Meliput Longsor, Menyapa Desa yang Akan Hilang
Mengunjungi Desa Pinara, Kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat merupakan keberuntungan sekaligus ajang uji nyali. Desa di atas perbukitan itu tidak lama lagi hanya tinggal kenangan.
Desa Pinara menjadi buah bibir setelah 1.196 jiwa warga, terpaksa mengungsi akibat tanah bergerak dan longsor, akhir Februari lalu. Bencana itu berlangsung setelah hujan mengguyur sekitar 12 jam.
Saya mengunjungi desa tersebut pada Kamis (1/3/2018). Mengendarai sepeda motor, saya berangkat dari Kabupaten Indramayu, melintasi Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon. Jaraknya lumayan, sekitar 107 kilometer atau lebih dari tiga jam.
Melintasi teriknya pesisir pantai Indramayu, saya menuju pegunungan di Kuningan yang diguyur gerimis. Perjalanan diwarnai mulai dari terjebak di kemacetan kota sampai tersesat di persimpangan jalan perbukitan. Aplikasi penunjuk arah tidak sepenuhnya merekam jalur menuju Desa Pinara. Saat-saat seperti ini, "GPS" (gunakan penduduk setempat) sangat ampuh mengantar ke lokasi tujuan.
Desa Pinara berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat kota Kuningan, melalui jalan Cirebon – Kuningan yang rusak. Lubang dan gelombang tersebar di mana-mana, memperlambat laju kendaraan di dua lajur.
Jalur tersebut sangat padat pada akhir pekan. Kendaraan, terutama yang berpelat nomor B (Jakarta dan sekitarnya) serta D (Bandung), mengular menuju sejumlah destinasi wisata di Kuningan.
Namun, gambaran itu tiba-tiba menghilang ketika menuju Ciniru. Tujuh titik pengungsian tersebar di Desa Ciniru dan Desa Cijemit. Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kuningan, taruna siaga bencana, dan pemerintah setempat membangun dapur umum serta posko kesehatan.
Bantuan pakaian dan makanan datang silih berganti, dari kecamatan lain hingga pihak swasta di Cirebon. Warga menanti duduk di lantai beralaskan tikar dan kasur tipis. Lebih dari 1.000 warga Pinara mengungsi di sana.
Saya penasaran melihat Desa Pinara yang katanya tak berpenghuni. “Kalau mau ke sana, jauh, 9 kilometer. Bahaya. Warga juga sudah di sini semua,” ujar Nana Mahpudiana, anggota karangtaruna Ciniru, kepada Kompas.
Saya memutuskan memacu gas motor menuju Pinara, melintasi Desa Cijemit dan Desa Gunungmanik. Medannya naik turun bukit. Perjalanan ke sana lebih banyak tanjakan sehingga kecepatan sepeda motor tak bisa tinggi.
Dari 9 kilometer, hampir semuanya sudah beraspal. Namun, setengahnya rusak berat, berlubang dan berkerikil. Rekahan tanah dan material sisa longsor menyebar di sejumlah titik.
Bahkan, sejumlah jembatan putus akibat longsor. Warga membuat jembatan darurat dari batang pohon. Batang pepohonan yang telah ditebang juga menumpuk di pinggir jalan.
Sepanjang perjalanan, saya bertemu sejumlah siswa SMP mengendarai sepeda motor. Mereka adalah warga Gunungmanik dan Pinara yang harus sekolah ke Cijemit dan Ciniru yang memiliki SMP. Tentu mereka tidak punya SIM tapi apa boleh buat, tidak ada angkutan umum di sana.
Ceroboh sedikit bisa fatal akibatnya. Tidak ada pembatas jalan di daerah dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut tersebut. Bahkan, sejumlah sisi jalan telah ambrol akibat longsor dan dipasangi beronjong.
Yang ada hanya mobil bak terbuka yang dimodifikasi dengan batang pohon di bagian belakang, menjadi tempat duduk penumpang. Kapasitasnya hingga 16 penumpang. Ongkos pulang pergi ke Kuningan dipatok Rp 40.000 per orang. Tidak jarang terlihat tangan keriput mencengkram bagian mobil agar tidak terjatuh.
Ceroboh sedikit bisa fatal akibatnya. Tidak ada pembatas jalan di daerah dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut tersebut. Bahkan, sejumlah sisi jalan telah ambrol akibat longsor dan dipasangi beronjong. Jalannya sempit. Jika dua mobil berpapasan, salah satu harus berhenti.
Jalan utama menuju Pinara terputus akibat tanah bergerak sehingga saya harus melalui Dusun Cilaharja, Gunungmanik. Sesampainya di Desa Pinara, awan gelap memayungi. Belasan warga berlari kecil, keluar dari desa. Mendung pertanda bahaya bahwa pergerakan tanah bakal terjadi.
Warga hanya datang pada pagi hari untuk menengok Desa Pinara. Setelah itu, daerah seluas 9 kilometer persegi tersebut tidak lebih seperti desa mati sepekan terakhir, tanpa penghuni. Tanah bergeser hingga lebih 50 sentimeter. Sebuah rumah ambruk, tersisa pintu depan dan sebagian atap.
Sawah yang menghasilkan padi untuk konsumsi warga setempat tidak luput dari longsor. Sawahnya terasering, tidak mendatar seperti di pesisir Indramayu. Perbedaan lainnya, sawah di sini hilang akibat longsor sedangkan di pesisir lenyap dihantam abrasi.
Sementara jalan desa sepanjang 6,5 kilometer tertimpa longsor. Itu sebabnya, warga lansia terpaksa digendong menggunakan sarung saat evakuasi. Saat gerimis jatuh, aliran air dari gunung yang melintasi jalan semakin deras.
“Kembali ke pengungsian. Jangan tinggal di desa. Tidak aman,” ucap seorang warga.
Rem blong
Desa tersebut tidak lama lagi hanya tinggal kenangan. Penghuninya terpaksa pindah karena bencana tanah bergerak dan longsor. Bersama warga, saya kembali ke posko pengungsian. Jalan terjal menurun dengan kemiringan 45 derajat sungguh memicu ketegangan. Udara dingin tidak mampu menghalau keringat yang bercucuran.
Kini, giliran sepuluh jari bekerja keras menekan tuas rem. Jika tidak, motor melaju bebas hambatan di antara jurang. Baru sepertiga perjalanan, bau ampas rem tercium. Tuas rem depan amblas.
Gawat! Bau itu berasal dari rem depan motor saya. Asap menyeruak, menandakan kerja keras rem itu. Padahal, belum sepekan, saya mengganti ampas rem tersebut. Dasar jurang sontak membayangi.
Tidak mungkin ada bengkel di jalur itu. Kalau pun ada, pasti sudah tutup karena ancaman pergerakan tanah. Hujan yang mengguyur menambah licin jalanan. Saya diam sekitar 10 menit sembari mendinginkan rem depan.
Pulang dengan mengandalkan rem belakang cukup berisiko karena medannya turunan. Namun, tinggal di sini juga bukan sebuah pilihan. Akhirnya, saya memutuskan pulang dengan berjalan ekstra hati-hati.
Tak disangka, rem depan kembali berfungsi, entah bagaimana caranya. Meski demikian, saya tetap was-was. Beberapa kali saya berhenti agar ampas rem tidak terlalu panas. Jemari saya yang telah kapalan juga butuh rehat.
Syukurlah, sisa perjalanan berjalan lancar. Saya pernah ke Cibingbin, daerah perbukitan yang berjarak sekitar 35 kilometer dari pusat kota Kuningan, tahun 2016. Namun, medannya masih dalam jangkauan. Perjalanan ini sungguh berbeda.
Dalam hati saya berkata, masyarakat di Pinara sungguh tangguh. Puluhan tahun mereka menanggung sulitnya akses lokasi karena tidak mudah dijangkau. Ongkos angkut satu sak semen di sana bertambah Rp 8.000. Padahal, pabrik semen berada di Cirebon, sekitar 50 kilometer dari Pinara.
Sementara hasil panen petani dijual murah akibat sulitnya jalur transportasi. Untuk bawang daun, misalnya, hanya dijual Rp 3.000 per kilogram (kg). Padahal, di pasar Kuningan sudah Rp 7.000 per kg. Hasil panen kepulaga, sejenis rempah-rempah, kerap tidak stabil. Harganya berkisar Rp 50.000 hingga Rp 80.000 per kg.
Komoditas ini dipanen hingga 4 kali setahun, lebih menguntungkan dibandingkan cengkeh yang hanya setahun sekali. Setiap pohon kepulaga dapat membuahkan 10 kg. Di Pinara, diprediksi ada 10.000 pohon.
Setiap pekan, tengkulak datang menjemput komoditas yang telah dikeringkan tersebut. Kabarnya biji kepulaga tersebut dikirim ke sebuah pabrik di Cirebon dan Karawang. Namun, warga tidak tahu pasti kemana produksi kebun mereka dan berapa harga pasarannya. Ini menunjukkan posisi petani sebagai subordinat yang teralienasi (terasingkan) dari industri kepulaga.
Sesampainya di posko pengungsian, warga menyambut dengan hangat, tersenyum. Mereka lalu menyuguhkan makanan dari dapur umum. Masih hangat. Makanan berisi nasi, sayuran, dan telur dadar itu cukup nikmat. Apalagi, disantap bersama.
“Tolong sampaikan ke pejabat-pejabat di atas sana. Begini kondisi kami, orang gunung. Kalau bisa, Pak Jokowi datang ke sini,” ujar Sarlin (43), warga Pinara.
Begini kondisi kami, orang gunung. Kalau bisa, Pak Jokowi datang ke sini.
Ketua RT 01 RW 01 Desa Pinara Jaya Saputra berharap, pemerintah segera merelokasi warga. “Kami bersedia pindah dari kampung halaman. Di sana sudah tidak aman,” ucap Jaya, yang telah puluhan tahun tinggal di Pinara.
Jaya tidak tahu pasti arti dari “Pinara”. Namun, sejumlah warga menyebut Pinara merupakan bahasa Jawa (pinarak) yang berarti “mampir”. Kini, desa itu tidak lagi menjadi tempat persinggahan karena ancaman tanah bergerak. Sebanyak 3 juta wisatawan yang ke Kuningan setiap tahunnya bisa dipastikan tidak akan menyentuh desa tersebut.
Siang berganti sore. Saya pamit kepada warga. Lalu, menempuh perjalanan 107 kilometer kembali ke Indramayu.
Saya mengejar sampai di rumah sebelum hari gelap. Mengendarai motor malam hari di jalur Cirebon-Indramayu cukup berbahaya. Bukan karena kondisi jalannya tapi karena karena rawan begal. Di sebuah daerah bernama Krangkeng yang langganan kekeringan, pembegalan kerap terjadi…