”Menyusup” ke Perkawinan Orang demi Rancak Talempong
Ini adalah perjalanan kedua tim Ekspedisi Alat Musik Nusantara Kompas. Tujuan kali ini ke Sumatera Barat, khususnya Padang dan kota-kota atau kabupaten di sekitarnya. Yang kami cari adalah berbagai hal tentang talempong, salah satu alat musik tradisional Minangkabau yang dimainkan dengan cara dipukul.
Secara bentuk dan material, talempong mirip dengan gong, hanya saja ukurannya lebih kecil, dengan teknik pembuatan yang juga berbeda. Begitu juga dengan suara yang dihasilkan.
Di antara alat musik tradisional Minangkabau lainnya, talempong adalah alat musik yang sangat mewakili identitas Minangkabau. Persebarannya luas, hampir di seluruh Sumatera Barat. Atas dasar itu, talempong menjadi salah satu dari sejumlah alat musik tradisional yang kami ”buru” dalam ekspedisi ini.
Tim kali ini terdiri dari saya, Dwi As Setianingsih (reporter), Rony Ariyanto Wibowo (fotografer dan videografer), Luhur Arsiyanto Putra (infografik), dan yang paling penting adalah Ismail Zakaria (reporter) sebagai ”penguasa” Sumatera Barat. Hampir lima tahun Ismail bertugas di Ranah Minang, bergulat dengan berbagai dinamika yang terjadi di sana.
Dalam peliputan kali ini, peran Ismail sangat penting karena selain paling menguasai medan, Ismail juga ”cukup” menguasai bahasa Minang. Dia berperan membuka komunikasi manakala kami yang nyaris tak pernah menginjak Tanah Minang, kecuali Rony yang pernah bertugas di Padang selama 3 bulan, harus berkomunikasi dengan narasumber yang lebih nyaman menggunakan bahasa Minang dalam percakapan.
Liputan talempong berlangsung selama lebih kurang satu minggu, Senin (12/2/2018) hingga Sabtu (17/2/2018). Berbekal informasi yang sudah kami susun dalam panduan dan jadwal peliputan, kami pun mulai menjelajah Sumatera Barat demi mengenal lebih dekat talempong. Liputan juga dibantu Mawar Kusuma (reporter), khusus untuk aktivitas terkait talempong di Bandung, Jawa Barat.
Durian runtuh
Hari pertama berjalan sesuai rencana. Kami mendapat banyak informasi dari Guru Besar Antropologi Universitas Andalas, Padang, Nursyirwan Effendi, tentang talempong dari kacamata antropologi. Dari Universitas Andalas, kami iseng-iseng memburu sebuah sanggar seni yang disebut Nursyirwan cukup populer di Padang, yaitu Sanggar Satampang Baniah (STB).
Saat menikah tahun 1993, Nursyirwan pun menyewa jasa sanggar ini. Talempong merupakan salah satu komponen penting dalam ritual perkawinan khas Minang.
Mengandalkan peta Google, kami meluncur ke daerah Kubu Dalam Parak Karakah, Padang Timur. Setelah berputar-putar mengelilingi kompleks perumahan, kami menemukan alamat sanggar yang tertera di mesin pencari.
Namun, rupanya rumah itu tidak lagi dijadikan sanggar. Mereka telah pindah ke daerah Jati, Padang Timur. Kami pun segera meluncur ke sana, bertemu pengelola sanggar.
Rezeki datang di akhir obrolan. Mereka mengundang kami untuk meliput proses maarak marapulai, yaitu mengarak calon pengantin pria ke rumah calon anak daro atau pengantin perempuan. Acara ini biasanya diiringi talempong.
Aku disuruh ’benerin’ televisi yang mati itu. Disangka tukang TV.
Bagi kami, ini benar-benar bak durian runtuh. Tanpa harus repot mencari-cari acara pernikahan yang masih menggunakan talempong, kami justru diundang untuk menghadirinya. Tentu saja kami langsung mengiyakan tawaran itu.
Acara ”menyusup” ke acara pernikahan orang itu terjadi pada Jumat seusai shalat Jumat, kira-kira pukul 13.30, dan baru dimulai pukul 14.00 saat pengantin laki-laki tiba di rumah mempelai perempuan. Kami istilahkan menyusup karena kami sebenarnya tamu tak diundang. Yang mengundang kami adalah pengelola sanggar Satampang Baniah yang jasanya disewa pemilik acara.
Sebagai ”penyusup”, kami berempat mempersiapkan diri sebaik mungkin, termasuk mengisi perut agar tak sampai kelaparan di lokasi. Sebagai tamu tak diundang, rasanya tak pantas kami turut berpesta di sana. Jadi, segala hal sudah kami antisipasi.
Ismail bahkan sampai membawa bekal makanan dari sebuah restoran siap saji karena terburu-buru bergabung ke lokasi seusai menunaikan shalat Jumat. Sembari menunggu acara berlangsung, sesekali dia mengudap kentang goreng yang dia masukkan ke dalam ranselnya. Kami hanya bisa cekikikan melihat ulahnya.
Kehadiran kami siang itu memang cukup mencolok. Meski sudah mempersiapkan diri dengan berpakaian rapi, tetap saja kehadiran kami menarik perhatian di antara tamu-tamu yang berdandan ”serius” dengan baju batik atau pakaian resmi lain.
Kami memang sudah memakai kemeja, tapi sepatu yang kami kenakan adalah sepatu kets. Luhur apalagi, dia malah hanya mengenakan kaos oblong karena tak membawa satu lembar kemeja pun dalam perjalanan kali ini.
Selama acara berlangsung, Luhur dengan tabah menanti di luar karena merasa tak enak apabila harus muncul berkaus oblong. Setelah kami bujuk, baru dia mau masuk ke acara, menyelinap di antara para tamu dan bergabung dengan kami di salah satu meja.
Namun, tetap saja, namanya tamu tak diundang dan ”salah kostum”, ketika televisi yang menyiarkan acara akad nikah mendadak mati, Ismail didatangi seorang gadis kecil suruhan seorang ibu. ”Aku disuruh benerin televisi yang mati itu. Disangka tukang TV,” katanya mencoba sabar.
Di pengujung acara, kami akhirnya bisa meminta waktu untuk ngobrol dengan wakil orangtua mempelai. Selain itu, kami juga berhasil mendapatkan foto-foto dan video yang kami butuhkan untuk peliputan.
Melacak informasi
Peristiwa yang menguji kesabaran terjadi setelah kami mewawancarai dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, Andar Indra Sastra. Beberapa informasi yang kami peroleh dari Pak Andar membawa kami pada perjalanan yang lebih jauh dari yang kami bayangkan.
Setelah melewati diskusi, kami akhirnya sepakat melacak informasi yang kami peroleh dari Pak Andar, yaitu mencari para pemain talempong renjeng. Istilah ini konon jauh lebih konvensional atau tradisional ketimbang talempong pacik yang kami tahu dan beredar di tengah masyarakat.
Istilah talempong pacik, kata Andar, lahir dan diciptakan kalangan akademis yang justru menjauhkan talempong dari akar budayanya sendiri. Hal serupa termuat di buku Gongs and Pop Sounds: Sounding Minangkabau in Indonesia yang ditulis Jennifer Fraser.
Kami menjajal peruntungan kami untuk melacak talempong renjeng ke Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Berbekal informasi minim, kami tabah naik turun mobil untuk menanyakan berbagai kemungkinan tentang keberadaan kelompok talempong renjeng yang konon terdapat di sekitar Balairung Sari, sebuah jorong, di Nagari Tabek, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Jaraknya sekitar 93 kilometer timur Kota Padang atau 21 kilometer barat Kota Padang Panjang.
Dari Padang Panjang, jalur menuju jorong berupa jalan berkelok menurun dan menanjak melewati sawah-sawah hijau. Kami mengandalkan peta Google sebagai satu-satunya cara agar tidak nyasar. Meski Balairung Sari adalah situs budaya, belum ada satu pun dari kami yang pernah ke sana, termasuk Ismail.
Setelah hampir 1 jam berkendara dari ISI Padang Panjang, termasuk beristirahat menyeruput kopi kawa (minuman dari daun kopi) di salah satu kadai, kami tiba di Balairung. Namun, kami tak segera menemukan apa yang kami cari. Kami pun bertanya kepada warga setempat, termasuk kepada walinagari, sebutan untuk pejabat setara kepala desa di Minangkabau.
Namun, bertemu Walinagari Balairung juga tidak memberikan banyak informasi. Tidak ada talempong renjeng di Balairung Sari. Kalaupun ada kelompok talempong, mereka bermain talempong pacik. Apa boleh buat, kami pun pamit.
Gagal menemukan talempong renjeng, kami berganti strategi dengan menghubungi Andes Satolari, pemimpin sanggar di Nagari Sikabu-kabu Tanjung Haro Padang Panjang, Kecamatan Luak, sekitar 8 kilometer dari Kota Payakumbuh. Mengingat Sikabu-kabu adalah daerah baru bagi kami, peta Google tetap menjadi andalan sambil sesekali mengontak Andes hingga kami bertemu di sanggarnya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Oleh Andes, kami dipertemukan dengan kelompok pemain talempong yang didominasi perempuan. Lima dari enam anggota adalah perempuan.
Para pemain talempong perempuan ini adalah ibu-ibu berusia lanjut, tetapi masih energik dan penuh semangat. Beberapa di antaranya sudah mengenal talempong sejak kecil. Mereka memainkan talempong pacik atau talempong yang oleh pemainnya dipegang (dipacik) kemudian dipukul hingga menghasilkan nada tertentu.
Talempong ini berbeda dengan talempong modern atau talempong kreasi yang menempatkan (mendudukkan) talempong pada tempat khusus semacam rak, lalu dipukul. Talempong kreasi menghasilkan nada yang jauh lebih beragam.
Bermain talempong bukan sumber ekonomi mereka. Itu karena para perempuan ini masih bertani dan berdagang. Saat kami bertandang sore itu, tak semuanya bisa datang. Baru pada malam hari, setelah shalat Isya, mereka komplit untuk berlatih.
Tempat latihan yang dimaksud juga bukan sanggar, melainkan warung milik salah satu anggota mereka yang berlokasi tepat di seberang masjid. Suara orang mengaji dan azan membuat latihan tidak bisa disegerakan.
Mengenal alat musik Nusantara adalah salah satu cara untuk mengenali akar sebagai bangsa.
Saat latihan dimulai pukul 20.00 WIB, warga datang dan ikut larut menikmati permainan talempong ibu-ibu itu. Mereka memainkan beberapa pola nada dengan sukacita. Pola nada itu biasa mereka mainkan ketika tampil mengisi di acara pernikahan atau mengiringi acara pelantikan penghulu.
Dari mereka, kami menemukan istilah talempong bambu. Talempong ini yang digunakan beberapa anggota kala berlatih saat kecil. Setelah hafal pola-pola nada talempong, mereka baru diizinkan menggunakan talempong yang sesungguhnya.
Di Sikabu-kabu, kami baru selesai liputan sekitar pukul 21.00. Rombongan sudah nyaris ”tepar” karena perjalanan panjang melintasi rute Padang-Padang Panjang-Tanah Datar–Payakumbuh hingga Limapuluh Kota. Kami tak bisa menginap di Bukittinggi yang lebih dekat karena barang-barang kami masih tertinggal di hotel kami di Padang.
Walhasil, baru dini hari kami tiba kembali di Padang. Tanpa babibu, kami pun langsung masuk ke kamar masing-masing. Rasanya sangat lelah dan habis tenaga kami.
Mengenali akar bangsa
Meski didera liputan hingga dini hari, bukan berarti kami lupa bersenang-senang. Di sela-sela liputan, kami berusaha menikmati perjalanan itu sebagaimana layaknya wisatawan.
Salah satunya turut mampir ke Istana Pagaruyung di Tanah Datar. Kami ke sana karena, menurut informasi, di sana terdapat seperangkat talempong milik istana. Dalam sejarahnya, talempong adalah alat/musik milik istana.
Dari wawancara dengan Nursyirwan yang juga dibenarkan Andar, kami mengetahui bahwa talempong merupakan alat/musik sakral yang lekat dengan kerajaan. Jadi, kami berharap bisa menemukan cerita tentang talempong di Pagaruyung. Syukur-syukur tentang talempong renjeng yang membuat kami penasaran.
Namun, rupanya Istana Pagaruyung juga tak mampu memenuhi harapan kami. Informasi yang kami dapat bahkan lebih sedikit dari Balairung Sari.
Petugas di Istana Pagaruyung hanya mengatakan, biasanya pada akhir pekan ada pertunjukan talempong, tetapi beberapa bulan terakhir tidak ada lagi. Talempong-talempong yang biasa digunakan untuk pertunjukan dimasukkan ke dalam kotak kayu dan diletakkan di sisi kanan istana.
Akhirnya kami harus puas hanya menikmati keindahan Istana Pagaruyung yang tersohor itu. Setelah merasa cukup, kami pun meninggalkan Istana.
Sebelum pergi, iseng kami membeli CD talempong yang dijajakan di lapak di depan kompleks Istana. Lumayan untuk menambah daftar putar atau playlist lagu di mobil. Lagi pula mendengarkan talempong terus-menerus seperti itu, kata Rony, adalah bentuk totalitas liputan.
Liputan juga membawa kami menjelajah kuliner Minang. Salah satunya menikmati itiak lado mudo di kawasan Ngarai Sianok, Bukittinggi. Gulai kepala ikan kakap segar pun tak kami lewatkan saat kami singgah di pantai-pantai cantik yang membentang di sepanjang perjalanan, terutama saat kami berada di Padang.
Keripik balado yang terkenal, ikan bilis, rendang, sandal kulit, serta kopi dan alat musik khas Minang, seperti serunai, dan tentu saja talempong, menjadi oleh-oleh perjalanan kami menjelajah Ranah Minang. Senang? Tentu saja.
Yang jelas, pengetahuan tentang talempong makin bertambah. Mengenal alat musik Nusantara adalah salah satu cara untuk mengenali akar sebagai bangsa. Kami bangga punya kesempatan itu dan membagikannya kepada pembaca Kompas. Liputan Ekspedisi Alat Musik Nusantara di ranah Minang terbit pada Minggu (25/3) ini.