Beradu Nyawa demi ”Membongkar” Tambang Emas Liar
Beberapa kilometer menjelang Gunung Botak, Kompas baru tersadar sedang memakai jaket biru dengan logo 52 tahun Kompas. Terpaksa demi keselamatan, logo itu dirobek. Supaya dapat pulang membawa nyawa dari tambang emas ilegal Gunung Botak di Kabupaten Buru, Maluku, segala macam atribut wartawan memang ditinggalkan.
Puncak Gunung Botak juga dicapai melalui jalur alternatif, yang jarang dilewati petambang. Jalur sepanjang 2 kilometer ditempuh dalam 45 menit. Sepeda motor trail pun digeber melewati tanjakan terjal. Beberapa kali mesin sepeda motor trail mati sehingga Kompas nyaris masuk jurang.
Di puncak gunung, Kompas memotret dan mewawancarai beberapa petambang. Tak bisa berlama-lama demi alasan keamanan. ”Apa pun yang terjadi, abang harus dekat saya. Saya jamin abang aman,” kata Noven—bukan nama sebenarnya—kepada Kompas.
Memasuki tambang emas ilegal memang bagaikan memasuki kandang harimau. Setiap saat, ancaman nyawa menghadang jika Kompas tak berhati-hati. Untung saja, selalu ada warga baik hati seperti Noven yang bersedia menemani. Tampaknya, dia menyadari dampak negatif tambang ilegal terhadap lingkungan.
Memasuki tambang emas ilegal memang bagaikan memasuki kandang harimau. Setiap saat, ancaman nyawa menghadang jika Kompas tak berhati-hati.
Pertambangan emas skala kecil (PESK) harus diakui telah melahirkan persoalan dan konflik berkepanjangan. Kali ini, Kompas menyambangi berbagai PESK untuk menyoroti penggunaan merkuri yang digunakan petambang untuk memurnikan emas dari bahan mineral lain.
Selain berlayar ke Pulau Buru, untuk meliput di Gunung Botak, beberapa wartawan Kompas juga diterjunkan ke lokasi PESK yang diduga kuat menggunakan merkuri.
Di Indonesia ternyata ada 850 lokasi PESK yang diduga menggunakan merkuri. PESK itu tersebar di 197 kabupaten pada 32 provinsi. Namun, Kompas kemudian memutuskan hanya mendatangi lokasi-lokasi terparah aktivitas tambang dan dampak kerusakan lingkungannya.
Baca reportase Harian Kompas soal penggunaan merkuri di tambang rakyat
Di Aceh, kondisi lapangan dilaporkan oleh wartawan Kompas, Zulkarnaini Masry; kondisi di Sumatera Barat dilaporkan oleh Ismail Zakaria; di Jambi oleh Irma Tambunan; di Sumatera Selatan oleh Rhama Purna Jati; di Banten oleh Dwi Bayu Radius dan Samuel Oktora; sementara Frans Pati Herin meliput ke Gunung Botak.
Kerja tim, yang sebagian besar wartawan Desk Nusantara, juga dibantu wartawan senior, Brigitta Isworo, yang mengunjungi lokasi korban keracunan merkuri di Sekotong, Nusa Tenggara Barat. Sejumlah wartawan dari Desk Humaniora, Metropolitan, dan Ekonomi ikut menyuplai data dan mewawancarai sejumlah narasumber terkait.
Memotret dari balik semak
Menargetkan liputan berkualitas, maka sejak dua minggu sebelum deadline, tulisan, foto, ataupun karya video sebagian tim sudah mulai terjun ke lapangan.
Di Solok Selatan, Sumatera Barat, Kompas menembus hutan untuk meliput kawasan Pamong Ketek, salah satu area penambangan emas liar tanpa izin yang sangat luas. Pamong Ketek dipotret dari sebuah bukit di atasnya setelah Kompas mendakinya.
Dari balik semak, pemotretan dilakukan. Berkali-kali, Kompas harus menunduk bahkan tiarap setiap kali ada kendaraan atau warga yang melintas. Sempat pula, Kompas membayangkan adegan film di mana pemerannya ditikam dari belakang saat bersembunyi di dalam semak-semak.
Dari balik semak, pemotretan dilakukan. Berkali-kali, Kompas harus menunduk bahkan tiarap setiap kali ada kendaraan atau warga yang melintas.
Di kawasan Pamong Gadang, Kompas menyembunyikan kamera DSLR dan memotret dengan telepon genggam. Karena banyak petambang, Kompas pura-pura menelepon. Padahal, Kompas sedang berbicara sendiri dengan jari-jari memencet tombol untuk mengambil foto atau video.
Tentu saja, petambang tidak begitu saja mudah dikelabui. Berulangkali, tatapan mata petambang menyisirnya dari kepala sampai kaki. Petambang juga tampaknya mulai curiga. Apalagi, Kompas memakai celana kain bukan jins seperti petambang.
Kompas juga baru tersadar kalau kepalanya plontos dengan kulit hitam. Jelas, itu ciri-ciri kebanyakan anggota intelijen. Apa jadinya jika para petambang memaksa Kompas mengungkap jati dirinya? Untung saja, Fauzi (bukan nama sebenarnya), salah seorang pemandu Kompas, tiba-tiba datang setelah mengganti ban sepeda motor mereka yang pecah.
Kompas juga baru tersadar kalau kepalanya plontos dengan kulit hitam.
Menyembunyikan mobil ”Kompas”
Di Banten, misalnya, Kompas mengunjungi salah satu PESK terparah di Kabupaten Lebak yang lokasinya tersebar di Kecamatan Cibeber, Cilograng, dan Bayah. Setelah tujuh jam perjalanan menempuh 200 kilometer dari ibu kota Banten, Serang, tibalah dia di-”sarang” para petambang ilegal.
Rasa waswas seketika menyelimuti benak saat turun dari kendaraan. Beruntung sekali, Kompas bertemu kelompok warga yang mendukung penertiban tambang illegal. Warga bahkan mengantar Kompas ke lokasi tambang dan mengunjungi warga yang diduga keracunan merkuri.
Kendaraan dengan stiker Kompas terpaksa disembunyikan di rumah warga demi keamanan. Betapa berbahaya jika identitas sebagai wartawan diketahui oleh para petambang. Ancaman dapat tiba-tiba hadir di depan mata.
Kendaraan dengan stiker Kompas terpaksa disembunyikan di rumah warga demi keamanan.
Petualangan pun dimulai. Dengan mata kepala sendiri, Kompas melihat maraknya tambang emas liar di dalam Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Ternyata, ada ribuan orang menggantungkan hidupnya di sana, mengadu peruntungan rezeki dalam lubang-lubang tambang yang dalamnya ratusan meter di bawah tanah. Jurang bencana begitu dekat di hadapan mereka.
Yang lebih menyedihkan, ternyata ada warga yang diduga keracunan limbah merkuri. Korbannya bukan hanya petambang, melainkan juga petani biasa. Sejumlah korban, tubuh lunglai, tidak bisa lagi berjalan. Mereka tak berdaya sepanjang waktu.
Sungguh pengalaman tak terlupakan bisa mengobrol dengan para korban dan keluarganya. Kompas menjalani obrolan yang tak mudah. Mereka, para korban, hanya bisa bicara pelan dan lambat disebabkan kerusakan saraf.
Karena hari sudah malam, warga juga mempersilakan Kompas untuk bermalam di rumah mereka. Tentu saja, perasaan diawasi tidak dapat dihindari. Ketika senja tiba, Kompas sempat menangkap dengan sudut mata adanya sorotan mata dari kerumunan warga yang bukan dari desa itu.
Karena hari sudah malam, warga juga mempersilakan Kompas untuk bermalam di rumah mereka. Tentu saja, perasaan diawasi tidak dapat dihindari.
Beberapa aparat desa juga sempat hilir mudik di dekat rumah yang didiami Kompas. Setelah dua hari di desa itu, keadaan dirasakan tak aman sehingga Kompas memutuskan pergi. Namun, berkali-kali karena perasaan tidak tenang, maka di sepanjang perjalanan Kompas mengawasi kaca spion belakang.
Difoto petambang
Pengalaman serupa dialami wartawan Kompas yang meliput tambang ilegal di Desa Sukakersa, Kecamatan Parakan Salak, Sukabumi. Ketika bertanya ke kantor Desa Sukarkersa, seorang kepala seksi tidak memberikan informasi berarti. Anggota Polsek Parakan Salak juga tidak menyajikan keterangan yang jelas, yang berjarak 40 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam.
Setelah menjelajahi desa seorang diri, Kompas akhirnya bertemu seorang pimpinan kelompok pengolah merkuri yang awalnya enggan diwawancara. Meski demikian, setelah beberapa kali lobi, wawancara dapat berlangsung.
Seorang pimpinan kelompok pengolah merkuri lain yang ditemui juga semula menutup diri. Meski akhirnya dia dapat diwawancarai, tetapi Kompas sebelumnya sempat difoto oleh kelompok itu. Entah apa maksud mereka melakukan itu.
Kompas kemudian bermaksud ke Waluran, lokasi tambang liar di Kabupaten Sukabumi. Jarak Waluran dari Kota Sukabumi mencapai 87 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 3 jam.
Kali ini, diputuskan pergi tanpa atribut jurnalis demi keselamatan. Namun, setelah direnungkan, mungkin saja ada komunikasi antarkelompok petambang. Akhirnya, Kompas memutuskan langsung angkat kaki dari Sukabumi.
Kompas sadar, betapa masyarakat Sukabumi pada dasarnya santun dan religius. Namun, tuntutan hidup memaksa mereka menambang emas. Hati yang lembut pun dapat saja menjadi garang. Kali ini, Kompas memilih mengalah.
Kompas sadar, betapa masyarakat Sukabumi pada dasarnya santun dan religius. Namun, tuntutan hidup memaksa mereka menambang emas. Hati yang lembut pun dapat saja menjadi garang.
Anak yang cacat
Di Sekotong, Nusa Tenggara Barat, Kompas juga menyaksikan anak-anak kecil yang diduga cacat akibat paparan merkuri. Tujuh penghuni rumah yang disambangi Kompas semuanya mengalami gangguan saraf. Korban anak-anak bahkan sering kali kejang selama berjam-jam. Bisa dibayangkan betapa mengerikan situasinya jika kita sendiri mengalami kejang selama berjam-jam.
Baca lebih dalam soal korban akibat keracunan merkuri.
Para korban ternyata tak mendapat perhatian dan layanan pengobatan yang memadai. Setidaknya di puskesmas terdekat dengan rumah para korban, obat antikejang saja sulit didapat. Para orangtua korban harus datang ke Mataram untuk mendapatkan obatnya. Harga sebotol obat Rp 250.000 yang habis diminum untuk seminggu. Betapa beratnya hidup sebagai korban paparan merkuri.
Selain menimbulkan korban, yang diduga akibat penggunaan merkuri, ketidakhadiran negara bahkan menghancurkan lumbung pangan daerah.
Sepuluh tahun silam, saat Kompas menyisir lembah-lembah bukit barisan di Kabupaten Merangin, Jambi, masih tampak surga-surga hijau nan permai berdiri di sepanjang anak-anak Sungai Batanghari.
Setiap pelintas yang menempuh perjalanan darat dari Jambi menuju Kerinci akan selalu berhenti sejenak untuk beristirahat sembari menikmati indahnya persawahan, suara burung terbang, dan putaran kincir-kincir air yang mengaliri sawah.
Pemandangan itu telah lenyap saat Kompas berkunjung kembali beberapa minggu lalu. Menurut Zulkifi, warga setempat, ribuan alat berat dan dompeng telah mengeruk dan menyedot sawah mereka, menyisakan lubang-lubang luas dan dalam.
Masifnya aktivitas pertambangan pun menggerus deposit emas di wilayah itu. Dalam rentang lima tahun saja, sumber emas mulai habis. Daerah itu mulai ditinggalkan.
Ekonomi ke titik nol
Perekonomian mereka kini hancur ke titik nol. Kompas mendapati rumah-rumah warga masih tampak mewah. Bangunan-bangunan berkeramik mewah itu menggantikan peninggalan rumah-rumah kayu tradisional. Namun, kemewahan itu tak lagi punya arti.
”Kalau mau tahu bagaimana hancurnya perekonomian masyarakat saat ini, masuklah ke dalam rumah, lihat ke dapurnya. Kita akan dapati bahwa ekonomi masyarakat telah jatuh di titik terendah,” ujar Zulkifli, salah satu warga, yang membuka rumahnya untuk diinapi Kompas.
Kalau mau tahu bagaimana hancurnya perekonomian masyarakat saat ini, masuklah ke dalam rumah, lihat ke dapurnya.
”Apakah warga menyesal pernah menggusur sawahnya menjadi lokasi tambang?” kata Kompas.
”Tentu saja menyesal. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa mau dikata lagi,” kataZulkifli.
Baca tentang kerusakan lumbung pangan akibat penambangan emas illegal.
Kini, katanya, sebagian warga nekat mengeruk sawah yang tersisa. Namun, kebanyakan lainnya mulai sadar bahwa uang panas dari tambang emas hanya menetap sesaat. Mereka ingin kembali bertani.
”Tolong sampaikan (kepada pemerintah daerah), masa lalu kami (sebagai petambang liar) adalah masa lalu. Jangan kami dipersalahkan terus karena masalah tambang liar ini. Kami hanya ingin menatap ke depan. Berharap penghidupan yang lebih baik,” ujarnya.