Tiap Hari Keramas Saat Liputan Gamelan
Mari kita mulai kisah ini dengan ihwal birokrasi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jauh-jauh hari, saya diingatkan beberapa teman bahwa untuk liputan di Keraton Yogyakarta tidak bisa langsung datang dan liputan sebagaimana meliput kebakaran atau gunung meletus.
Terlebih dulu, perlu mengajukan surat izin. Tiga hari sebelum ke Yogyakarta, saya mengirim surat elektronik. Begitu tiba di keraton, saya langsung mendapat empat surat, yakni surat izin untuk saya pegang, surat untuk izin penjaga atau abdi dalem, dan surat untuk dua narasumber.
Baca: Tutur Visual terkait Alat Musik Gamelan
Pihak keraton sudah menentukan narasumber, yakni KRT Purwadiningrat dari KPH Widyabudaya (sejenis badan kebudayaan keraton) dan M Riya Poncodipuro dari KHP Kridomardowo (badan kesenian keraton).
Persoalannya, tidak semua abdi dalem mengetahui letak kantor keduanya. Setidaknya, butuh waktu setengah jam untuk menemukan ruang kantor Raden Purwa, panggilan untuk KRT Purwadiningrat. Itu pun setelah bertanya kepada tak kurang dari enam abdi dalem.
Begitu ditemukan ruang kerjanya, ternyata Raden Purwa tidak ada. Dapat saya memaklumi jika Raden Purwa tidak selalu ada di ruangannya. Mungkin, beliau butuh jalan-jalan atau udara segar di keraton.
Informasinya, dia sering duduk di belakang Bangsal Sri Manganti (pada zaman kerajaan, bangsal ini digunakan untuk menerima tamu-tamu penting), yang kebetulan siang itu sedang berlangsung permainan gamelan dengan gending uyon-uyon. Tetapi nihil. Tempat duduknya kosong.
Saya akhirnya memberi kartu nama dan nomor ponsel kepada beberapa abdi dalem sembari berpesan, ”Minta tolong saya ditelepon atau di-SMS kalau bapak melihat Raden Purwa.”
Tak lama kemudian, seorang abdi dalem setengah tergopoh menghampiri saya. ”Itu Raden Purwa,” ujarnya sambil menunjuk seorang sosok jangkung berblangkon. ”Mari saya antar,” kata abdi dalem tadi penuh keramahan dan sopan. Siang itu, kami mewawancarai Raden Purwa dengan lancar.
Sayangnya, hari itu kami gagal menemui M Riya Poncodipuro, yang akrab dipanggil Mas Ponco, seorang abdi dalem yang mengurusi gamelan. ”Hari ini beliau tidak masuk. Coba hari Sabtu,” kata seorang abdi dalem yang lain. Benar saja, baru hari Sabtu kami dapat berjumpa Mas Ponco.
Lain lagi cerita permintaan izin di Solo alias Keraton Surakarta Hadiningrat. Surat sudah kami kirim secara digital pada 27 Januari 2018, dengan harapan saat tiba di Solo, surat izin liputan sudah keluar.
Ternyata, Senin (5/2/2018), saat kami tiba di Keraton Surakarta tepatnya di Sasono Putro Keraton, ternyata surat izin belum jadi karena mereka merasa belum menerima surat pengajuan izin liputan dari Kompas.
Rupanya terjadi kesalahpahaman lantaran surat tempo hari belum diteruskan ke Sasono Putro Keraton. Untungnya, kami membawa surat fisik, yang hari itu juga kami serahkan sebagai bentuk permintaan izin. Dua hari kemudian, kami baru mendapat izin untuk bisa meliput gamelan di Keraton Surakarta.
Birokrasi di kedua keraton tadi sekilas njelimet, tetapi keramahtamahan para abdi dalem membuat kami sadar bahwa ada aturan yang harus dipatuhi. Meski sebenarnya di masa modern seperti sekarang ini, birokrasi dapat saja diperlunak.
Tidak terelakkan, karena urusan birokrasi keraton tersebut, ada masa dimana kami harus menunggu. Untungnya, Yogyakarta dan Solo identik dengan surga. Surga makanan dan surga jalan-jalan.
Wisata kuliner
Selain harganya yang bersahabat, cita rasa makanan di Yogyakarta sangat variatif, apalagi juga muncul banyak makanan ”impor” dari Jawa Timur, Padang, bahkan Manado. Meskipun makanan khas Yogyakarta, seperti sate klatak dan brongkos, tetap nomor satu.
Selama berada di Yogyakarta dan Solo selama sepekan untuk meliput gamelan sebagai bagian dari Ekspedisi Alat Musik Nusantara 2018, kami pun berwisata kuliner.
Tugas utama kami jelas liputan, tetapi liputan jelas tidak mampu mengalahkan hasrat berburu makanan. Begitu roda pesawat menghantam landasan Bandara Adisutjipto dan kami menapak di tanah Yogyakarta, pada Kamis (1/2/2018), pertanyaan pertama adalah, ”Mau makan apa kita?”
Kebetulan rekan saya, Novan Nugrahadi (grafis), dan M Yuniadhi Agung (fotografer) pernah tinggal lama di Yogyakarta. Bukan hanya lekuk jalanan yang mereka hafal, nama warung dan penjualnya pun masih ingat di luar kepala.
Setelah diskusi singkat, kami memilih sarapan yang masuk jam makan siang itu di SGPC tak jauh dari kampus Universitas Gadjah Mada. Rasa pecel yang medok sungguh pengobat kangen yang luar biasa. Kebetulan cita rasa itu cocok dengan lidah Jawa Timur saya.
Kami bahkan mendaftar warung-warung yang layak dikunjungi. Sebutlah Ayam Goreng Mbok Sabar di Jalan Jagalan, Sate Klatak Pak Pong di Jalan VC Veteran, dan Nasi Uduk Palagan di Jalan Palagan.
Di Solo, kami juga mendatangi beberapa warung yang bagi Yuniadhi Agung legendaris. Maklum, dia pernah kuliah di Solo sehingga lebih paham setidaknya dibandingkan dengan saya. Sate Kambing Mbok Galak di Jalan Ki Mangun Sarkoro adalah salah satu warung yang membuat saya ingin cepat-cepat balik ke Solo.
Jadi saudara, terkadang ekspedisi ini beralih menjadi ekspedisi warungan. Kenikmatan kuliner di Yogyakarta ataupun Solo akhirnya menjadi semacam pelampiasan ketika liputan tidak selamanya mulus seperti yang kami harapkan.
Boleh saja kami stres, tetapi jangan sampai putus asa. Nah, makanan tadi bisa menjadi semacam pengendali diri agar tak putus asa. Bahwa selalu ada yang nikmat di warung makan setelah pahit di lapangan peliputan.
Tiap hari keramas
Wartawan yang baik juga harus berada di jantung peristiwa. Ini kredo yang selalu kami pegang, termasuk saat liputan gamelan. Kami mendatangi Desa Wirun, sekitar 6 kilometer dari Kota Solo.
Desa ini menjadi sentra pembuatan gamelan yang tiada duanya di Indonesia. Setidaknya dari sisi jumlah, di desa ini terdapat 10 tempat pembuatan gamelan.
Kami mengunjungi empat tempat pembuatan gamelan dan bertahan di sana dari pagi hingga sore hari. Kami mengikuti proses pembuatannya sejak penimbangan bahan, peleburan, pengecoran, penempaan, sampai pelarasan atau penentuan nada.
Tempat pembuatan gamelan ini panas sekali. Dapat dibayangkan ketika mereka melebur tembaga di ruangan tertutup dengan bara api dari arang. Meskipun dibantu tiga sampai empat kipas angin, rasanya sia-sia mengurangi hawa panasnya. Kami ikut berkeringat, apalagi para pekerja.
Wajah kami juga penuh debu dan jelaga. Begitu sampai di penginapan, kami pun segera mandi untuk membersihkan segala jelaga. Begitu mengguyur rambut untuk keramas, air yang mengalir berubah kehitaman seperti tengah mengecat rambut. Rupanya jelaga juga menumpuk di kepala.
Keesokan harinya, kami melindungi kepala dengan topi. Tak sepenuhnya aman, tetapi lumayan membantu. Tiap hari liputan gamelan di Desa Wirun, tiap hari pula kami tetap harus keramas.
Liputan gamelan akhirnya menjadi cukup merepotkan. Meski kami sadar kerja kami belum ada apa-apanya dibandingkan kerja-kerja para perajin ataupun seniman gamelan untuk merawat warisan seni dari para leluhur.