Karpet Merah untuk Pelari
Karpet merah sudah tergelar lebar di garis start. Timing clock sudah berdetak. Wajah-wajah semringah bersemangat memenuhi Taman Lumbini, Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (19/11). Semangat ribuan pelari peserta Bank Jateng Borobudur Marathon (BJBM) 2017 menghangatkan dinginnya pagi. Mendung yang menggantung pun malah menjadi penyemangat pelari yang akan menempuh lintasan BJBM di sejumlah kategori tanpa khawatir cuaca panas.
Para pelari berlari sesuai waktu yang dijadwalkan untuk masing-masing kategori. Sejak pukul 05.00, pelari kategori maraton dilepas, dilanjutkan kategori 21 Kilometer dan 10 Kilometer dengan jeda waktu 30 menit. Prosesi acara start berlangsung tepat seperti yang direncanakan.
Bahagia dan sukacita ketika satu per satu pelari memasuki garis finis. Wajah-wajah puas terpancar dari para pelari. Apresiasi dan ucapan selamat terhadap sukses BJBM pun mengalir.
Suasana di race village terasa hangat, kebahagiaan pun melingkupi peserta. Race village menjadi semacam arena bagi para pelari yang berdatangan dari berbagai kota di Indonesia untuk saling bertegur sapa, bercengkerama, atau berfoto bareng. Sesekali mereka ikut menyanyi dan menari bersama Andien, yang pada subuh saat start secara khusus menyanyikan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”.
Mereka yang selama ini terhubung sebagai ”friend” di sejumlah aplikasi media sosial pun bertemu langsung. Gerimis yang terkadang menderas tidak mengurangi kehangatan yang terbentuk di antara para pelari.
Tidak lupa mereka juga berswafoto atau foto bareng bersama medali dan jersey finisher kebanggaan. Pantuan di media sosial yang umumnya memberikan respons positif saat pengambilan perlengkapan lomba (race pack) ternyata berlanjut saat eksekusi pada hari H pelaksanaan BJBM.
Minggu, 19 November 2017, itu merupakan hari penentuan dari persiapan hingga berbagai pekerjaan sejak lima bulan sebelumnya, tepatnya mulai Juni. Kerja keras tim Kompas-BJBM berbuah manis.
Sebelum hari pelaksanaan lomba BJBM, pertanyaan mengenai kemajuan acara itu selalu disampaikan. Setiap berjumpa dengan sahabat, pertanyaan yang mereka ajukan selalu sejauh mana persiapan BJBM. ”Mudah-mudahan lancar. Semua sudah dipersiapkan dengan matang, tinggal pelaksanaan saja,” biasanya jawaban standar itu yang disampaikan.
Semangat dan dukungan rekan pelari dari berbagai komunitas agar pelaksanaan BJBM berjalan lebih baik menjadi bahan bakar tersendiri bagi tim.
”Tha: tukul saka niat”
Ibarat sebuah pertaruhan, tepatnya sebuah tantangan, ketika Kompas menerima ajakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Bank Jateng untuk menangani Borobudur Marathon 2017.
Pertaruhan mengingat, ada sedikit saja hal meleset dari pelaksanaan BJBM, nama besar Kompas akan ikut terpengaruh. Pergelaran maraton sebelumnya yang seharusnya menjadi hajatan membanggakan di candi yang sudah mendunia ini terpuruk.
Keluhan dan kecaman dikemukakan di media sosial oleh para pelari peserta Borobudur Marathon 2016. Pemprov Jateng, Bank Jateng, dan Yayasan Borobudur 10K tidak ingin mengulang kisah buruk itu. Mereka ingin menghadirkan sebuah ajang maraton yang membanggakan Indonesia itu di Jawa Tengah.
Saat menerima ajakan untuk menangani BJBM, Tim Kompas menyaratkan satu hal. ”Tidak ada lagi tim lama yang disertakan dalam BJBM 2017”. Permintaan tersebut penting mengingat Kompas berkeinginan menghadirkan sebuah maraton yang benar-benar baru di Borobudur. Risiko bukannya tidak ada.
Saya—yang didapuk menjadi anggota tim penasihat dan humas—pun berulang kali mengingatkan kepada tim Kompas mengenai hal itu. Selain Redaksi Kompas, di Kompas ada divisi yang memang menangani berbagai acara sebagai bagian dari kegiatan di luar pemberitaan, yang secara internal dikenal sebagai kegiatan off print.
”Kita harus melahirkan sebuah maraton yang baru, tidak ada kaitannya dengan event yang lama. Borobudur Marathon harus reborn,” kata saya kepada GM Event Harian Kompas Luki Lukmanto.
Hal yang sama disampaikan kepada Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo, yang juga penggemar olahraga lari. Merekalah yang menggerakkan kerja sama tim Redaksi dan tim Event Kompas dalam pergelaran besar ini.
Selanjutnya, tim Kompas tidak saja menjadikan BJBM sebagai sebuah pertaruhan, tetapi juga sebagai sebuah tantangan yang membuat adrenalin bergolak. Tha: tukul saka niat.
Dalam perjalanannya, kata reborn itu kemudian tertuang dalam tagline Bank Jateng Borobudur Marathon 2017 ”Reborn Harmony”. Kelahiran kembali harmoni yang terinspirasi dari nilai-nilai kejawaan tentang kekeluargaan, keselarasan, dan kebijaksanaan. Harmonisasi dunia beserta isinya dan jalan kehidupan yang menggambarkan tujuan hidup manusia mencapai kesempurnaan.
Selanjutnya tim Kompas tidak saja menjadikan BJBM sebagai sebuah pertaruhan, tetapi juga sebagai sebuah tantangan yang membuat adrenalin bergolak. Tha: tukul saka niat. Falsafah Jawa yang berarti ”segala hal harus dimulai dari niatan (kemauan)” itu semakin meyakinkan. Jika niat sudah bulat, seberat apa pun pekerjaan akan dijalankan demi mewujudkan apa yang diinginkan.
Keinginan sudah jelas: melahirkan sebuah pergelaran maraton yang sebanding dengan keberadaan Candi Borobudur yang melegenda. Misinya pasti: para pelari yang memberikan jempol terbalik pada maraton di tempat yang sama tahun lalu harus membalikkan jempolnya ke atas. Mereka harus menunjukkan jempol ke atas di depan Borobudur yang merupakan mahakarya nenek moyang kita.
Pengalaman
Bagi tim Event Kompas, menangani hajatan olahraga yang melibatkan publik sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali baru. Saat ramai orang bersepeda, berkali-kali Kompas menyelenggarakan acara fun bike.
Jelajah Sepeda Kompas yang digelar sejak tahun 2012 dari Anyer-Panarukan hingga ke pulau-pulau besar di Indonesia, seperti Bali, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua, sukses digelar.
Demikian juga ajang lari, tim Event Kompas sudah merebut perhatian publik sejak menggelar ajang Trans-Sumbawa 200 serta Tambora Trail tahun 2015 untuk memperingati 200 tahun meletusnya Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. Ajang lari ultraroad tercadas di Asia Tenggara itu masih berlanjut dengan Lintas Sumbawa 320 di tahun-tahun berikutnya.
Tim Kompas juga sejak tahun 2014 menangani Jakarta Kidzuna Ekiden, sebuah lomba lari yang bertujuan mempererat jalinan persahabatan Jepang dan Indonesia. Walaupun peserta belum terbuka untuk publik, lomba lari estafet yang merupakan kerja bareng koran Jepang, Mainichi Shimbun, dan Kompas diikuti sekitar 400 tim (1.600 pelari), yang merupakan peserta dari berbagai perusahaan Jepang di Indonesia.
Selain menjadi turnamen lari estafet ekiden terbesar di ASEAN, Jakarta Kidzuna Ekiden 2017 adalah sebuah turnamen lari bersertifikat dari Sport for Tomorrow, sebuah proyek kontribusi internasional yang disponsori oleh Pemerintah Jepang. Permintaan agar ajang tersebut dibuka untuk publik menjadi desakan para pelari menyusul suksesnya pelaksanaan Jakarta Kidzuna Ekiden selama empat kali berturut-turut.
Beberapa ajang lari lain juga dieksekusi tim ini, seperti Kompas Mandiri Lantern Run atau Paper Run baru-baru ini.
Kami mendengar pelari
Oke! Tantangan sudah diterima. Organisasi kerja pun segera dibentuk dengan kesadaran penuh bahwa tim harus melahirkan sebuah hajatan maraton di Borobudur yang sama sekali baru. Bukan saja sebuah tim yang akan mengeksekusi pelaksanaan sebuah race, melainkan juga tim yang harus bisa meyakinkan publik pelari bahwa Borobudur Marathon tahun ini betul-betul Borobudur Marathon yang berbeda, yang ditangani tim Kompas, bukan seperti sebelumnya.
Tim Kompas melibatkan para pemangku kepentingan dan pendukung Borobudur Marathon: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Bank Jateng, dan Yayasan Borobudur 10K. Sebagai project leader, Kompas juga membentuk tim pre-race, race, promosi, dan sosialisasi yang melibatkan orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Sebuah kerja besar dilaksanakan. Bendera Kompas dikibarkan.
PIC Race BJBM Aswito Zainul, misalnya, membawahkan tim race yang menangani pelaksanaan lomba; mulai dari pendaftaran, race pack, persiapan rute, marshall, hingga water station. Bersama Pengarah Lomba (Race Director) Andreas Kansil, Aswito bersama tim bahu-membahu menyiapkan segalanya.
Demikian juga dengan tim non-race hingga promosi yang melibatkan banyak orang serta kolaborasi dengan berbagai pihak. Setiap langkah, tahapan, ataupun eksekusi tersusun rapi. Semua harus saling mengingatkan. Ingat: ”The devil’s in the details!”
Langkah-langkah segera disiapkan. Trauma pelari terhadap pelaksanaan maraton sebelumnya di tempat yang sama cukup dalam. Langkah pertama yang dilakukan tim adalah berusaha mendengar dari para pelari mengenai Borobudur Marathon. Hal itu bukan saja dengan menemui sejumlah pelari dari berbagai komunitas, melainkan juga melalui media sosial.
Kami berkesempatan mengunjungi rekan-rekan pelari di Magelang, Bali, Medan, dan tentu saja Jakarta. Umumnya mereka menginginkan adanya sebuah maraton yang diimpikan di Borobudur.
”Sebagai tuan rumah, kami ingin terulang lagi hajatan maraton di Borobudur. Di kampung, kami dicela banyak teman-teman. Kami kena malunya juga, lo,” kata Alex Fajar dari Magelang Runners saat pertama betemu saya di Balkondes Borobudur, pertengahan Agustus lalu.
Keinginan adanya sebuah ajang maraton seperti yang diinginkan para pelari juga disampaikan oleh Robbie Baria, dari komunitas lari di Bali, Island’s Wolfpack. Menurut dia, selama ini orang mengenali Maybank Bali Marathon sebagai ajang maraton yang menjadi tujuan para pelari untuk menjajal maraton Indonesia.
”Borobudur Marathon harus mampu menjadi event yang bagus juga,” kata Robbie. Dengan demikian, bukan saja setiap penyelenggara akan berkompetisi menghadirkan ajang maraton berskala internasional yang bagus, melainkan para pelari juga memiliki banyak pilihan.
Bahkan, mungkin para pelari peserta Maybank Bali Marathon 2017 sempat memergoki sejumlah pelari yang menggunakan jersey bertuliskan ’Ready for Borobudur Marathon’ atau ’After Bali Marathon. Borobudur Marathon?’.
Ajang Road to Borobudur Marathon juga digelar dengan berlari bersama dan sesi berbagi (sharing session) di sejumlah kota. Masukan dari para pelari mengenai rute, pelaksanaan lomba, pengambilan race pack, dan lain sebagainya menjadi evaluasi dan ”modal” bagi tim Kompas untuk menyempurnakan langkah-langkah.
Bahkan, mungkin para pelari peserta Maybank Bali Marathon 2017 sempat memergoki sejumlah pelari yang menggunakan jersey bertuliskan ”Ready for Borobudur Marathon” atau ”After Bali Marathon. Borobudur Marathon?”.
Atau, sempat mencicipi kue bertuliskan kalimat yang sama di Pulau Dewata itu? Itu adalah salah satu upaya kami untuk terus menyapa para pelari yang berdatangan dari berbagai penjuru negeri ataupun mancanegara. Tim Komunikasi Kompas pun menghadirkan citra baru Borobudur Marathon mulai dari desain dan tampilan berbagai hal yang berkaitan dengannya.
Indonesia bukan hanya Bali
Saat mencoba rute half marathon BJBM 2017 pada Jumat pagi, bersama coach Matias Ibo dan pacer Riefa Istamar, Alex Fajar, serta Andri dari Magelang Runners, cuaca begitu bersahabat. Sisa hujan malam hari membuat pagi terasa menyenangkan. Melewati dusun-dusun di seputar Borobudur, jalanan yang masih basah berbalut embun di pepohonan, sejumlah warga menyambut hangat dan sudah tak sabar menyambut para pelari.
”Minggu, ya, lombanya?” kata seorang ibu penjual gorengan di Desa Tanjungsari. Ibu-ibu lainnya nimbrung saling menimpali. Mereka dengan ramah segera menyiapkan teh hangat yang kami pesan.
Jalanan kampung yang umumnya hanya selebar lebih kurang 2 meter juga sudah siap. Warga terlihat membersihkan rumput-rumput liar atau menyapu sampah sehingga suasana kampung terasa lebih asri. Di beberapa titik tampak aspal baru menutup lubang yang sebelumnya ada. ”Ini rute paling menyenangkan, suasana pedesaan sangat terasa. Indah banget,” kata Riefa yang diiyakan Mathias.
”Luar biasa, saya senang sekali. Rutenya bagus sekali, benar-benar keluar-masuk pedesaan. Sangat menyenangkan dan menantang,” kata Rizal Tandiawan, sambil mengacungkan jempol sesaat setelah finis. Pengusaha yang adalah bos Galesong Grup Makassar itu adalah marathoner yang sudah menjajal berbagai ajang maraton kelas dunia, termasuk sejumlah World Major Marathon (WMM).
Bahwa Borobudur Marathon bisa menjadi ajang wisata olahraga (sport tourism) dunia, itu sudah disampaikan Vice President and Technical Director of AIMS (Association of International Marathons and Distance Race) Dave Cundy.
Seusai pengukuran lintasan BJBM, akhir Juli lalu, Cundy menyatakan, jika dikelola dengan baik, Borobudur Marathon akan menjadi salah satu lomba maraton yang menarik perhatian para penggemar lari dunia. Bukan saja keberadaan Candi Borobudur yang tidak ada duanya di dunia, melainkan lintasan yang menjelajahi perkampungan serta persawahan dengan suasana dan vegetasi yang bervariasi bisa menjadi daya tarik tersendiri.
Kehadiran Dave Cundy dari AIMS untuk mengukur rute BJBM secara persis merupakan upaya tim Kompas untuk menjadikan BJMB berstandar tinggi. AIMS bekerja sama dengan Asosiasi Federasi Atletik Internasional (IAAF) mengukur rute maraton dengan akurat dan melakukan sertifikasi terhadap lomba maraton di berbagai belahan dunia.
AIMS adalah organisasi olahraga internasional yang menghimpun lebih dari 400 pergelaran maraton internasional di lebih dari 120 negara. Akurasi pengukuran yang dilakukan Cundy terbukti menjadikan para pelari mendapatkan jarak lari sesuai kategori yang dipilihnya.
Masyarakat Borobudur yang ”gayeng”
Selain keberadaan warisan dunia dan keindahan lintasan perkampungan atau dusun, kehangatan warga setempat meninggalkan kesan yang mendalam bagi para pelari. Para pelari merasakan benar masih adanya masyarakat Jawa yang gayeng. Dalam bahasan Jawa, kata ”gayeng” bermakna hangat, penuh semangat, berani, tangguh, jujur, ramah, menggembirakan, humoris, harmonis, dan hangat.
”Gue sampe ditawari teh hangat manis segala, ha-ha,” ujar seorang pelari. Kehangatan warga masyarakat terasa lebih sincere, masih murni dan tidak pamrih.
Mereka menyambut para pelari tak hanya dengan sorak-sorai (cheering), tetapi ada juga yang menyediakan rebusan singkong atau jagung. Saat hujan turun, mereka memberikan plastik pelindung telepon seluler kepada para pelari.
Mereka yang mempunyai pohon rambutan memetik buahnya dan menyajikannya kepada peserta. Sejumlah pelari malah dipersilakan memetik buah rambutan yang memang saat itu sedang musimnya.
Aswito Zainul, dari tim Kompas, mendapat banyak pengalaman bagaimana tulusnya warga sekitar Borobudur kepada rekan-rekan pekerja di lapangan. ”Warga tak segan-segan membantu rekan-rekan yang memasang marka jalan. Bahkan, mereka juga tak segan-segan memberi durian atau rambutan,” tutur Aswito.
Lain lagi cerita yang dialami Dian, panitia dari seksi konsumsi. Seperti juga para pelari dari Magelang Runners lainnya, Dian memilih menjadi panitia untuk menyukseskan BJBM daripada ikut berlari.
Sabtu dini hari, saat akan mengantar boks konsumsi kepada tim marshall di sejumlah titik, motornya kecebur got. Dian pun menitipkan motornya kepada warga dan dia malah mendapat pinjaman sebuah motor dari seorang polisi, warga setempat.
Para pelari peserta BJBM kali ini merasakan betul bagaimana hangatnya sambutan masyarakat. Seperti layaknya pesta ”Agustusan” untuk merayakan kemerdekaan, setiap dusun atau kampung menyajikan hiburan atau kesenian andalan mereka.
Berbeda dengan di tempat lain, kesenian yang disajikan warga sangat beragam, masing-masing sangat kreatif. Tercatat sebanyak 22 titik atraksi kesenian digelar oleh warga.
Walaupun memang ada semacam sosialisasi kepada para kepala desa yang akan dilalui para pelari, atraksi dan sambutan warga sangat murni dari mereka. Tim Kompas memang menjelaskan apa pentingnya BJBM bagi warga Borobudur dan dampak ke depannya yang diharapkan akan semakin mendatangkan banyak wisatawan dunia serta memberi dampak secara ekonomi kepada warga.
Saat penjelasan, diputarkan video atau presentasi. Warga atau tokoh masyarakat pun menanyakan istilah-istilah yang biasa digunakan dalam hajatan maraton, seperti cheering zone (zona sorak-sorai) dan water station (pos hidrasi).
Antusiasme warga menyambut BJBM sangat terasa. Bukan saja sambutan mereka yang begitu meriah di lintasan maraton, keramahan pengelola guest house terhadap para pelari yang menjadi tamu penginapannya pun mengundang kekaguman pelari.
”Kami berdua belas dari Jakarta dan menginap di sebuah guest house. Tiba-tiba, saat pulang race, di rumah sudah tersedia sarapan sayur lodeh dan teman-temannya,” ujar Safrita, pelari. Padahal, paket yang mereka ambil tidak termasuk sarapan.
Rekan pelari lain, Alfa Febrianto, yang sempat tersasar mencari penginapannya malah diantar menggunakan motor oleh seorang warga yang berbaik hati. Cerita-cerita manis keramahan warga sekitar Borobudur terhadap peserta BJMB terus mengalir menjadi cerita tidak terlupakan.
Disiplin adalah kunci sukses
Setelah para pelari kategori full marathon (42,195 kilometer) dan half marathon (21 kilometer) melakukan start, yang masing-masing berjarak waktu 30 menit, para pelari kategori 10 kilometer bersiap untuk berlari pada pukul 06.00. Kategori ini diikuti paling banyak peserta. Sebanyak 6.322 pelari mendaftar untuk kategori jarak terpendek BJBM kali ini. Mereka harus memulai lari dengan nyaman dan tepat waktu seperti dijadwalkan.
Bahkan, tim Kompas saat itu sudah mengingatkan kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Olahraga serta pejabat lain untuk jangan sampai terlambat. ”Kami sudah meminta maaf terlebih dahulu kepada mereka bahwa, jika terlambat, terpaksa ditinggal. Kami lebih memilih kenyamanan dan kepentingan pelari untuk memulai lomba tepat waktu,” ujar Luki Lukmanto.
Terlambat memulai start, bukan saja akan merusak mood pelari. Akan tetapi, juga bisa mencoreng keseluruhan lomba BJBM yang sudah dipersiapkan dengan matang.
Tim Kompas memang sudah bersepakat untuk saklek atau disiplin menjalani semua tahapan. Sejak awal, berdasarkan daftar cek (check list), masukan dan keluhan para pelari pada ajang Borobodur Marathon sebelumnya yang semuanya ”bolong” harus ditutup dan diperbaiki.
Beberapa masukan dari para pelari tersebut diurut berdasarkan rangkaian proses yang harus dijalani peserta sejak mendaftar, mengambil perlengkapan lomba (race pack), hingga saat berlomba, ketersediaan air hidrasi, refreshment, medali, hingga jersey yang harus bermutu baik.
Pengambilan race pack (RPC) yang tahun lalu dikeluhkan para peserta menjadi cerminan bagaimana sebuah lomba akan berjalan. RPC ibarat muka dari sebuah lomba.
Rabu (15/11) malam, menjelang hari pengambilan perlengkapan lomba keesokan harinya, sudah dilakukan gladi resik. Sebanyak 108 petugas, terdiri dari para pelari setempat dan mahasiswa, yang akan menyebar di 24 meja di-briefing bagaimana mereka harus melakukan tugas.
Target pelayanan adalah 30 detik untuk setiap peserta mengambil race pack. Ternyata pada hari pertama dibutuhkan waktu hingga 1 menit bagi setiap peserta mengambil race pack. Hal itu disebabkan banyak pelari setempat yang masih banyak bertanya prosedur RPC. Namun, selanjutnya, RPC berlangsung lancar, petugas bisa melayani para pelari dengan lancar. Untuk memberi semangat, bahkan pada hari ketiga dibikin semacam lomba meja siapa paling cepat melayani para pelari dengan hadiah ala kadarnya.
Bahkan, sampai Jumat jelang tengah malam pun, telepon sejumlah panitia masih berdering dari orang-orang yang mengaku sebagai ajudan atau utusan tertentu untuk meminta slot atau jersey buat acara besok.
Untuk melakukan semua itu dengan saklek, bukanlah hal mudah. Masih banyak pejabat dari berbagai instansi yang meminta jatah free slot untuk berlomba, mengingat ajang sebelumnya panitia memang membagi-bagikan slot lomba secara gratis. ”Wah, itu slot ibaratnya minta berapa saja saya kasih demi target jumlah peserta tercapai. Sekarang, di BJBM ini, maaf saja, tidak bisa. Saya pun manut saja kepada tim Kompas. Kita mau semua disiplin dan teratur,” kata Ketua Yayasan Borobudur 10K Liem Chie An.
Bahkan, sampai Jumat jelang tengah malam pun, telepon sejumlah panitia masih berdering dari orang-orang yang mengaku sebagai ajudan atau utusan tertentu untuk meminta slot atau jersey buat acara besok. Pengarah Lomba (Race Director) BJBM Andreas Kansil sempat pula bersitegang seusai melepas para pelari kategori 10K, tiba-tiba saja sejumlah orang tanpa nomor dada (BIB) menerobos barikade dan berniat mengikuti para pelari. Namun, mereka akhirnya bisa menerima alasan jika terjadi hal yang tidak diinginkan di lintasan lomba akan menjadi tanggung jawab penyelenggara dan merusak ajang BJBM secara keseluruhan.
Kejadian lain dan serupa adalah keinginan sejumlah orang agar pejabat tertentu bisa berada di garis depan bersama-sama para pelari. Namun, panitia tetap bersikap tegas untuk tidak membolehkannya.
Keluhan para pelari di ajang sebelumnya, yakni soal banyak pelajar yang berjalan kaki di lintasan, juga dibenahi. Jika sebelumnya para pelajar itu dikerahkan sebanyak mungkin untuk mengikuti Borobudur Marathon, kali ini tidak demikian.
Tim Kompas bekerja sama dengan Magelang Runners serta PASI Magelang dan Jateng memberi pelatihan lari selama beberapa minggu setiap akhir pekan kepada para pelajar. Setelah itu, melalui penyaringan, hanya sekitar 200 pelajar yang diperbolehkan berlari di BJBM secara gratis.
Banyak kejadian yang harus memerlukan penyesuaian agar BJBM berlangsung seperti seharusnya. Beberapa hari sebelum lomba, tiba-tiba saja viral tanda-tanda lalu lintas di sepanjang rute BJBM. Masalahnya, tanda atau marka jalan itu bukan seperti yang seharusnya dipasang oleh penyelenggara lomba maraton.
”Emangnya kita sopir truk, disuruh baca rambu lalu lintas,” kata seorang pelari. Rupanya pihak dinas perhubungan setempat berinisiatif memasang tanda lomba tersebut sebagai bentuk partisipasi mereka. Belakangan, tanda-tanda lalu lintas berwarna hijau, kuning, dan merah itu dilapisi dengan tanda dari tim BJBM.
Dukungan dari Pemerintah Provinsi Jateng, Pemkot dan Pemkab Magelang, serta aparat Polres Magelang ataupun Kodim setempat sangat berarti dalam mem-back up jajaran panitia yang sudah menyiapkan personel di berbagai lini. Untuk BJBM 2017 kali ini, tercatat dikerahkan sebanyak 350 oang untuk marshall di lintasan, 40 orang marshall di start dan finis, 320 orang di tim water station (pos hidrasi), 60 orang di refreshment, 135 orang tenaga medis dengan 14 ambulans yang bersiaga.
Dengan persiapan yang matang, eksekusi yang rapi, dukungan serta kerja sama semua pihak, termasuk para pelari, BJBM berhasil menjadi sebuah ajang lomba maraton yang diidamkan para pelari. Mereka yang mengikuti BJBM kali ini gembira dan berniat datang kembali.
Mereka yang belum sempat bergabung di tahun ini, ditunggu kehadirannya di BJBM 2018. Ayo bersiap!