Menginap di Polsek hingga Mendorong Mobil demi Mengangkat Kisah Bratasena
”Wah, malam ini langsung mau ke Bratasena? Jalannya rusak parah, Mbak,” ujar Safari (44), salah satu pawang gajah di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, Rabu (21/3/2018) malam. Safari sudah mengingatkan kami untuk menunda perjalanan di malam itu.
Hari Rabu malam itu, dia bersama delapan petugas lainnya piket malam menjaga kawanan gajah jinak di Pusat Konservasi Gajah Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Sembari berjaga, mereka mengobrol sembari menyeruput kopi dan mengunyah kacang kedelai untuk menghilangkan bosan di tengah hutan.
Demi liputan tematis tentang Lampung, saya dan Kepala Biro Sumatera Kompas Aufrida Wismi Warastri kembali masuk TNWK untuk mengambil video gajah Erin. Gajah itu merupakan gajah berusia 4 tahun yang kehilangan sebagian belalainya karena jerat pemburu liar. Video itu untuk diunggah di Kompas.id, sebagai pelengkap berita di harian Kompas.
Seusai menyelesaikan pengambilan video gajah Erin di TNWK, kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju kawasan tambak udang di Bratasena, Kecamatan Dente Teladas, Tulang Bawang, Lampung. Dari Kabupaten Lampung Timur, kami masih harus menempuh jarak sekitar 150 kilometer yang biasanya ditempuh dalam lima jam.
Tak hanya diingatkan oleh Safari, beberapa orang yang kami temui malam itu juga mengingatkan buruknya kondisi jalan menuju Bratasena. Mereka meminta kami berhati-hati di perjalanan karena kondisi jalan bergelombang dan berlubang.
Saat hujan, jalan lebih membahayakan pengendara. Lubang-lubang besar di jalan bisa tak terlihat dan kondisi jalan berlumpur.
Baca: Artikel Kompas terkait Petambak Bratasena
Mendengar cerita itu, saya yang sedang mengandung dua bulan sempat khawatir. Apalagi, ini adalah kehamilan pertama sehingga saya belum berpengalaman melewati trisemester pertama.
Mbak Wismi kemudian menyarankan agar saya membeli bantal untuk dipakai duduk di dalam mobil demi mengurangi guncangan. Sayangnya, malam itu beberapa toko bantal di Lampung Timur sudah tutup.
Akhirnya, saya mengontak beberapa teman wartawan di Lampung Timur untuk meminjam bantal. Bantal itu saya pakai untuk duduk demi mengurangi guncangan saat melewati jalan rusak. Sekitar pukul 21.30, setelah makan malam, kami lanjut ke Bratasena.
Akhirnya, saya mengontak beberapa teman wartawan di Lampung Timur untuk meminjam bantal.
Sejak di Lampung Timur, kerusakan jalan lintas pantai timur Sumatera sudah kami rasakan. Jalan berlubang dan bergelombang membuat mobil yang kami tumpangi berguncang. Sopir mobil sewaan kami lalu memperlambat laju kendaraannya.
Sesampainya di Kecamatan Rumbia, Lampung Tengah, kondisi jalan jauh lebih parah. Aspal jalan mengelupas dan menyisakan jalan tanah. Kedalaman lubang di jalan itu 50-70 sentimeter. Kendaraan kami hanya bisa melaju dengan kecepatan 10-15 kilometer per jam.
Perjalanan dari Lampung Timur menuju Gaya Baru, Lampung Tengah, hanya 3,5 jam tetapi terasa seperti semalam penuh. Jalan rusak tidak hanya membuat perut mual, tetapi juga membuat pinggang terasa kaku. Kami masih beruntung karena malam itu tidak hujan.
Saya pun mengakui daya tahan warga di kecamatan itu yang tiap hari harus melintasi jalan rusak. Seketika, saya teringat Bupati (nonaktif) Lampung Tengah Mustafa yang saat ini ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mustafa diduga menyuap anggota DPRD Lampung Tengah demi mendapatkan persetujuan DPRD terkait dana pinjaman Rp 300 miliar untuk pembangunan infrastruktur jalan dari PT SMI. Kalau urusan ”persetujuan” sudah korupsi, bagaimana nanti kualitas jalan yang akan dibangun?
Tiba di Gaya Baru, Lampung Tengah, kami mencari penginapan atau losmen untuk beristirahat. Namun, kami hanya dapat menemukan satu penginapan, Angin Mamiri.
Sayangnya, setelah diketuk berkali-kali, pemilik penginapan enggan membuka pintu. Saat kami hubungi melalui telepon, pemilik penginapan juga tidak menjawab.
Hingga pukul 02.00, kami belum mendapat penginapan. Menurut beberapa warga, tidak ada penginapan lain. Melanjutkan perjalanan juga tidak mungkin karena kondisi badan sudah sangat lelah.
Kami sempat teringat dengan losmen di Kecamatan Rumbia yang telah kami lewati. Namun, mengingat kami harus kembali menempuh jalan rusak dan bergelombang untuk sampai ke losmen itu, maka kami memutuskan tidak kembali ke Rumbia.
Alhasil, kami menginap di Polsek Seputih Surabaya, polsek terdekat. ”Di sini tidak ada penginapan lain. Sudah, bermalam di sini saja, toh sebentar lagi juga sudah pagi,” ujar anggota kepolisian yang malam itu piket malam.
Dia mengantarkan kami ke ruang Reserse Kriminal. Malam itu, saya dan Mbak Wismi tidur di sebuah sofa hijau. Sementara abang sopir tidur di dalam mobil.
Setelah beristirahat selama empat jam, pada pukul 06.00, kami melanjutkan perjalanan. Kami kemudian harus melintasi jalan yang terendam banjir setinggi 50 sentimeter. Pengendara sepeda motor dan mobil harus bergantian dan berhati-hati saat melintasi banjir.
Menurut warga dan petugas yang berjaga di lokasi, banjir di daerah itu sudah berlangsung lebih dari tiga minggu. Pemerintah daerah pun seolah tak bisa berdaya. Kami kemudian tidak hanya mewawancarai warga, tetapi juga memotret situasi.
Setelah itu, kami mencari rumah makan untuk sarapan. Malam sebelumnya, kami tidur di polsek bukan di hotel sehingga tidak mendapatkan jatah sarapan. Ternyata, mencari sarapan di Kecamatan Bandar Surabaya sama sulitnya dengan mencari penginapan.
Kami pun terpaksa mampir ke warung sate di pinggir jalan. Namun ternyata, pemilik warung masih sibuk memotong dan menusukkan daging kambing pada batang bambu. Mereka belum siap menyajikan sate untuk pelanggan meski tetap mau membakar sate untuk kami.
Dalam perjumpaan dengan warga, kami mendengar informasi kalau perekonomian di Kecamatan Bandar Surabaya ikut terdampak setelah budidaya tambak udang di Bratasena lumpuh. Sejumlah warung di daerah itu juga gulung tikar karena kehilangan pelanggan.
Di sepanjang jalan, kami juga menyaksikan ratusan warga korban banjir mengungsi dengan mendirikan tenda-tenda darurat di pinggir jalan. Mereka tampak sibuk menyiapkan makan. Kami juga berhenti untuk mengobrol dengan warga di sana.
”Ayo Mbak, ikut makan,” ujar M Muhsin (31), salah seorang pengungsi. Saya terharu. Betapa tidak, di tengah kesulitan hidup, mereka masih peduli kepada kami meski belum saling mengenal.
Ternyata, Muhsin merupakan mantan petambak udang di PT Central Pertiwi Bahari. Dia terpaksa kembali menjadi petani sejak industri tambak udang itu runtuh. Kini, Muhsin dan keluarganya harus mengungsi karena rumah mereka terendam banjir. Tanaman padi seluas 0,5 hektar juga gagal panen.
Setelah berbincang, kami melanjutkan perjalanan sekitar 500 meter hingga ke Dermaga Sadewa. Dari dermaga itu, kami menumpang ponton atau tongkang kecil, sejenis kapal besi dengan lambung datar untuk menyeberang Sungai Way Seputih.
Meski lama penyeberangan tidak sampai 10 menit, tarif tiket yang dibayarkan mencapai Rp 85.000.
Setelah menyeberang, kami berpikir telah sampai Bratasena. Namun ternyata, kami masih harus melewati dua desa, yakni Desa Pasiran Jaya dan Pendowo Asri. Perekonomian warga di dua desa itu juga lumpuh. Ratusan bangunan kos yang dulu disewa oleh karyawan tambak udang kini kosong. Sebagian besar bangunan tampak rusak dan tertutup rumput ilalang.
Buruknya kondisi jalan membuat perjalanan ke Bratasena butuh waktu lama. Jalan yang terendam banjir membuat kendaraan yang kami tumpangi terjebak lumpur. Mobil kami sama sekali tidak dapat bergerak. Walau ternyata, beberapa warga bersedia mendorong mobil kami.
Selepas kubangan lumpur, ternyata masih ada ruas jalan sepanjang 300 meter yang terendam banjir. Sopir kami sempat khawatir mesin mobil akan rusak. Namun, kami tetap memutuskan untuk menerjang banjir.
Ketika melintas perlahan, di tengah banjir, tiba-tiba sopir kami panik menyangka mesin mobil akan mati. Saya juga merasa mobil kami hampir terseret banjir. Beruntung, mobil yang kami tumpangi sampai di tanah kering.
Saya juga merasa mobil kami hampir terseret banjir.
Di sepanjang jalan, kami menyaksikan sisa-sisa kejayaan industri tambak udang. Bangunan berupa kantor, mes, dan halte bus yang dulu digunakan kini telah tertutup rumput ilalang. Kondisi bangunan juga tampak kusam dan beberapa bagian juga rusak.
Di Desa Pasiran Jaya dan Pendowo Asri, kami menemui sejumlah narasumber. Mulai dari warga sekitar hingga mantan petambak udang yang kini berhenti berusaha karena tak punya modal. Sementara di Bratasena, kami menemui para petambak yang masih bertahan membudidayakan udang vannamei.
Sungguh, konflik yang berlarut di Bratasena telah membuat perekonomian meredup. Mungkin, tidak ada yang menang dalam konflik itu. Mimpi ribuan karyawan dan petambak yang mengharap kesejahteraan juga telah pupus.
Perjalanan kami menuju Bratasena jelas tidak mudah. Butuh perjuangan. Namun, menyaksikan kesulitan hidup orang Bratasena, kami merasa perjuangan untuk menuju Bratasena tidaklah terlalu berat. Perjuangan kami untuk meliput jelas tidak seberat perjuangan hidup mereka.