Kepala Plontos yang Nyaris Menggagalkan Liputan Tambang Liar
Malang tak dapat ditolak. Ban sepeda motor kami bocor saat meliput tambang emas liar di Kecamatan Sangir, Solok Selatan, Sumatera Barat, pertengahan November 2017. Padahal, kami sedang berada tepat di kawasan perbukitan dengan tambang-tambang liar yang berserakan.
Ronaldo (bukan nama sebenarnya), warga Solok Selatan, yang memandu saya, kemudian memutuskan untuk terlebih dahulu memperbaiki ban itu. Siapa tahu kami harus melarikan diri saat liputan.
Lokasi kami sebenarnya hanya sekitar 2 kilometer dari perkampungan terdekat. Dalam kondisi normal, Ronaldo mestinya tidak perlu terlalu banyak berjuang. Namun, di Sangir, jalan yang membentang bukan berupa jalan aspal, melainkan jalan tanah dengan tanjakan dan turunan yang curam.
Di Sangir, jalan yang membentang bukan berupa jalan aspal, melainkan jalan tanah dengan tanjakan dan turunan yang curam.
”Bang, saya balik duluan saja untuk tambal ban. Abang tunggu di sini saja atau bisa jalan pelan-pelan, nanti saya jemput,” ujar Ronaldo.
Dia berencana menaiki, bukan menuntun, sepeda motor itu sehingga dapat lebih cepat mencari tukang tambal ban.
Saya kemudian menyerahkan Rp 50.000. Dengan uang sebesar itu, Ronaldo tidak perlu menambal ban, tetapi dapat langsung membeli ban baru. Harapannya, waktu tidak terbuang untuk menunggu proses tambal ban.
Sebelum beranjak, dia memberikan pesan. ”Hati-hati ya, Bang. Kalau ada yang tanya mau ke mana, bilang mau ’ke dalam’. Itu untuk menyebut lokasi tambang di sini. Kalau ditanya dari mana, bilang dari Lubuk Gadang, Tandai, ya,” ujarnya.
Setelah Ronaldo berlalu, saya justru mulai merasa cemas, bahkan mulai merasa takut. Kawasan ini sama sekali belum pernah saya kunjungi, dan saya tahu masuk kawasan tambang tanpa izin.
Adapun Ronaldo jelas mengenal kawasan ini. Dulu, Ronaldo adalah seorang petambang emas liar. Namun, dia mampu mengubah nasib hidupnya, kuliah, dan kini malah menjadi aktivis antikorupsi.
Kenapa bisa? Karena uang dari hasil penjualan emas tidak digunakan untuk hal negatif. Keluarganya membeli tanah dan berkebun untuk kemudian tidak lagi menambang emas.
Air merkuri?
Karena saya kini seorang diri, seketika, sebagai manusia biasa, pikiran-pikiran aneh berkelebat. Saya kemudian menyugesti diri untuk mulai berpikir positif dan memutuskan untuk terus berjalan kaki. Liputan ini harus dituntaskan. Saya harus menemukan bukti adanya tambang emas ilegal di kawasan ini.
Namun, belum 500 meter berjalan, tali sendal gunung yang saya pakai putus. Karena tidak berminat nyeker, saya terus berjalan meski kali ini lebih pelan. Perjalanan pun menjadi melelahkan. Apalagi, matahari sudah terik meski baru pukul 10.30 WIB.
Celakanya, setelah memeriksa ke dalam tas, ternyata botol air minum tidak terbawa. Padahal, air minum kiranya dapat mengembalikan energi saya yang sudah terkuras.
Melihat air jernih di sungai kecil di tepi jalan, membuat saya sempat ingin melepas dahaga. Namun tiba-tiba, saya teringat pesan Ronaldo, ”Jangan minum air sungai ini, Bang. Sudah bercampur dengan merkuri. Bahaya.”
Saya kemudian teringat, di Sumatera Barat, kira-kira Agustus 2017, kepolisian merazia adanya merkuri dan disita 1 kilogram merkuri. Untung saja saya tidak buru-buru minum air sungai tersebut.
Andai saja air itu terminum, nasib saya akan serupa dengan warga korban yang diduga tercemar merkuri di beberapa daerah di Indonesia. Kolega saya, sesama wartawan Kompas, telah mewawancarai para korban.
Akhirnya, saya memutuskan terus berjalan. Di sepanjang jalan, saya bertemu banyak petambang yang melintas dengan sepeda motor. Saya berusaha menyapa sambil tersenyum kepada mereka untuk menghindari kecurigaan.
Setelah lebih dari setengah jam berjalan kaki, saya tiba di tepi kawasan Pamong Ketek, salah satu area penambangan emas tanpa izin (PETI) yang cukup luas. Sebenarnya, kami telah melintasi kawasan itu sebelumnya. Tetapi, kami langsung melintas begitu saja meski sempat tengak-tengok untuk menghindari kecurigaan petambang.
Saya pun tiba di tepi kawasan Pamong Ketek, tepatnya di atas perbukitan. Setelah yakin tidak terlihat oleh siapa pun, saya masuk ke semak-semak untuk mengambil gambar. Ini juga tidak mudah karena saya berada di bibir tebing yang cukup curam. Jadi, saya harus memastikan kaki berpijak dengan tepat.
Saat berada di dalam semak-semak itu, berkali-kali saya harus menunduk, bahkan tiarap, setiap kali ada kendaraan atau warga yang melintas. Saya sedang menenteng kamera DSLR lengkap dengan lensa tele sehingga cukup khawatir apabila sampai tepergok orang.
Saat di semak-semak itu, berkali-kali saya harus menunduk, bahkan tiarap, setiap kali ada kendaraan atau warga yang melintas.
Ketika sedang tiarap, saya membayangkan adegan film yang pemerannya digebuk orang dari belakang saat berada dalam kondisi seperti itu. Beruntung tidak ada kejadian seperti itu. Pemotretan dari balik semak-semak pun berhasil.
Selain memotret dengan kamera DSLR, di area PETI saya juga memotret dengan telepon pintar. Tetapi, ketika ada banyak petambang, saya kerap berpura-pura menelepon, padahal jari-jari memencet tombol untuk mengambil foto atau video.
Berbekal bahasa daerah
Setelah keluar dari semak-semak di Pamong Ketek, saya melanjutkan perjalanan. Rasa haus yang makin menggila membuat saya memberanikan diri turun langsung ke area tambang di sana, tepatnya menuju tenda petambang.
Berbekal pesan dari Ronaldo dan kemampuan berbahasa Minang—meski belum sempurna—saya menyapa para petambang. Alhamdulillah, langkah pertama berhasil.
Karena ditugaskan kantor untuk meliput di Sumatera Barat, saya yang bukan asal Sumatera Barat berupaya mempelajari bahasa Minang. Saya yakin penguasaan bahasa daerah akan mempermudah kerja-kerja jurnalistik. Banyak hal kemudian menjadi lebih mudah terungkap bila kita mampu berkomunikasi dengan bahasa daerah. Setelah empat tahun, saya kira-kira menguasai 60 persen bahasa Minang. Yang masih harus disempurnakan hanyalah soal aksen.
Saya yakin penguasaan bahasa daerah akan mempermudah kerja-kerja jurnalistik.Setelah empat tahun, saya kira-kira menguasai 60 persen bahasa Minang. Yang masih harus disempurnakan hanyalah soal aksen.
Berbekal kemampuan itu, saya langsung bercerita apa yang terjadi, hendak ke mana. Tujuannya, untuk menguasai pembicaraan, sekaligus menghindari terlalu banyak pertanyaan.
”Awak ka pai ka dalam samo kawan. Tapi ban motor pacah di Pamong Gadang (Saya mau ke dalam sama teman. Tetapi ban motor pecah di Pamong Gadang),” ujar saya.
Saya pura-pura menelepon Ronaldo meski, ternyata, sinyal datang dan pergi. Saya kemudian pura-pura mengeluh hebat soal sinyal dan para petambang langsung berpihak kepada saya.
Setelah selesai berbicara dengan dua petambang di luar tenda, saya ikut masuk ke dalam tenda. Tujuannya, mencari air minum. Dan, benar saja, di tenda ada dua petambang yang sedang makan siang.
”Makan, Da,” salah satu petambang menawarkan makan siang. Saya hanya mengangguk sambil mempersilakan mereka makan.
”Lai buliah minta aia, Da?” Akhirnya saya memberanikan diri menanyakan air minum karena haus makin tak tertahankan. Salah seorang petambang kemudian mengambil botol berisi air. Saya langsung mengambil alih botol itu, kemudian meneguknya dengan cepat. Lega sekali rasanya.
”Kama ka pai sabananya, Da (Sebenarnya mau pergi ke mana, Bang)?” pertanyaan itu tiba-tiba muncul. Efek segarnya air minum tadi hilang seketika.
”Ka dalam,” jawab saya.
”Ka dalam ma?” tanya seorang petambang lainnya, yang tampak penasaran.
Saya langsung berpikir keras. Ronaldo tidak mempersiapkan jawaban untuk itu. Ternyata, jawaban ”ke dalam” itu tidak cukup. Lebih baik lagi, ada nama area yang diucapkan.
”Aaaa namonyo... ondeh, lupa wak, eee. Pokoknya ado sungai gadang (Aaaa... namanya, aduh, lupa saya. Pokoknya ada sungai besar tadi),” jawab saya ragu-ragu.
”Pamong Gadang kali, Da,” kata petambang.
”Aaaa, iyoo, Pamong Gadang,” saya menyambar begitu saja.
Takut ditanya terus, saya pura-pura menunduk memencet tombol telepon genggam. Lalu juga mulai mencoba menelepon Ronaldo meski tidak tersambung-sambung.
Petambang, saya tahu, mulai memandangi saya dari kepala hingga kaki. Ketika saya menoleh, mereka buru-buru mengalihkan pandangan ke gundukan-gundukan besar tanah yang telah dikeruk ekskavator.
Petambang, saya tahu, mulai memandangi saya dari kepala hingga kaki.
”Apa tu, Da, yang dikalungkan?” Saya mengajukan pertanyaan untuk kembali menguasai pembicaraan. Tadinya, saya menduga botol kecil itu berisi merkuri. Ternyata, dugaan saya salah.
”Iko buek tampek ameh (Ini buat menampung emas),” jawabnya, sambil menunjukkan butir-butir kecil seperti pasir di dalam botol itu. Saya merespons dengan mengangguk-angguk.
Akhirnya, dua orang di dalam tenda keluar untuk kembali bekerja. Saya lega. Namun, belum satu menit, petambang lain masuk untuk makan siang. ”Dari mana dan mau ke mana sebenarnya?” tanyanya.
”Manga ka sinan (Ngapain ke sana)?” tanya petambang itu lagi. Pertanyaan ini membingungkan. Tujuan kami jelas untuk liputan meski tidak mungkin diungkapkan.
”Ka manganta kawan tu. Inyo nio ka keluarganyo ambil pitih (Saya menemani teman itu. Dia mau ke keluarganya di dalam untuk mengambil uang,” jawab saya dengan tegas meski petambang itu terlihat masih ragu.
Dalam kondisi itu, saya tidak dapat mengulik lebih banyak tentang kegiatan pertambangan di sana. Saya hanya bisa bertanya, mereka dari mana dan sehari bekerja sampai jam berapa. Para petambang juga menjawab seadanya.
Saya kemudian mengamati sekeliling tambang. Tampak sekali lingkungan mulai rusak. Lubang-lubang berserakan di sana-sini. Untuk menembus lokasi yang diduga mengandung emas, petambang tidak segan menebang pepohonan. Hutan pun rusak.
Untuk menembus lokasi yang diduga mengandung emas, petambang tidak segan menebang pepohonan. Hutan pun rusak.
Dicurigai petambang
Ronaldo tidak kunjung datang. Padahal, petambang kembali menyisir saya dari kepala sampai kaki. Saya mulai yakin bahwa mereka curiga. Alasannya dapat berbagai hal. Bisa jadi karena tas yang saya bawa tidak saya lepas-lepas atau karena saya memakai celana kain, bukan jins. Dan, satu lagi, kepala saya plontos.
Saya baru sadar ketika mengarahkan kamera depan telepon genggam untuk berswafoto. Saya baru tersadar bahwa kepala saya plontos, ditambah kulit saya hitam. Jelas, itu ciri-ciri umum penegak hukum atau anggota intelijen. Saya sempat bergidik kalau tiba-tiba petambang itu menyerang saya.
Di tengah ketakutan itu, suara sepeda motor terdengar dari jauh. Ternyata Ronaldo. Saya langsung berdiri, memberi tahu kepada para petambang bahwa teman saya datang, lalu buru-buru melangkah mendekat. ”Ayo, kita jalan,” kata saya.
Tidak menunggu lama, kami langsung beranjak pergi, meski tidak jauh dari lokasi itu, kami berhenti dan bersembunyi untuk kembali memotret.
”Bang, ketika tadi di tambal ban, saya ingat tampang Abang yang mirip intel. Kepala plontos dan kulit hitam. Saya waswas petambang curiga, apalagi sekarang memang kegiatan pertambangan sedang dihentikan oleh kepolisian. Ditambah lagi banyak razia,” tutur Ronaldo sambil mengemudikan sepeda motor.
Kekhawatiran Ronaldo terbilang terlambat karena sudah saya alami. Pada hari itu, saya mendapat dua pelajaran penting. Pertama, tambang liar jelas merusak lingkungan. Bumi digali, hutan digunduli. Kedua, ternyata kepala gundul atau plontos merupakan sebuah persoalan tersendiri bagi seorang wartawan lapangan!