Frans Lompat Kapal demi Bekerja di ”Kompas”
Demi bekerja di Kompas, Frans Pati Herin melompat dari bus air ke feri di lepas Pantai Waijarang, Lembata. Dia bersikeras naik KM Ile Boleng, feri terakhir menuju Kupang pada hari itu. Dengan demikian, Frans tiba di Jakarta sebelum 1 November 2012 agar tidak dianggap mengundurkan diri dari penerimaan wartawan Kompas.
Hari Minggu, 28 Oktober 2012, sore. Seorang kru KM Ile Boleng rute Waijarang (Pulau Lembata)-Kupang mengabarkan bahwa feri itu diberangkatkan lebih cepat satu jam dari jadwal. Kabar itu mengejutkan, apalagi kapal menuju Kupang baru ada lagi pada Rabu, tiga hari kemudian.
Artinya, saya harus naik KM Ile Boleng untuk menuju Kupang, Nusa Tenggara Timur, apabila ingin sampai Jakarta sebelum 1 November 2012. Jika tidak sampai di Jakarta pada tanggal itu, saya khawatir Kompas mencoret nama saya dari daftar calon wartawan. Mungkin, saya akan dianggap mundur dari rangkaian proses untuk menjadi wartawan Kompas.
Dari Kupang, saya berencana terbang bersama Videlis Jemali, yang sama-sama diterima sebagai calon wartawan Kompas pada Selasa, 30 Oktober 2012. Videl bahkan sudah membantu membelikan tiket penerbangan Kupang-Jakarta.
Kabar dari KM Ile Boleng jelas membuat saya panik. Posisi saya ketika itu di tengah selat antara Pulau Adonara dan Pulau Lembata. Tepatnya, di dalam KM Cahaya Rahmat. Kapal itu telah menempuh pelayaran Waiwerang (Adonara)-Lewoleba (Lembata) selama 1,5 jam dan tinggal tersisa 30 menit.
Namun, saya langsung lemas setelah berhitung. Saya yakin terlambat sehingga takkan mampu berlayar dengan KM Ile Boleng. Kenapa? Karena, KM Cahaya Rahmat ini pun tidak sandar di Pelabuhan Waijarang, tetapi di Lewoleba. Pelabuhan Lewoleba terletak 15 kilometer di sisi timur Pelabuhan Waijarang.
Artinya, dalam kondisi normal saja, saya harus mengejar jadwal KM Ile Boleng dengan naik ojek ke Waijarang. Lama perjalanan dengan ojek 30-45 menit karena kondisi jalan tidak terlalu baik. Skenario saya tidak berjalan baik. Saya panik dibuatnya.
Saya kemudian melihat keluar. Ternyata, KM Cahaya Rahmat mendekati pesisir Waijarang. Karena Waijarang terletak di sisi barat Lewoleba, pesisir Waijarang kami lewati dulu sebelum tiba di Lewoleba.
Setelah menarik napas dan memberanikan diri, saya masuk ke ruang kemudi KM Cahaya Rahmat. Saya lalu meminta Yance, nakhoda kapal kayu itu untuk membelokkan kapal ke posisi KM Ile Boleng. ”Tolong Om,” ujar saya.
Di Pelabuhan Waiwerang, siapa yang tidak kenal Yance. Selama puluhan tahun, ia merintis karier sebagai anak buah kapal, masinis hingga menjadi nakhoda. Yance, pria yang gemar makan siri pinang itu, sangat dikenal warga Adonara yang bepergian dengan bus laut.
Selain mengenal Yance, saya punya kartu lain. Saya berteman dengan Benny, putra Yance, yang kini menjadi anggota polisi perairan. Dulu, kami satu sekolah di SMK Surya Mandala, Waiwerang. Benny bahkan pernah mengajak saya ke rumahnya. ”Tolong Om. Saya ini kakak kelas Benny,” kata saya.
”Jangan adik. Nanti, kami didenda syahbandar kalau sandar di feri. Kami langgar aturan,” jawab Yance. Aturan itu masuk akal. Dua kapal yang saling sandar tanpa perhitungan matang dapat mengakibatkan kerusakan. Apalagi, ketika arus laut kuat sehingga badan kapal bisa pecah dan penumpang kapal dapat celaka.
KM Cahaya Rahmat tetap melaju ke arah timur. Yance belum juga memutuskan. Namun, saya dapat kabar lagi bahwa ABK KM Ile Boleng sudah dalam tahap persiapan akhir pemberangkatan kapal.
Saya kembali berbicara kepada Yance. Saya sampaikan kalau KM Ile Boleng adalah kapal yang akan membawa saya menuju masa depan. Kalau harus menunggu kapal lain, masa depan saya kembali tidak jelas. ”Tolong ee, Om,” kata saya.
Kalau harus menunggu kapal lain, masa depan saya kembali tidak jelas. ”Tolong ee, Om,” kata saya.
”Coba omong dengan Bas (sebutan di Adonara bagi masinis),” ujar Yance sambil menunjuk sang masinis. Mendengar perbincangan kami, masinis yang sedang memegang kemudi seketika langsung mengarahkan KM Cahaya Rahmat ke selatan, ke arah KM Ile Boleng. Dari kejauhan, KM Ile Boleng sudah mulai olah gerak dari Dermaga Waijarang. Feri itu bergerak mundur kemudian memutar untuk bersiap melaju.
Namun, tanpa membuang waktu, Yance mengontak nakhoda KM Ile Boleng. Ia memohon agar kapal kayunya merapat ke KM Ile Boleng. Yance mendapat izin setelah menerangkan keinginan saya. Mereka kemudian terus berkoordinasi melalui radio. Dua kapal itu jelas harus dijaga posisinya agar tidak berbenturan sehingga dapat menenggelamkan dua kapal.
Ketika dua kapal itu makin mendekat, para awak kapal sibuk mengamankan posisi kapal. Mereka saling teriak berkoordinasi kemudian melempar ban yang telah terikat ke sisi badan kapal agar badan kapal kayu ini tidak berbenturan langsung dengan badan feri yang terbuat dari besi.
Para awak kapal kemudian meminta saya naik ke dek atas KM Cahaya Rahmat. Kemudian, diiringi pandangan mata segenap penumpang Cahaya Rahmat dan feri, saya melompat dari dek atas ke dalam feri melalui jendela KM Ile Boleng. Tas saya kemudian dilempar begitu saja ke dalam feri yang langsung menyalakan propeller untuk kemudian melesat ke arah Kupang.
”Terima kasih Tuhan,” ujar saya, di dalam hati. Saya lambaikan tangan ke arah KM Cahaya Rahmat. KM Ile Boleng segera bergerak menjauh. KM Ile Boleng berlayar selama 12 jam di malam itu untuk menjangkau Kupang.
Melamar dengan pos
Tidak hanya urusan transportasi yang menyulitkan proses penerimaan saya menjadi wartawan Kompas. Bagi kami, warga di Pulau Adonara, sekitar 5-6 tahun lalu, berkomunikasi dengan wilayah lain tidak mudah. Ketika itu, Pulau Adonara belum terlayani akses internet.
Layanan internet hanya ada di Larantuka, ibu kota kabupaten. Perjalanan dari desa saya ke Larantuka sesungguhnya hanya 2 jam, tetapi harus menyeberangi Selat Lowotobi dengan bus air. Lagipula, tidak mudah mencari warung internet di Larantuka.
Alhasil, ketika mengetahui informasi adanya lowongan kerja menjadi wartawan Kompas dari teman di Kupang pada Mei 2012, saya mengirim berkas lamaran kerja melalui pos. Dari rumah orangtua di Desa Pandai, Kecamatan Wotan Ulumado, jarak kantor pos Waiwerang sekitar 15 kilometer.
”Bisa sampai di Jakarta kah tidak, Pak?” tanya saya kepada petugas pos. ”Doakan semoga tidak tercecer,” jawabnya. Jawabannya terdengar tidak pasti. Namun, itulah metode terbaik untuk mengirimkan surat lamaran.
Surat itu dibawa dengan bus air hingga Larantuka, jalan darat hingga Maumere, Kabupaten Sikka, baru diterbangkan hingga Jakarta. Surat lamaran itu menempuh perjalanan 1.820 kilometer, setara 30 kali perjalanan Jakarta-Bogor. Menurut petugas pos, surat itu sampai Jakarta paling cepat 7 hari!
Surat lamaran itu menempuh perjalanan 1.820 kilometer, setara 30 kali perjalanan Jakarta-Bogor.
Di kemudian hari, setelah tiba di Jakarta, para calon wartawan lain mengaku melamar dengan surat elektronik. Dalam hati, saya berkata, jangan-jangan hanya saya yang mengirim surat lamaran dengan pos.
Ketika melamar, tentu saja saya untung-untungan. Siapa tahu diterima. Tidak diterima ya setidaknya sudah mencoba. Mengapa tidak percaya diri karena sejak kuliah saya telah mendengar reputasi tinggi Kompas.
Pamer dengan Kompas
Sebagai aktivis kampus di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang (2006-2010), saya juga selalu membaca Kompas untuk mendapatkan gambaran isu nasional.
Bahkan, untuk meningkatkan ”harga diri”, ketika berjalan melintasi halaman kampus, saya kerap menenteng koran. Koran itu sengaja saya gulung dengan tulisan Kompas menghadap ke luar sehingga terbaca mahasiswa lain atau dosen.
Tujuannya tidak lain pamer kepada mahasiswa lain bahwa saya selalu membaca Kompas. Jadi, agar saya terkesan anak pintar. Saya kerap tertawa sendiri mengenang masa-masa itu.
Sebulan setelah mengirimkan berkas lamaran, ada panggilan telepon dengan kode 021, kode Jakarta. Ternyata, lamaran saya memenuhi persyaratan administratif. Tes wawancara pun dijadwalkan pada pertengahan Juli 2012 di Kupang, ibu kota NTT.
Dari Adonara, saya berlayar menuju Kupang meski transit berganti kapal terlebih dahulu di Pelabuhan Larantuka. Sambil menunggu kedatangan kapal, saya ingat tertidur di ruang tunggu pelabuhan beralas kardus berkas berlapis koran.
Dianggap berjudi
Tiba di Kupang, saya menginap di rumah Agung Hermanus Riwu, teman seangkatan yang kini menjadi guru matematika di Kupang. Agung sudah seperti saudara sedarah. Dia menampung saya selama di Kupang meski dia menganggap langkah saya tak ubahnya perjudian.
Agung mengatakan, hanya lulusan filsafat dan tamatan kampus ternama yang akan diterima di Kompas. Kata-kata dia terus tergiang selama saya menuju Hotel Ima untuk mengikuti sesi wawancara.
Agung mengatakan, hanya lulusan filsafat dan tamatan kampus ternama yang akan diterima di Kompas.
Tes dijadwalkan pukul 15.00 WIT. Namun, sejam sebelumnya saya sudah tiba dan duduk di lobi hotel. Dua pria pun berjalan melintasi lobi dan kemudian berhenti sejenak untuk menyapa.
Dua pria itu ternyata Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Trias Kuncahyono dan General Manager Sumber Daya Manusia Umum Kompas Didiek Dwinarmiyadi. Mereka yang mewawancarai para pelamar.
Saat wawancara, saya sempat memperlihatkan sebuah buku karya saya. Mereka tidak terlalu tertarik. Mungkin, karena isinya hanya kumpulan permainan matermatika. Buku itu memang berisi cara sederhana memahami matematika bukan tulisan karya jurnalistik. Ya, sudahlah.
Baik Trias maupun Didiek kemudian lebih banyak bertanya soal motivasi, perjalanan ke Kupang, dan seputar pengetahuan lokal.
Padahal, saya sebenarnya telah mempersiapkan diri dengan membaca teori jurnalistik. Malam sebelumnya, saya mengakses jaringan internet dari Kupang sekadar membaca soal visi serta misi Kompas. Visi dan misi itu kemudian saya hafal walau ternyata tidak ditanyakan. ”Sial betul,” ujar saya, di dalam hati.
Visi dan misi Kompas kemudian saya hafal walau ternyata tidak ditanyakan.
”Kenapa mau jadi wartawan?” tanya Trias.
”Saya ingin mengabarkan informasi,” jawab saya.
”Kapan kamu pertama kali tertarik (jadi wartawan)?” kejar dia lagi.
”Sejak sering dengar laporan wartawan di radio,” jawab saya.
”Kenapa kok guru matematika malah mau jadi wartawan?” tanya dia lagi. Pertanyaan beruntun itu disertai sorot mata yang tajam. Saya hampir mati kutu.
Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 21.30 WIT, ada kabar bahwa saya lolos tahap berikutnya. Keesokan harinya, tes berlanjut dengan pengetahuan umum, bahasa, dan psikotes. Setelah itu, saya kembali ke Pulau Adonara.
Kolesterol ”jahat”
Ternyata, saya lulus ke tahap pemeriksaan kesehatan. Tes dilakukan awal Agustus di Kupang. Saat tes, saya bertemu dua pelamar lainnya, yakni Videlis Jemali dan Fabio M Lopez. Sempat pula bertemu dua wartawan senior Kompas, yakni Frans Sarong dan Kornelis Kewa Ama. Setelah tes, saya kembali berlayar ke Adonara.
Kabar dari Jakarta kemudian sungguh mengejutkan. Ternyata, kolesterol saya melampaui ambang batas. Sungguh mengherankan. Untungnya, Kompas mempersilakan saya mengetes ulang tes kesehatan pada pertengahan Oktober.
Menunggu tes, saya lalu rajin berenang. Ayah saya, Stefanus Herin, ketika itu menjadi tukang bangunan di gudang milik Baba Nam, seorang keturunan Tionghoa. Mendengar cerita ayah, Nam pun meramu obat tradisional, yang katanya dibuat dengan resep kuno dari China. Obat itu saya minum. Mujarab. Kolesterol jahat lenyap.
Kehendak Tuhan pun terjadilah. Saya diterima menjadi calon wartawan Kompas. Beberapa minggu kemudian, saya diminta menjalani masa pendidikan di Jakarta.
Kepala SMP Negeri 2 Adonara Barat Hidayat Abdul Razaq yang berbaik hati mengizinkan saya berulang kali menjalani tes di Kupang kemudian dengan berat hati melepas kepergian saya. Kebetulan, saya adalah alumnus SMPN 2 Adonara Barat pertama yang mengabdi di sekolah itu. ”Semoga Tuhan selalu menyertaimu,” pesan Hidayat.
Yustina Narek, ibu saya, juga sempat tidak mau melepas kepergian saya yang merupakan anak laki-laki satu-satunya. Jika ibu berhasil menahan saya untuk tidak kuliah di Makassar, Sulawesi Selatan, atau di Pulau Jawa; kali ini ibu tak bisa berbuat banyak. Dengan berat hati, ia merelakan.
Mencari Yance
Untung saja, menjelang akhir Oktober 2012 itu, saya sempat lompat kapal. Jika tidak, kisah hidup saya boleh jadi berbeda.
Boleh jadi, saya tetap mengajar matematika di Adonara. Walau tentu saja, tidak ada yang salah dengan menjadi pengajar di Adonara. Namun, saya memang punya mimpi yang berbeda. Saya merasa harus mengikuti jalan hidup sebagai wartawan.
Ketika cuti pada Juli 2015, saya sempat mencari Yance di Pelabuhan Waiwerang. Saya menghampiri KM Cahaya Rahmat, tetapi ternyata, ia sudah mengundurkan diri. Saya kemudian mencarinya sampai ketemu. Ia ternyata bekerja di sebuah toko.
Begitu bertatap muka, saya langsung mengucapkan terima kasih. Saya berterima kasih atas bantuan Yance, yang dilakukannya tiga tahun sebelumnya.
Namun, reaksinya ternyata antiklimaks. Ia mengaku sudah lupa. Mungkin, bagi ia, kebaikan di hari itu hanya satu dari begitu banyak kebaikan yang sudah dilakukannya. Sebaliknya, bagi saya, kebaikan Yance pada hari itu telah membuka jalan bagi kehidupan yang kini sedang saya jalani. Kebaikan itu takkan pernah saya lupakan!