Pantang Menyerah di KTT ASEAN-India
Sepuluh pemimpin negara-negara ASEAN berkumpul di New Delhi, India, sepanjang Kamis-Jumat, 25-26 Januari lalu. ASEAN-India Commemorative Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-India menyatukan mereka. Pertemuan ini sekaligus menjadi puncak perayaan 25 tahun kemitraan ASEAN dengan India.
Karena ada 10 kepala negara dan kepala pemerintahan di satu tempat, pengamanan plus keribetan pun terjadi. Dari Indonesia saja, tim pendahulu yang mempersiapkan kedatangan Presiden Joko Widodo tidak sedikit.
Selain beberapa personel Pasukan Pengamanan Presiden, ada juga para staf dari protokoler Sekretariat Presiden dan tim dari Kementerian Luar Negeri. Tentu saja, staf dari Kedutaan Besar RI di New Delhi pun turut bersiap, bahkan jauh sebelum hari H.
Pada acara kali ini, Biro Pers Sekretariat Presiden mengundang empat wartawan untuk meliput. Wartawan harian Kompas salah satunya, bersama wartawan kantor berita Antara, reporter Detik.com, dan jurnalis Metro TV.
Kami tiba di New Delhi, 23 Januari tengah malam, mendahului kedatangan Presiden Joko Widodo yang masih melakukan kunjungan kenegaraan ke Sri Lanka.
Presiden Jokowi baru tiba di India Kamis, 25 Januari, siang dan langsung ke lokasi acara jamuan makan siang dan sesi pertama KTT ASEAN-India di Rashtrapati Bhavan, istana kediaman resmi Presiden India.
Walau ada satu hari yang relatif kosong di antara kedatangan kami dan rangkaian acara Presiden, tak berarti kami bisa bebas bermain-main.
Para wartawan, termasuk Kompas, mengisi hari Rabu dengan mendatangi International Media Center, menemui petugas penghubung alias liaison officer (LO) guna mengurus kartu identitas (ID card) yang diperlukan untuk peliputan. Kami juga memeriksa detail jadwal acara dan mengecek kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan.
Dua LO yang mendampingi kami, Alisha Luthra dan Tualbiakmang, memberi banyak informasi. Namun, wartawan sesungguhnya tak bisa bergerak banyak selama acara inti KTT berlangsung.
Agenda acara KTT ASEAN-India ini terpusat di Rashtrapati Bhavan dan Taj Diplomatic Enclave Hotel dan kami tidak diizinkan mendekat ke sana. Para wartawan hanya bisa meliput dari International Media Center di gedung Pravasi Bharatiya Kendra, yang berjarak sekitar 3,8 kilometer dari Istana Rashtrapati Bhavan. Hanya fotografer dan videografer resmi dari Biro Pers Setpres yang mendapat akses mengambil gambar awalan acara secara langsung.
Ini adalah prosedur standar dalam acara-acara KTT yang dihadiri banyak kepala negara/pemerintahan di mana pun. Dalam peliputan konferensi-konferensi semacam ini, memang tempat untuk fotografer dan videografer peliput sangat terbatas.
Dengan 10 pemimpin negara tamu plus satu pemimpin negara tuan rumah, sudah ada 22 fotografer dan videografer resmi yang bekerja. Apabila setiap pemimpin negara diiringi empat orang saja wartawan lain, artinya akan ada hampir 100 orang yang mengambil gambar.
Sering kali panitia memilih mengurangi jatah peliput dari media massa internasional. Namun, dalam beberapa KTT yang pernah Kompas liput, panitia terbukti sebenarnya bisa mengatur supaya media massa internasional juga bisa mengambil gambar dan meliput secara maksimal.
Seperti yang dialami di KTT G-20 Hamburg, Jerman, dan KTT Satu Sabuk dan Jalan (OBOR) di Beijing, RRC, tahun lalu, panitia membagi wartawan untuk meliput di beberapa kegiatan yang terpisah. Misalnya saat satu wartawan tak bisa mengambil gambar saat penyambutan kepala negara, dia bisa ikut di acara lain seperti jamuan makan.
Panitia acara internasional di Indonesia malah biasanya sangat baik untuk mengatur jatah peliputan karena sebenarnya banyak sesi rangkaian acara yang dilangsungkan. Para wartawan dari Indonesia dan sejumlah negara lain bisa bergantian mengambil gambar.
Tak bisa langsung
Di India ini, praktis tak ada acara yang bisa diliput secara langsung. Hanya fotografer dan videografer istana yang bisa bekerja secara langsung. Bahkan, di pertemuan bilateral India-Indonesia sekalipun, hanya fotografer dan videografer resmi yang bisa hadir langsung di lokasi.
Kami para wartawan dari sejumah media massa hanya memantau acara dari gambar yang disiarkan langsung di media center. Namun tentu saja, beberapa bagian pertemuan dan dialog yang terjadi tak sepenuhnya disiarkan melalui live streaming tersebut.
Sesi retret, misalnya, benar-benar tertutup dari wartawan. Untuk keperluan penerbitan, wartawan diperbolehkan mengambil gambar hidup ataupun gambar diam di pool yang disediakan.
Walau demikian, para wartawan pun tak mau begitu saja pasrah tinggal diam di media center.
Walau demikian, para wartawan pun tak mau begitu saja pasrah tinggal diam di media center. Selain mengumpulkan bahan di media center, waktu-waktu seperti saat sarapan atau setelah acara biasanya dimanfaatkan untuk menemui para menteri yang ikut hadir mendampingi Presiden.
Selain itu, data yang sudah dikumpulkan sejak sebelum ataupun saat di lapangan tetap dipegang.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, misalnya, memberikan keterangan kepada wartawan setelah sesi pertama, sesi retret, KTT ASEAN-India pada Kamis (25/6) sore dan setelah pertemuan bilateral Indonesia-Vietnam, Jumat (26/1) pagi. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita masih sempat kami wawancara di ruang sarapan pagi di hotel.
Keterangan-keterangan lain dari Direktur Kerja Sama ASEAN Kemenlu Jose Tavarez dan Duta Besar RI untuk India Sidharto Suryodipuro dikumpulkan di sela-sela kesibukan mereka mempersiapkan kedatangan Presiden. Keterangan pers yang dikirimkan resmi dari Biro Pers juga melengkapi data yang dikumpulkan untuk menulis berita.
Semua serpihan itulah yang dirangkai menjadi berita dan tulisan di harian Kompas. Praktis, tak ada waktu untuk wawancara dengan Presiden Jokowi dalam perjalanannya keluar negeri kali ini kendati kami termasuk dalam rombongan.
Biasanya, Presiden ”melompat” dari satu acara ke acara lain. Wartawan akan sangat sulit mendekat.
Sedikit berbeda dengan meliput Presiden dalam kunjungan kerja ke luar kota di Indonesia. Wartawan bisa mengambil gambar dengan cukup leluasa. Di titik tertentu, Presiden pun menyediakan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.
Sangat ketat
Di India, kerumitan bertambah karena Presiden Joko Widodo tinggal di satu hotel yang sama dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dan PM Vietnam Nguyen Xuan Phuc. Pengamanan di hotel pun jadi sangat ketat. Tak hanya barang yang dipindai, pengecekan tubuh secara manual pun terus dilakukan petugas keamanan.
Ketika suatu kali kami melihat PM Lee tiba bersama istrinya dan berfoto di instalasi lilin berbentuk merak, para petugas keamanan sudah berjaga di mana-mana. Kami, para peliput pun perlahan-lahan bergerak mencari sudut yang memungkinkan gambar diambil.
Perbedaan waktu India dan Indonesia juga menjadi satu hal yang selalu kami perhitungkan. Indonesia satu setengah jam lebih cepat ketimbang India. Jadi, apabila sesi retret dimulai pukul 14.00 dan berakhir pukul 15.50, kami baru bisa menemui Menlu Retno sekitar pukul 16.00.
Saat itu di Indonesia sudah pukul 17.30. Apabila tenggat berita pukul 19.00, berarti semua bahan harus dicicil jauh sebelumnya.
Bahkan, topik yang kira-kira akan dibahas Presiden Joko Widodo pada sesi pleno yang dimulai pukul 18.00 hari itu, harus bisa diketahui sebelumnya. Kalau tidak, berita takkan selesai untuk dikirim dan dimuat di pada Kompas pagi berikutnya. (INA)