Meliput Grammy Tak Seglamor yang Dibayangkan
Hari Minggu (28/1) malam ini waktu New York City, AS, atau Senin pagi WIB, penghargaan paling bergengsi di dunia musik, Grammy Awards, kembali akan dibagikan. Penghargaan kali ini, yang akan digelar di Madison Square Garden, New York, istimewa karena menandai genap 60 tahun trofi berbentuk gramofon emas itu dibagikan dan menjadi penanda prestasi puncak di dunia industri musik.
Menjelang malam paling dinanti-nanti pencinta musik ini, ingatan pun melayang saat Kompas mendapat kesempatan langka meliput langsung perhelatan Grammy Awards Ke-50, 10 tahun lalu. Kala itu, puncak malam penganugerahan Grammy Awards dilangsungkan hari Minggu, 10 Februari 2008, di Staples Center, Los Angeles (LA).
Rasa gembira dan gairah meluap-luap ketika editor Desk Nonberita waktu itu menyerahkan undangan dari jaringan televisi Star World Asia untuk meliput malam Grammy Awards di LA. Jaringan televisi yang hanya bisa ditonton di saluran berbayar via satelit itu adalah pemegang hak siar eksklusif siaran langsung penganugerahan Grammy Awards di kawasan Asia Tenggara waktu itu.
Tak ada kesan glamor dari sebuah acara yang penuh gemerlap seperti di TV.
Betapa tak bergairah karena sejak duduk di bangku SMP, awal 1990-an, saya tak pernah sekali pun absen menonton siaran langsung atau rekaman acara penganugerahan Grammy Awards di televisi swasta nasional. Seperti yang kemudian saya tulis dalam laporan liputan ini, malam penganugerahan tersebut sudah tak sebatas acara musik, tetapi juga sudah menjadi sebuah sajian tontonan hiburan yang komplet.
Ada komedi yang dibawakan para host-nya, ada drama dalam setiap penyerahan Lifetime Achievement Award, gemerlap para artis musik dunia yang ayu-ayu dan ganteng-ganteng di panggung, serta kesempatan mengetahui kemampuan sesungguhnya para musisi itu saat harus tampil secara langsung di panggung utama.
Alasan kedua kegairahan menyiapkan liputan ini adalah karena ini akan menjadi momen pertama saya menginjakkan kaki di ”Negeri Paman Sam”. Dan kesempatan pertama ini pun langsung ke Los Angeles, kota yang sudah menghiasi imajinasi sedari kecil melalui film-film Hollywood, baik di layar kaca maupun bioskop. Terbayang jalan-jalan bebas hambatan yang sangat lebar bergaris-garis, seperti di film CHiPs, dan deretan pohon palem di Wilshire Boulevard, seperti terlihat di film Hunter, Beverly-Hills 90210, dan Pretty Woman.
Sudah barang tentu kesempatan ini memicu keirihatian orang. Saat wawancara untuk mendapatkan visa di Kedutaan Besar AS di Jakarta, pewawancara sudah menunjukkan hal itu. Saat tahu Kompas memohon visa liputan untuk jurnalis, dia bertanya dengan muka datar, ”Mau meliput apa di Amerika?” Saya pun menjawab santai, ”Mau meliput Grammy Awards.”
Sontak muka pewawancara itu berubah. Matanya membelalak sambil berseru, ”What??! Saya yang orang Amerika saja belum pernah nonton Grammy langsung!” Seusai itu, dia tersenyum dan memberikan stempel persetujuan visa sambil bergumam pelan, ”Lucky you.”
Akhirnya, tibalah saat keberangkatan itu. Dari Indonesia hanya dua media yang mendapat kesempatan emas gembira ini, yakni Kompas dan majalah Rolling Stone Indonesia yang baru saja tutup akhir 2017 (sungguh sangat disayangkan!).
Satu lagi peserta dari Indonesia adalah Nicholas Saputra. Ya, Nico yang ngetop lewat Ada Apa dengan Cinta? itu. Dia diundang dalam kapasitas sebagai presenter tamu untuk Star World Asia. Namun, dia sudah berangkat duluan dan akan bertemu kami di LA.
Kami menumpang pesawat Malaysia Airlines karena Star World Asia juga mengajak wartawan dari Malaysia. Bahkan, jumlah mereka jauh lebih banyak daripada rombongan Indonesia. Ya, mungkin pasar Star World Asia waktu itu lebih banyak di negeri jiran itu daripada di Tanah Air.
Setelah menempuh penerbangan ekstra lama (total sekitar 24 jam) dengan menggunakan jumbo jet megatop Boeing 747-400 Malaysia Airlines melalui rute Kuala Lumpur-Taipei-Los Angeles, tibalah kami di Bandara Internasional Los Angeles, atau kalau di film-film dan budaya pop lebih dikenal dengan inisialnya, LAX.
Di sinilah untuk pertama kali saya merasakan menjadi warga dunia ”kelas dua”. Karena beberapa aksi teroris yang terjadi di Indonesia pada dekade pertama tahun 2000-an, pemeriksaan imigrasi bagi warga Indonesia yang akan masuk tanah Amerika sangat ketat.
Saat rekan-rekan jurnalis dari Malaysia bebas melenggang dari pemeriksaan imigrasi, kami para jurnalis dari Indonesia harus menjalani pemeriksaan tambahan selama hampir 2 jam. Beberapa formulir harus diisi, termasuk sebuah formulir khusus yang nantinya harus dikembalikan di sebuah loket khusus di bandara tersebut saat kami meninggalkan negara itu.
Sengatan ”jetlag”
Selesai dengan urusan imigrasi, kami pun beranjak meninggalkan LAX menuju Hotel Grand Sheraton Los Angeles di pusat kota. Hari sudah malam, sekitar pukul 22.00, saat kami masuk ke hotel. Badan serasa sudah ingin berbaring setelah 24 jam hanya bisa duduk di pesawat. Mata pun tak kuat menahan kantuk begitu kepala menyentuh bantal.
Akan tetapi, hanya sekitar 3 jam terlelap, tiba-tiba saya terbangun dalam keadaan segar bugar. Sama sekali tak tersisa kantuk sedikit pun. Sembari mata bengong menatap kota yang sepi di balik jendela, pikiran baru sadar bahwa perbedaan waktu LA dengan Jakarta 16 jam! Jadi, saat di LA waktu itu hari Sabtu pukul 03.00 di Jakarta sudah pukul 19.00. Inilah jetlag itu!
Setelah menghabiskan waktu dengan membaca-baca materi seputar Grammy Awards Ke-50 dan mulai mencicil menulis artikel-artikel pendek, mata benar-benar tak bisa terpejam sampai matahari terbit dan kami pun bersiap berangkat ke Staples Center untuk mengurus kredensial dan mengambil kartu identitas peliputan Grammy Awards.
Setelah sarapan, rombongan pun bergerak dengan taksi. Ternyata gedung olahraga yang juga menjadi kandang klub basket NBA, LA Lakers dan LA Clippers, itu tak terlalu jauh dari hotel. Naik taksi cuma habis sekitar 6 dollar AS.
Ruangan tempat mengurus kredensial pers itu pun sederhana. Tak ada kesan glamor dari sebuah acara yang penuh gemerlap seperti di TV. Pagi itu juga tak terlalu banyak awak media yang mengurus ID pers tersebut. Mungkin para wartawan lokal sudah dari kemarin-kemarin mendapatkan ID peliputan.
Kami menyerahkan paspor dan menunjukkan surat keterangan sudah mendaftar sebagai peliput resmi, kemudian langsung dibuatkan kartu identitas peliputan. Pihak Star World Asia juga mendapatkan sejumlah undangan terbatas ke pesta (afterparty) setelah acara penganugerahan selesai. Kami semua mendapat undangan itu.
Bayangan akan menghadiri sebuah acara akbar penuh gemerlap khas Hollywood pun makin nyata. Apalagi setelah dari ruang pengurusan kredensial itu, kami diajak meninjau persiapan jalur karpet merah. Di sinilah artis papan atas di dunia musik, mulai dari Beyonce, Nelly Furtado, Foo Fighters, sampai Tina Turner, Andy Williams, dan Herbie Hancock akan berjalan dengan dandanan terbaiknya menuju ruang pertunjukan utama.
Di satu sisi jalur karpet merah itu adalah dinding-dinding buatan dengan logo Grammy. Dinding-dinding ini akan menjadi backdrop saat para artis itu berhenti sejenak untuk difoto atau diwawancara sejenak. Di seberang dinding itu, terdapat jalur khusus bagi para awak media meletakkan tripod kamera, lampu, dan perlengkapan lain untuk merekam momen-momen para bintang itu datang dengan pasangan masing-masing.
Para wartawan yang mendapat kredensial sebagai reporter tulis dilarang keras memotret di venue acara hari itu. Semua kamera yang kami bawa harus dititipkan ke locker khusus sebelum kami diizinkan masuk ke ruang media.
Terbayang esok hari, saya akan berada di jalur khusus tersebut, ikut sibuk memotret mereka, berteriak-teriak memanggil mereka untuk diwawancara singkat, dan syukur-syukur dapat tanda tangan artis favorit.
Puas berkhayal, rombongan pun bergerak keluar gedung untuk mencari makan siang. Untuk pertama kali, kami pun melihat-lihat berbagai sudut kota Los Angeles yang termasyhur di dunia pop ini.
Namun, di balik kegairahan itu, jetlag pun kembali menyerang. Saat itu pukul 12.00, yang berarti sudah pukul 4 dini hari di Jakarta! Pantas saja badan terasa tak mau diajak konsentrasi, bahkan untuk diajak menikmati bola-bola daging makan siang waktu itu.
Itu sebabnya, waktu rombongan mengajak melanjutkan kegiatan ke obyek wisata Universal Studios, saya memilih pulang ke hotel untuk tidur. Pilihan ini terpaksa saya ambil daripada esok saat hari-H badan justru sakit. Hari Grammy Awards terlalu sayang untuk dilewatkan.
Tak seperti bayangan
Lalu tibalah hari-H itu, 10 Februari 2008. Mungkin perasaan saya sama deg-degannya dengan para musisi yang masuk nominasi untuk mendapat Grammy malam ini. Tak sabar segera bergaya dan beranjak ke Staples Center.
Di petunjuk acara, kami diharuskan tiba di tempat acara sejak Minggu siang. Sempat bertanya-tanya, apa yang harus dilakukan dari siang sampai waktunya siaran langsung pukul 19.30?
Selidik punya selidik, ternyata acara penganugerahan Grammy Awards yang disiarkan langsung di televisi itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan penghargaan Grammy yang dibagikan hari itu. Hari Minggu siang itu, pemenang 100 kategori dari total 110 kategori diumumkan lebih dulu dalam acara yang tidak disiarkan langsung (pre-telecast).
Acara tersebut dilangsungkan di LA Convention Center, yang berada di samping Staples Center, mulai pukul 13.00 hingga 16.00. Setelah acara pendahuluan itu selesai, tamu undangan berbondong-bondong pindah ke ruang utama Staples Center melewati jalur karpet merah sepanjang 150 meter, bersiap mengikuti acara puncak.
Bagaimana dengan para jurnalis, termasuk Kompas? Kami sejak sebelum acara pre-telecast itu dimulai sudah digiring masuk ke ruang media. Ya, ternyata ada peraturan ketat yang membedakan para jurnalis tulis dan jurnalis visual (fotografer dan videografer).
Para wartawan yang mendapat kredensial sebagai reporter tulis dilarang keras memotret di venue acara hari itu. Semua kamera yang kami bawa harus dititipkan ke locker khusus sebelum kami diizinkan masuk ke ruang media. Jadi, percuma sudah membawa dua pucuk kamera (satu DSLR dan satu kamera prosumer) dan dua lensa dari Jakarta karena semua harus dititipkan ke dalam lemari.
Hanya mereka yang mendapat kredensial sebagai fotografer/videografer yang boleh mengambil gambar. Konsekuensinya, mereka juga tidak diizinkan masuk ke dalam ruang media untuk meliput konferensi pers dengan para pemenang.
Sementara di karpet merah, dari seluruh rombongan kami, hanya Nicholas Saputra sebagai host dan seorang kamerawan yang mendapat izin khusus meliput di sana. Jadi, pupus sudah harapan untuk bisa ikut menjerit-jerit ala groupies kepada setiap bintang yang melintas di karpet merah.
Kembali ke ruang media, apa yang bisa kami lakukan di sana? Di sana kami disiapkan deretan meja panjang dan kursi-kursi dengan colokan listrik. Di situlah para wartawan tulis bisa mengeluarkan laptop masing-masing dan mulai mengetik berita.
Namun, ada seorang penjaga berbadan besar di sana yang siap menghalau kami apabila berada di dekat-dekat situ terlalu lama.
Di dinding bagian depan, terdapat sejumlah TV layar lebar dan satu layar besar yang menampilkan segala hal yang terjadi di ruang sebelah, tempat acara Grammy Awards berlangsung. Ya, kami berada di ruangan persis di sebelah ruang tempat acara akbar itu berlangsung, tetapi kami hanya bisa menonton siaran langsung di layar televisi, tak ubahnya menonton acara ini dari sofa di rumah atau di kantor di Jakarta.
Memang ”kesejahteraan” para jurnalis ini terjamin. Ada ruangan kecil di sebelah yang berisi berbagai makanan dan minuman bagi kami selama berada di sana berjam-jam. Ke toilet pun dekat.
Namun, sedihnya, saat menuju ke toilet ini, kami sempat melewati bagian ruang yang dilewati karpet merah menuju pintu gedung utama, tempat para tamu undangan dan para bintang akan berjalan masuk. Namun, ada seorang penjaga berbadan besar di sana yang siap menghalau kami kalau berada di dekat-dekat situ terlalu lama.
Kartu identitas peliput yang kami kenakan juga sangat ketat membatasi ruang gerak hanya di ruang media tersebut. Tidak ada ruangan lain yang boleh diakses kecuali ruang mengetik, ruang konferensi pers, ruang makan, dan toilet. Sebaliknya, pemegang kartu ID lain di luar panitia juga dilarang keras memasuki ruangan media.
Kemudian, setelah seorang artis menerima penghargaan dan menyampaikan sambutannya di atas panggung, dia akan digiring panitia ke ruang konferensi pers di sebelah ruang media tersebut. Ruang ini tak terlalu luas, berisi kursi-kursi bagi para jurnalis.
Si pemenang akan berdiri di panggung kecil di depan, siap menjawab setiap pertanyaan. Dengan syarat si artis bersedia. Yep, para artis yang tidak bersedia berhadapan dengan para wartawan punya hak menolak hadir di ruang konferensi pers itu.
Selama berada di sana, tak banyak artis, terutama yang tengah berada di puncak popularitas, yang mampir ke ruang konferensi pers itu. Untung saja ada beberapa tokoh yang masih mau hadir, seperti musisi jazz Herbie Hancock yang hari itu memenangi penghargaan Album Jazz Kontemporer Terbaik dan penghargaan puncak Album Tahun Ini. Lalu, ada penyanyi soul Chaka Khan yang juga meraih dua Grammy untuk Penampilan R&B oleh Duo/Group Terbaik dan Album R&B Terbaik.
Neil Portnow, Presiden National Academy of Recording Arts and Sciences (NARAS)—penyelenggara Grammy Awards sejak 1957—juga hadir di ruang itu untuk menjawab beberapa pertanyaan wartawan. Kompas pun sempat menanyakan efek digitalisasi musik, yang tahun itu mulai marak terjadi, terhadap lanskap industri musik di AS.
Namun, sekali lagi, kekecewaan harus ditelan karena kami tak bisa memotret langsung tokoh-tokoh besar itu dengan kamera kami sendiri. Semua foto disediakan pihak penyelenggara di situs web resmi Grammy atau kami akhirnya mengambil dari layanan wires photo, alias foto-foto dari kantor berita resmi.
Bahkan, untuk memotret ruang pers itu, atau berfoto-foto bersama para jurnalis dari berbagai belahan dunia, pun tak memungkinkan, mengingat tahun 2008 itu teknologi kamera di telepon seluler belum secanggih sekarang. Alhasil, tak ada satu pun dokumentasi visual yang bisa dibawa pulang dari acara puncak Grammy Awards itu.
Begitulah, kami ”terpenjara” di ruang media itu sampai acara selesai pada malam hari dan diizinkan keluar. Namun, saya masih berharap bisa melihat para artis itu di acara afterparty yang dimulai larut malam di gedung yang terpisah.
Setiba di gedung afterparty itu, tak disangka ternyata tamu undangannya begitu banyak dan sudah memenuhi ruangan. Sekadar untuk mengambil minuman dan makanan kecil pun harus masuk antrean yang sangat panjang.
Ruangan yang remang-remang, gegap gempita dengan ingar bingar musik, membuat hampir tak mungkin mengenali orang satu per satu, apalagi menarik mereka ke pinggir untuk wawancara. Saya pun tertawa dalam hati sambil akhirnya, beberapa menit setelah tengah malam, ngeloyor pergi mencari taksi untuk kembali ke hotel. Penat juga hari itu walau cuma diisi duduk-duduk di ruang media.
Yah, ternyata pengalaman meliput langsung Grammy Awards ini tak seglamor yang dibayangkan sebelumnya. Tak ada pertemuan langsung dengan para bintang, melihat mereka saling ”cipika-cipiki” di karpet merah atau di dalam ruang pertunjukan, atau menyaksikan langsung mereka unjuk kemampuan di panggung utama. Meski demikian, tetap saja ini kesempatan langka yang tak didapatkan semua wartawan di dunia. Walau terkesan menghibur diri, tetapi itu harus disyukuri.
Untunglah keesokan harinya orang-orang Star World Asia mungkin memahami kegalauan kami, para wartawan, dan mengajak kami berjalan-jalan ke Hollywood dan sekitarnya seharian penuh. Bahkan, kami ditraktir naik limusin Hummer (jip Hummer yang diubah menjadi limusin sangat panjang) berkeliling Hollywood. Mungkin biar merasakan seperti apa rasanya jadi superstar di surga imajinasi itu.