapi empat kaus. Mengagumkan.
Saya sungguh heran bagaimana Celso melakukannya. Secara teknis, bagaimana dia menawar? Padahal lazimnya, untuk menawar biasanya seseorang buka harga 50 persen dari harga penawaran. Luar biasa.
Mal itu sungguh mengasyikkan. Saya ikut berkeliling, bahkan tertarik ikut berbelanja. Begitu asyiknya berbelanja, sampai saya lupa diri. Ketika tiba di sebuah restoran untuk makan malam, saya baru tersadar kalau telepon genggam saya tertinggal di Silk Market.
Fangfang membantu saya mencari kendaraan untuk kembali ke Silk Market. Sesampainya di pasar itu, saya langsung berlari menuju kios pertama. Namun, sang pegawai mengaku tidak tahu. Saya lemas. Bagaimana saya bisa berkomunikasi dengan Tanah Air? Seluruh nomor kontak yang saya koleksi juga berpotensi lenyap.
Saya melangkah ke kios kedua. Pegawai pertama mengaku tidak tahu, tapi petugas lainnya langsung memanggil supervisornya. Dan, telepon genggam saya langsung dikembalikan oleh sang supervisor yang menyimpannya. Bayangkan, bila telepon genggam saya tertinggal di sebuah pasar di Tanah Air?
Saya bahagia sekali. Namun ternyata, Fangfang lebih bahagia lagi karena tamunya tidak membawa pulang kesan buruk atas kota Beijing.
Ketika berpisah dengan Fangfang, sebelum melanjutkan perjalanan ke Nanjing, saya membelikannya syal tenun dari Indonesia. Dia senang sekali dan terlihat serasi dengan gaun hitam yang ia pakai. ”Fang, kamu jadi terlihat muda dengan syal itu,” kata Celso, yang disambut tawa Fangfang.
Hambatan bahasa
Di Nanjing, kami disambut oleh pemandu baru bernama Grace. Kami berharap mendapatkan pengalaman serupa seperti yang diberikan oleh Fangfang. Namun ternyata, banyak kosakata Grace yang tidak dapat kami pahami.
Wartawan asal Malaysia, Mahanum, ternyata memperhatikan saya ketika Grace memberi pemaparan. Dia takjub melihat perhatian saya terhadap setiap ucapan Grace.
”Kamu memperhatikan Grace, ya, saat dia bicara. Saya bahkan tidak paham apa yang dikatakannya,” ujar Grace.
”Oh, saya juga tidak paham,” jawab saya. ”Saya menghormati dia saja, soalnya saya duduk di depan. Lagi pula, saya lihat semua teman-teman malah tidur, dan tidak memperhatikan dia,” ujar saya lagi. Mahanum pun langsung tertawa, saya pun ikut tertawa.
Berdasarkan pengalaman saya, sulit menemukan orang yang dapat berbahasa Inggris di China. Untuk bertanya lokasi toilet pun sulit setengah mati. Suatu kali, saya sampai harus memperagakan gaya orang mau pipis untuk mencari toilet.
Suatu kali, saya sampai harus memperagakan gaya orang mau pipis untuk mencari toilet.
Bahkan, dalam sebuah acara bebas, salah seorang wartawan Filipina sempat hilang karena kendala bahasa dengan pemandu. Dia salah paham terkait lokasi janjian.
Saat sarapan di hotel, beberapa kali saya kesulitan meminta air mineral. Sang pelayan harus memanggil supervisor untuk memahami permintaan saya meski sekadar air.
Suatu hari, kami mengunjungi sebuah perusahaan. Pegawai perusahaan tersebut meminta kami duduk di kursi masing-masing. Sesaat, kami bengong dan saling pandang. Kenapa? Karena, bagaimana kami mencari kursi itu bila nama kami ditulis dalam huruf Mandarin. Kami baru tertawa setelah diberi tahu bahwa bila papan nama itu dibalik, ada tulisan nama kami dalam bahasa Latin.
Baca: artikel terkait pentingnya Indonesia di mata China.
Huang Tingting, seorang wartawan China, mengatakan, tidak mudah menemukan teks bahasa Inggris di China. Bukan mereka tidak mau mengalihbahasakan, ternyata ada banyak kata yang tidak bisa dipandankan dalam bahasa Inggris.
Pernyataan Tingting senada dengan kata-kata Fangfang. Kata mereka, huruf Mandarin memiliki lebih dari 350.000 karakter. Satu kata yang sama dengan pengucapan lebih panjang, pendek, nada naik, atau nada turun memiliki makna berbeda. Satu kata dapat memiliki empat arti.
Suasana kapitalis
Meski berideologi komunis, suasana di China sangat kapitalis. Ini terasa di Nanjing, yang pada tahun 229 M sudah menjadi ibu kota Kerajaan Wu yang merupakan satu dari tiga kerajaan di China (220-280 M).
Di Nanjing ada sebuah acara yang terpaksa dibatalkan karena hujan sehingga diperkirakan kunjungan lapangan akan sulit. Akhirnya, panitia mengajak kami ke pusat perbelanjaan. Awalnya, saya tidak tertarik meski ikut bergabung dengan mereka karena dijanjikan naik kereta bawah tanah.
Sayangnya, petugas Kemenlu China tidak ingin kami berdesak-desakan di kereta bawah tanah. Jadi, mereka mengantar kami dengan bus kecil ke Xinjiekou Shopping Centre.
Pusat perbelanjaan itu megah. Rasanya seperti masuk ke Senayan City saja. Semua produk busana internasional mudah ditemukan. Di sejumlah mal, saya juga melihat produk busana internasional, seperti Prada, Miu-Miu, Gucci, Uniqlo, hingga Victoria Secret. Tahun ini untuk pertama kalinya peragaan busana Victoria Secret akan digelar di Shanghai.
Jadi, meski internetnya serba tertutup, meski ideologinya komunis, meski dominasi pemerintah dirasa kuat, gaya hidup begitu berbeda. Kemegahan kota-kota China bahkan melampaui kota-kota di Eropa, misalnya.
Dari sisi konektivitas, kota-kota di China, seperti Nanjing, juga tak ubahnya kota-kota di negara maju. Di bawah mal, misalnya, ada jaringan kereta bawah tanah sehingga ribuan warga China bermobilisasi dengan kereta api.
Kami tinggal di Nanjing selama tiga hari kemudian melanjutkan perjalanan ke Changsha di Provinsi Hunan. Changsha ini kota tua yang telah berdiri selama lebih dari 3.000 tahun. Changsha lebih terkenal lagi karena Mao Zedong, pendiri Republik Rakyat China, memulai karier politiknya di Changsha.
Di Changsha, kami tidak ditemani pemandu, tetapi tidak ada masalah karena penduduknya ramah-ramah. Para perempuan Changsha juga cantik dengan mata lebar dan senyum ramah, sedangkan prianya sangat tampan.
Dalam sebuah jamuan makan siang, Celso yang sangat penasaran sempat bertanya kepada salah seorang petinggi perusahaan yang kami kunjungi. ”Kenapa di kota ini, para perempuannya cantik dan prianya tampan, ya?” katanya.
Sang direktur langsung tertawa dan menjawab, ”Itu ditanyakan karena (kalian) di depan saya, kan?”
Ketika saya mengecek internet, ternyata Changsha selalu masuk dalam daftar 10 besar kota di China dengan penduduk perempuan tercantik di seluruh negeri. Sangat menarik. Saya belum tahu mengapa bisa begitu.
Tradisi makan yang seru
Selain ramah, warga Changsha juga mempunyai tradisi makan unik nan seru. Sama seperti di Beijing dan Nanjing, kami biasanya makan bersama di meja bundar. Hanya bedanya, di Beijing dan Nanjing, meja bundar itu hanya muat untuk 5-10 orang.
Di Changsha, meja bundar bisa memuat 20-30 orang. Bisa dibayangkan betapa ramainya. Saya memprediksi diameter meja itu mencapai lima meter.
Ada berbagai jenis makanan disajikan di meja bundar itu. Menunya aneka rupa. Ada yang berbahan dasar sayuran, daging bebek, ayam, sapi, hingga babi. Saat ada menu babi dalam makanan, mereka dengan santun mempersilakan tamu yang tidak makan babi untuk menikmati sajian di meja berbeda meski dengan menu yang tidak kalah enaknya.
Di tengah meja ada landasan putar untuk menaruh makanan. Itu juga ada temui di Indonesia, terutama di restoran-restoran China, meski bedanya di Changsha ada landasan yang berputar secara otomatis.
Tradisi ini menggelikan bagi yang tidak pernah makan di meja dengan landasan putar itu. Di meja yang otomatis berputar, terkadang sebelum pengambilan makanan selesai, piring tempat makanan sudah berlalu.
Melihat hal itu, biasanya tuan rumah melayani dengan cara menahan putaran meja supaya tidak berputar sebelum tamunya selesai mengambil makanan.
Bagaimana dengan meja manual? Malah justru sering terjadi perputaran yang berlawanan. Si A ingin menu B, sementara si B ingin menu C, dan meja diputar secara berlawanan arah. Terjadi tarik-menarik atau dorong-mendorong meja, tetapi kami justru tertawa.
Bahkan, ada teman yang ternyata tidak terbiasa menggunakan sumpit sehingga acap kali makanannya melompat dari piring. Tuan rumah untung saja berbaik hati dengan menyediakan garpu dan sendok.
Kami sempat kaget ketika disajikan begitu banyak makanan. Namun, Yong Yiang Min, wartawan Malaysia, yang fasih berbahasa Mandarin, mengatakan, ada kepercayaan bagi orang China bahwa mereka akan dianggap sopan dan menghargai tamu jika makanan yang dihidangkan sisa banyak.
Namun, pada generasi muda, sudah mulai ada kampanye piring bersih, yakni menghidangkan makanan sesuai kebutuhan tamu. Faktanya, sisa hidangan biasanya tetap saja banyak.
Di malam terakhir, kami dijamu oleh Pemerintah Changsha diwakili Kepala Divisi Internasional Changsha Municipal People’s Goverment Shen Zhengjun. Anggur merah dan anggur putih turut dihidangkan.
Dalam tradisi China, selain pidato singkat, penghormatan kepada tamu diwujudkan dengan tuan rumah yang mendatangi tamu satu-per satu di meja. Dia kemudian menuangkan anggur di gelas sang tamu dan gelas dirinya lalu sama-sama bersulang dan minum bersama.
Dalam tradisi China, selain pidato singkat, penghormatan kepada tamu diwujudkan dengan tuan rumah yang mendatangi tamu satu-per satu di meja. Dia kemudian menuangkan anggur di gelas sang tamu dan gelas dirinya lalu sama-sama bersulang dan minum bersama.
Jika tamunya sepuluh, tuan rumah menyapa sepuluh tamu itu. Dan, itu artinya 10 kali bersulang dan minum bersama. Jadi, selain membawa gelas sloki untuk minum di tangan kanan, tuan rumah di tangan kiri juga membawa teko kaca sedang untuk membawa stok anggur. Jika si tamu mau tambah, dia menambahkannya ke gelas sang tamu.
Tradisi itu belum selesai. Setelah tuan rumah selesai mendatangi semua tamu, sang tamu yang ingin membalas keramahan itu dapat mendatangi tempat duduk tuan rumah untuk mengucapkan terima kasih dengan kembali bersulang sebelum akhirnya berbicara hangat.
Karena ingin menyelami tradisi itu, saya yang nyaris tidak pernah minum anggur akhirnya minum banyak di malam itu.
Selain didatangi tuan rumah, saya juga kembali mendatangi Shen Zhengjun, beberapa perwakilan Kemenlu China yang menemani perjalanan kami hingga penerjemah. Tidak terasa, saya minum bersloki-sloki.
Tidak terasa, saya minum bersloki-sloki.
Leher dan dada saya terasa hangat. Saya lihat wajah tuan rumah. Meski sudah mulai memerah, dia tidak berhenti minum jika tamunya belum berhenti minum. Teman-teman dari Filipina terlihat paling menikmati acara ini dan menambah stok anggur berkali-kali.
Pukul 22.00 waktu setempat, kami mohon diri karena takut tidak dapat bangun pagi. Keesokan harinya, kami memang sudah harus terbang pulang ke negara masing-masing. Saat menunggu lift, saya merasa lantai ruangan mulai bergoyang.
Saya paham ada pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Namun, begitu merasakan ”bumi mulai bergoyang”, saya paham ada sesuatu yang salah. ”Wah... sudah enggak bener nih,” ujar saya di dalam hati.
Apa pun, perjalanan ke China ini begitu menarik. Saya menyaksikan sendiri kebesaran sebuah negara, yang tampaknya akan banyak berinvestasi di Indonesia, mulai dari pembangkit listrik, kereta cepat, hingga pendanaan dari berbagai usaha rintisan perdagangan daring.