Mas Pudjo, Wartawan ”Kompas” di Yogyakarta, Pamit Pensiun
Thomas Pudjo Widijanto (60) terisak haru saat satu per satu sahabatnya naik ke panggung untuk memberikan kenang-kenangan. Sambil menyeka air mata yang tiba-tiba menetes, wartawan senior harian Kompas di Yogyakarta itu menerima lukisan, foto, kain, dan barang-barang lain. Suasana malam itu pun berubah menjadi penuh keharuan.
Pudjo kemudian hanya terdiam. Dia tak mampu berkata-kata lagi. Karena Pudjo tetap tak kuasa menahan haru, sang istri Erawati Werdiningsih akhirnya menggantikan Pudjo memberikan kata sambutan untuk para tamu undangan.
Minggu, 26 November 2017, malam itu, Pudjo dan teman-teman berkumpul di Omah Petroek, sebuah ruang kesenian di Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kalau malam, Omah Petroek lumayan dingin meski senantiasa menjadi ”hangat” sesuai slogan di papan nama Omah Petroek yang bertuliskan ”Kita berteman sudah lama”.
Pertemuan pada hari Minggu itu khusus untuk merayakan masa purnatugas Pudjo sebagai wartawan Kompas dengan tajuk ”Thomas Pudjo Pamit Pensiun”. Mas Pudjo—demikian dia biasa disapa oleh yuniornya—berkarya di Kompas sejak tahun 1987 hingga akhir November 2017.
Dua babak digelar dalam acara itu. Pukul 16.00-18.00, ditampilkan Pentas Seni Rakyat ”Edan-edanan dan Jaranan” oleh kelompok tari Krincing Manis. Berikutnya, mulai pukul 19.00 hingga tuntas, tanpa batas waktu yang jelas, diluncurkan buku Kenangan Sebuah Perjalanan Seorang Wartawan: Tentang Tari-Teater-Rupa sebagai kumpulan tulisan seni budaya Pudjo selama menjadi wartawan.
Menulis budaya
Sejak sore, teman-teman Pudjo dari beragam latar belakang dan usia berdatangan ke Omah Petroek. Sekadar menyebut nama, hadir dalam acara itu pelukis seperti Djoko Pekik, Nasirun, dan Bambang Heras serta perupa Yuswantoro Adi. Hadir pula seniman visual Samuel Indratma, Putu Sutawijaya, dan Alit Ambara.
Tampak pula perupa senior sekaligus akademisi Edi Sunaryo, budayawan Sindhunata, seniman teater Whani Darmawan, musisi Encik Krishna, aktris muda Annisa Hertami, penari muda Kinanti Sekar Rahina, hingga kolektor seni Telly Liando. Dari Kompas, hadir Wakil Pemimpin Redaksi Trias Kuncahyono.
Kehadiran para seniman menandakan begitu dekatnya Pudjo dengan dunia seni itu sendiri. Selama berkarier sebagai wartawan Kompas, Pudjo sering meliput acara-acara seni budaya. Hubungan Pudjo dengan seniman di Yogyakarta tak sebatas sebagai wartawan dengan narasumbernya, tetapi juga sebagai sahabat.
Menurut Sindhunata, Pudjo berjasa besar dalam kehidupan kesenian di Yogyakarta. Sebab, sebagai wartawan, Pudjo sangat aktif menulis dan mengabarkan beragam acara kesenian sehingga acara-acara tersebut memperoleh perhatian publik yang lebih luas.
Dari arsip Kompas, terlihat bahwa sebagian besar tulisan Pudjo memang terkait dengan dunia seni. Tulisan feature pertama atas nama Thomas Pudjo Widijanto berjudul ”Pentas Wayang Sembilan Dalang” di Kompas, Rabu, 11 November 1987, di halaman 11.
Pudjo terlihat asyik dengan isu kesenian itu. Di antaranya, Sabtu, 17 Juli 1993, di halaman 16, misalnya, Pudjo menulis tentang musisi ”nakal dan liar” Sapto Rahardjo yang beraksi setelah penutupan Festival Kesenian Yogyakarta V pada 7 Juli 1993. Pudjo menulis tentang Sapto Rahardjo yang naik mobil bak terbuka yang menjadi panggung, berkeliling kota memperkenalkan karya terbarunya berjudul Campak.
Di harian Kompas, Sabtu, 6 Juli 1996, Pudjo menulis artikel berjudul ”Festival Gamelan Yogyakarta: Sebuah Varian di Bumi Global”. Sujud Sutrisno alias Sujud Kendang, yang meninggal pada Senin (15/1) lalu, sudah ditulis Pudjo di harian Kompas, edisi Sabtu, 21 November 1998, di halaman 12. Artikel itu diberi judul ”Sujud, Pengamen di Tengah Reformasi”.
Tidak hanya menulis soal musik tradisional, Pudjo juga menulis tentang grup musik baru di eranya. Pudjo, misalnya, menulis ”Shaggy Dog, Tuangkan ’Air Kedamaian’”. Artikel itu dicetak di harian Kompas edisi Sabtu, 24 Januari 2004, di halaman 1. Shaggy Dog adalah kelompok musik asal Sayidan, sebuah kampung di bantaran Sungai Code, Yogyakarta.
Dengan demikian, jangan heran apabila dalam acara ”Thomas Pudjo Pamit Pensiun”, sejumlah seniman tidak hanya hadir sebagai undangan, tetapi juga menjadi ”seksi sibuk” sekaligus pengisi acara. Posisi pembawa acara, misalnya, diisi oleh tiga seniman, yakni Samuel Indratma, Putu Sutawijaya, dan Alit Ambara, yang malam itu tak henti mengocok perut penonton dengan guyonan mereka.
Sindhunata kemudian tampil menggubah sebuah puisi untuk Pudjo berjudul ”Pledoi buat Thomas Pudjo, Teman Minumku”. Dalam puisinya, Sindhunata menggambarkan Pudjo sebagai wartawan yang bergaul dengan siapa saja, termasuk dengan tukang becak, sopir angkot, dan bahkan penarik gerobak sampah sekalipun.
Dekat dengan rakyat
Ada wartawan yang bisa dekat dengan kaum elite. Namun, Pudjo memilih untuk dekat dengan rakyat biasa. Hal itu tergenapi dari beberapa tulisan Pudjo.
Pada Mei 2008, misalnya, Pudjo menulis artikel berjudul ”Perhelatan Orang-orang Setia”. Menyambut pernikahan GKR Maduretno, putri ke-3 Sultan Hamengku Buwono X, Pudjo justru mewawancarai penjaga regol atau gapura Keraton Yogyakarta. Mewawancarai orang-orang yang mungkin dilupakan dan berada antara ada atau tiada walau ada di antara kita.
Ketika dimutasi ke Biro Jawa Barat, tepatnya ke Cirebon, pada awal dekade 2000-an, keberpihakan Pudjo tidak berubah. Di harian Kompas, Kamis, 12 April 2001, dia menulis ”Suara-suara dari Tembok Keraton”.
Untuk melengkapi tulisan tentang Keraton Kasepuhan, Pudjo tidak sekadar mewawancarai Sultan Maulana Pakuningrat atau Sultan Sepuh XIII. Dia merasa perlu untuk menulis tentang pengemis di gerbang keraton dan juga Pak Djasmirah, sekretaris Sultan Sepuh XIII, yang suaranya mungkin tidak pernah disuarakan oleh media.
Dalam banyak kesempatan, Pudjo juga memilih meliput dari ”pinggiran”. Maret 1989, misalnya, Pudjo meliput warga di Kedungombo, Jawa Tengah. Juli 1994, dia meliput di Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Pada Mei 2001, dia meliput kehidupan nelayan di Tegal, Jawa Tengah. Lalu, pada Maret 2011, misalnya, Pudjo meliput peternakan kambing di Sleman, Yogyakarta.
Ketika dikirim ke luar negeri, tulisan Pudjo pun tidak jauh-jauh dari kesenian. Saat bertugas ke Melbourne, Australia, September 2011, Pudjo memilih menulis sosok Poedijono yang memasyarakatkan gamelan. November 2012, saat bertugas ke Paris, Perancis, Pudjo menulis wayang orang!
Tentu saja, kolom ini tidak cukup untuk membahas tulisan Pudjo dalam rentang karier 30 tahun sebagai wartawan Kompas. Untungnya, Pudjo meluncurkan buku Kenangan Sebuah Perjalanan Seorang Wartawan: Tentang Tari-Teater-Rupa. Buku itu berisi tulisan-tulisan Pudjo di Kompas mengenai beragam peristiwa seni budaya di Yogyakarta.
Menurut Pudjo, penerbitan buku itu untuk mengenang karya-karya jurnalistiknya, khususnya dalam khazanah seni budaya di Yogyakarta. ”Saya memilihnya secara acak. Bahkan, bisa dikata memilih dengan mata tertutup”, tulisnya, dalam kata pengantar buku itu. Begitulah gaya Pudjo. Santai.
Berteman lama
Pudjo tidak menduga momen pensiunnya akan dirayakan oleh sahabat-sahabatnya. Ketika para seniman dan sahabat-sahabatnya di Komunitas Pangoentji mengetahui bahwa Pudjo akan pensiun, mereka spontan patungan mengumpulkan uang demi sebuah acara khusus.
Beberapa seniman bahkan menyumbangkan karya, seperti Alit Ambara yang mendesain poster kemudian menggelar pameran seni grafis poster. Meski Alit berkarya dalam waktu singkat, karyanya diapresiasi publik karena menampilkan sosok Pudjo yang kocak dan simbolik.
Selain menyumbangkan lukisannya, pelukis senior Putu Sutawijaya juga mendatangkan grup bandnya, Ikhlas Experience, yang tampil total hingga acara usai. Tak ketinggalan, Encik Krishna turut menyumbangkan beberapa lagu yang dikolaborasi dengan darasan puisi Annisa Hertami. Berikutnya, band rock n roll Kiki & The Klan tampil memanaskan malam dingin di Omah Petroek.
”Pak Pudjo sempat tidak tahu kalau akan digelar acara itu. Beliau baru mengetahuinya pada 22 November 2017 malam, sebelum terbang ke Jakarta untuk tanda tangan berkas-berkas administrasi karena akan pensiun. Pak Pudjo langsung menangis begitu tahu rencana itu,” kata Antok Pondangi, Manajer Omah Petroek.
Undangan acara itu ditulis sendiri oleh Sindhunata dan disebar ke grup-grup percakapan. Sindhunata menulis dalam pengantar undangannya, ”Teman-teman seniman, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, kiranya jurnalis Kompas, Thomas Pudjo, berjasa bagi hidup kesenian di Yogya”.
”Dia sempat mengurus ilustrasi dari kita di Kompas. ... Kalau pas mak tratap kepepet, honorarium ilustrasi juga lumayan untuk bisa beli bensin,” ditambahkan Sindhunata.
Ketika para seniman berdatangan, Sindhunata mengungkapkan, betapa publik merasakan pengaruh dari karya-karya jurnalistik Pudjo. Kehadiran Pudjo di sisi lain juga memperlihatkan kehadiran harian Kompas di ranah seni budaya.
Di Yogyakarta, harian Kompas tidak hanya menggelorakan semangat berkesenian melalui sebuah wadah, melalui Bentara Budaya Yogyakarta, tetapi juga melalui sosok Pudjo.
Kolektor benda seni Telly Liando menyebut Pudjo sebagai orang yang baik dan murah hati. ”Saya salut melihat acara perpisahannya Mas Pudjo didatangi banyak sahabat. Belum tentu orang lain bisa seperti Mas Pudjo hari ini,” ujarnya.
Semua rangkaian acara itu digelar dengan spontan, sukarela, dan penuh kegembiraan. Demikianlah seperti pepatah mengatakan, jika ”harimau meninggalkan belang”, wartawan yang pensiun pasti juga meninggalkan sejuta kenangan….