Saat Milenial Jadikan ”Kompas” sebagai Kanvas
Selama 52 tahun ini, Kompas rutin menyapa pembaca dalam desain yang semakin mapan: klasik sekaligus elegan. Khusus pada edisi Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2017, koran ini menggaet 35 desainer muda untuk menyegarkan tampilan visualnya. Bagaimana proses kreatif kolaborasi tersebut?
Jumat (27/10) sore, suasana Redaksi Harian Kompas di Palmerah, Jakarta, lebih meriah. Ruangan di lantai 3 Gedung Kompas Gramedia itu tak hanya diramaikan oleh awak redaksi, tetapi juga 35 desainer tamu. Mereka—sebagian besar berusia di bawah 35 tahun—berkumpul di ruang rapat besar dan di ruang rapat kecil di bagian tengah redaksi.
Para desainer milenial itu tiba dengan membawa berbagai peralatan: laptop, kuas, cat pewarna, palet, kertas, gunting, serta beragam pena dan pensil. Mereka bekerja dalam beberapa kelompok.
Sejumlah desainer mengulik-ulik gambar dengan beberapa program visual di laptop. Sebagian lagi membuat ilustrasi di atas kertas dengan sketsa secara manual. Ada juga yang menggunting-gunting kertas membentuk huruf-huruf. Beberapa lagi mengurusi lay out, bekerja sama langsung dengan tim Kompas.
Suasana hening. Masing-masing suntuk dengan tugasnya. Maklum saja, mereka ditantang untuk menyegarkan desain 32 halaman Kompas yang terbit esok hari hanya dalam beberapa jam. Waktu yang singkat untuk misi yang tidak mudah.
Koran, yang rutin terbit setiap pagi, memang hanya memiliki waktu yang tak lama untuk proses perancangan. Setelah dilengkapi foto dan teks berita dari para wartawan, para desainer biasanya punya kesempatan beberapa jam saja untuk mengolah visual sebelum hasil rancangan itu dijadikan master, lantas dicetak oleh mesin percetakan.
Sebagian perancangan halaman lebih longgar karena bahan terkumpul lebih awal—biasanya disebut Seksi Siang. Namun, beberapa halaman punya tenggat lebih sempit karena jarak antara kelengkapan berita dan proses percetakan mepet—yang biasa disebut Seksi Malam.
Meski bekerja dalam tekanan, para desainer itu tampak menikmati. Hardi Lim (23) bersama saudara kembarnya, Lim Hadi, contohnya. Sejak pukul 11.00 siang, kedua pemuda itu telah tiba untuk memulai ”proyek” ini.
Hardi mengerjakan ilustrasi. ”Excited banget. Semangat, tapi deg-degan juga. Soalnya baru pertama kali terlibat untuk bikin koran se-deadline ini,” ucap lulusan Universitas Bunda Mulia ini.
Hardi dan rekannya bekerja sejak siang. Sebagai ilustrator dengan teknik cat air, dia mulai merancang berbagai model, bentuk, dan konsep untuk sebuah halaman koran dengan menggunakan cat air. ”Abis itu gambar di-scan, lalu dirapiin, lalu dimasukin dalam file editan Kompas yang telah disiapkan,” tambah Hardi.
Perspektif muda
Bagaimana cara anak-anak muda itu menyegarkan visual koran Kompas? ”Kami mengupas Kompas dari persepsi anak muda,” kata David Irianto, desainer yang mengoordinasi para desainer muda.
Semangat itu diwujudkan dengan ”memermak” visual koran Kompas edisi Sabtu, 28 Oktober 2017. Mereka menuangkan ide yang ekspresif, segar, dan berwarna, sesuai citra dan ciri khas masing-masing.
Halaman depan koran, yang biasa diisi empat artikel, diubah dengan hanya menampung tiga artikel panjang. Judul berita utama berada di tengah-tengah, memanjang dari atas ke bawah seperti membelah koran. ”Anak Muda Jaga Indonesia”. Bentuknya mirip tugu obelisk yang ditancapkan sebagai land mark (penanda kawasan) di kota-kota bersejarah.
”Itu ceritanya kami seperti mengupas, membuka lembaran baru, sebuah gebrakan anak muda. Warnanya merah dan putih, yaitu Indonesia,” kata Agra Satria (31), desainer yang menggawangi halaman depan Kompas.
Rubrik Sosok di halaman 16 dibikin lebih meriah. Foto Albert Rahman Putra, dari komunitas Gubuak Kopi di Solok, Sumatera Barat, di halaman itu di-masking, lantas latar belakangnya dihiasi dekorasi potongan kertas. Judulnya, ”Merawat Tradisi di Era Digital”, dikasih aksen sekilas coretan dinding, mirip mural di jalanan.
Rubrik Komunitas di halaman 23 muncul agak ekstrem. Kisah komunitas gambar Nomad Creative Corps ditampilkan dengan ilustrasi mirip aliran sungai. Tatanan huruf-huruf di halaman ini pun seakan meliuk-liuk. Jauh dari konvensi lay out biasa.
Secara umum, konsep setiap halaman adalah ekspresi yang ditampilkan oleh setiap orang yang terlibat. Semua desainer leluasa mengekspresikan kemampuan berdasarkan apa yang dipahami masing-masing.
Tentu saja, kreativitas itu juga dikomunikasikan dengan Redaksi Kompas yang menjaga konten. Proses dialog itu juga menggambarkan keasyikan tersendiri.
”Bagaimana cara berkomunikasi dari dua generasi yang berbeda dengan experience (pengalaman) yang berbeda dan knowledge (pengetahuan) yang berbeda itu bisa jadi satu wadah,” ujar desainer Lala Bohang, yang juga ambil bagian dalam proyek ini.
Sebenarnya tidak mudah juga mempertemukan para desainer Kompas yang terbiasa dengan desain mapan dengan kaum muda milenial dalam kerja bersama mengemas wajah koran. Situasi itu diakui Wakil Manajer Produksi Bidang Grafis Kompas Rianto.
”Ribet sih, tapi kami harus membimbing atau paling tidak memberi kanal terhadap mereka agar karyanya bisa masuk ke halaman-halaman yang kami terbitkan. Kompas memberi ruang bagi anak muda untuk berkarya, untuk menunjukkan dukungan mereka atau kontribusi mereka untuk Indonesia yang lebih baik, melalui Kompas,” ungkapnya.
Kerja bersama
Andi Sadha, inisiator kolaborasi harian Kompas dengan desainer muda Indonesia ini, menceritakan, ide ini muncul ketika dia membaca artikel di koran ini berjudul ”Ribut Politik? Maaf, Kreator Muda Sibuk Berkarya”. Kisah dalam feature itu menggugahnya.
Dari situ, dia lalu mengajak sejumlah anak muda untuk terlibat bagaimana tidak hanya masuk dalam artikel. ”Tapi, bagaimana kalau anak muda itu terlibat langsung dalam sebuah koran, meski hanya sehari, tepat pada Hari Sumpah Pemuda. Kami ingin menunjukkan bahwa semua itu bisa kalau dikerjakan bersama,” tuturnya.
Inisiatif itu disambut baik oleh Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo. Dia memberikan kesempatan kepada kaum muda untuk berkarya dengan menyegarkan wajah Kompas dalam satu edisi khusus, yaitu bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2017.
”Ini adalah momen pertama dalam sejarah Kompas. Kita akan lihat bagaimana kreasi-kreasi anak muda yang kemudian dituangkan dan didialogkan dengan kebijakan editorial Kompas dengan desain yang klasik dan elegan,” katanya.
Budiman yakin, kerja sama ini merupakan proses diskusi antara kaum muda dan Redaksi Kompas. Kaum muda itu bukan hanya mengekspresikan kebebasan arts for arts, seni untuk seni, tapi juga seni yang kemudian dikompromikan dengan koridor-koridor, dengan desain Kompas yang klasik dan elegan. ”Saya mendukung anak-anak muda Indonesia untuk terus berkarya apa pun karena tidak ada batas. Batasnya adalah langit itu sendiri,” ujarnya.
Dari sisi konten, Kompas edisi khusus Sabtu, 28 Oktober 2017, menyajikan berita ”Anak Muda Jaga Indonesia”. Laporan ini menyoroti kaum muda yang aktif bergerak mencari ruang-ruang ekspresi sendiri saat situasi ketika politik dan ekonomi tidak memberi banyak ruang bagi mereka. Lewat kreativitas dan kecerdasan yang dimiliki, mereka berusaha mengambil peran untuk memajukan negeri. Gerakan ini memberi harapan baru untuk masa depan Indonesia yang lebih maju.
”Bagaimanapun, dalam beberapa tahun ke depan, anak muda akan mengambil posisi-posisi penting sebagai pengambil keputusan. Mungkin 28 tahun lagi, ketika Indonesia berusia 100 tahun, anak-anak muda ini akan berusia 40 sampai 50 tahun, dan mereka ini akan menduduki posisi-posisi penting yang bisa memengaruhi bahkan bisa membuat sebuah kebijakan yang penting untuk publik. Kami dukung anak muda untuk terus berkarya,” tutur Kepala Desk Muda Budi Suwarna.
Menjelang tengah malam, kesibukan di Redaksi Kompas masih belum reda, bahkan memuncak. Beberapa halaman telah kelar dirancang dan dicetak. Beberapa lagi masih terus disempurnakan. Menjelang deadline desain harus kelar, wajah para desainer itu lebih tegang. Mereka bekerja lebih cepat untuk memoles wajah Kompas pada hari istimewa, Hari Sumpah Pemuda, yang merupakan ikrar persatuan Indonesia dalam bangsa, tanah air, dan bahasa.
Proses kerja sama antara Redaksi Kompas dan para desainer muda itu menantang, sebagian tidak berjalan mulus. Kelegaan hati awak Redaksi Kompas untuk menerima penyegaran dan para desainer muda yang berusaha memberikan warna tersendiri pada edisi khusus ini tercatat manis dalam perjalanan sejarah harian ini. Ini adalah edisi harian Kompas yang begitu berbeda dan sangat layak berada di tangan kita semua.