Rem Blong di Tengah Hutan hingga ”Mabuk” Kopi pada Malam Terakhir
Perjalanan menuju surga kopi dataran tinggi Gayo, Aceh, tiba-tiba mencekam. Rem mobil yang digunakan tim Jelajah Kopi Nusantara harian Kompas mendadak blong. Di tengah ekosistem hutan Leuser, di mana Kompas melintas, tak ada bengkel untuk memperbaikinya.
Padahal, kami sedang diburu waktu. Butuh segera sampai di Takengon, ibu kota Aceh Tengah, demi meliput Festival Panen Kopi Tanah Gayo yang digelar 16-17 Desember 2017.
Namun, tidak mudah mendapatkan bantuan. Di sana tak ada bengkel. Kami pun gagal menelepon, yang ketika telepon genggam kami dicek ternyata tidak ada sinyal telepon.
Seorang pengendara yang juga melintasi jalan itu berhenti. Ia lalu mendekati kami. ”Remnya blong ya? Biasa itu. Tunggu saja remnya dingin biasanya akan baik lagi,” ujarnya.
Kami terkejut, bagaimana dia bisa tahu? Namun, kami pun sepakat untuk bertahan di sana.
Medan terjal
Tidak jauh dari tepi jalan, kami kemudian melihat sebuah pipa air yang dialirkan dari gunung. Air itu langsung kami tampung, lalu kami siram ke piringan cakram rem di roda depan dan rem tromol di belakang. Seketika, terdengar suara air mendidih dari piringan cakram dan asap mengepul.
Kami terus mengguyur rem itu sampai asap berhenti mengepul. Rem perlahan mulai dingin.
Seorang pelintas yang melihat kendaraan kami ikut menepi menyaksikan kondisi mobil. Katanya, medan terjal yang kami lalui dari arah Medan menuju jalur ini betul-betul menyiksa kendaraan.
Ruas jalan ini menanjak tinggi, turun menukik, dan berbelok tajam, memaksa pengendara harus sering-sering menekan pedal rem ataupun gas. Sering ia temui kendaraan terhenti karena masalah mesin, ban, dan rem.
Perjalanan menuju Gayo tidak mudah. Kami menempuhnya dari arah Kota Medan melewati Kabupaten Karo hingga mencapai perbatasan kedua provinsi. Selanjutnya, tiba di Aceh Tenggara melintasi rimba Leuser yang maha-indah.
Keaslian alamnya sesungguhnya begitu terjaga. Sepanjang ruas menembus rimba Leuser, kami menyaksikan vegetasi liar dan mendengar suara aneka burung.
Jarak dari Karo menuju lokasi festival panen kopi di Takengon mencapai 380 kilometer. Namun, karena medan jalan berliku-liku, waktu tempuh menjadi lama bahkan menyebabkan rem mobil blong.
Setelah menunggu beberapa saat, kami coba hidupkan kembali mesin mobil. Tak disangka, rem mobil berfungsi kembali. Kami pun lega dan segera melanjutkan perjalanan ke Takengon.
Supaya rem tidak panas lagi, beberapa kali kami menepikan mobil. Mencari anak-anak sungai untuk mengambil air dan menyiramkannya ke cakram rem.
Akhirnya, kami sampai juga di Takengon. Kami beristirahat sejenak di tepi Danau Lut Tawar dan menikmati kenikmatan kopi gayo di sebuah kedai sampai memandang ke arah danau.
Minum kopi sampai ”mabuk”
Dalam penjelajahan di tanah Gayo, tim beranggotakan wartawan Irma Tambunan dan Nikson Sinaga, fotografer Priyombodo, dan videografer Imam Agni bertolak menuju dataran tinggi Gayo. Kami ditemani Subandi, karyawan Bagian Umum Kompas Perwakilan Medan, yang mengantar perjalanan kami dari Medan hingga Takengon.
Setelah tiba di Takengon, Zulkarnaini, wartawan Kompas yang bertugas di Aceh, bergabung dengan tim. Bersamanya, kami menelusuri sentra-sentra kopi tersohor di ”Tanah Rencong” itu.
Kami menghadiri Festival Panen Kopi Gayo, mengunjungi pengolahan kopi Gudang Kopi Aman Kuba, pengolahan kopi terbesar Oro Coffee Gayo, dan menyambangi kedai-kedai kopi.
Kami pun menemui petani, sentra pembibitan kopi, hingga bekas pabrik kopi pada era penjajahan Belanda. Kami berdiskusi dan belajar kopi dari para barista Gayo, penyair kopi, hingga eksportir.
Setelah sepekan di Gayo, Aceh Tengah, tim bergerak ke Banda Aceh. Di sana surganya seduhan kopi khas pesisir, yakni kopi saring. Ada ratusan kedai kopi saring tersebar di Banda Aceh, khususnya di kawasan Ulee Kareng.
Salah satu yang melegenda adalah Kedai Kopi Solong. Kedai itu didirikan Muhammad Saman (96) pada 1974. Kami beruntung dapat bertemu langsung dengan sang perintis di rumahnya. Usianya sudah tua. Suaranya terdengar lirih. Namun, semangat masih membara sewaktu berbicara soal kopi.
Dulu, Kedai Kopi Solong hanya menjual kopi robusta yang diseduh dengan cara saring. Sekarang mereka menjual minuman kopi arabika yang diseduh dengan mesin otomatis. Namun, kopi saring tetap menjadi ikon kopi Solong.
Di kedai, pelayan dengan ramah menyambut setiap tamu yang datang ke kedai itu. Tak perlu menunggu lama, gelas kopi akan terletak di meja di hadapan tamu. Sruut...! Saat seruput dengan pelan, rasa kopi yang tebal itu memenuhi seisi rongga mulut.
Usai menikmati kopi Solong, malamnya kami bergerak ke kedai yang lebih modern, yaitu Leuser Coffee. Kedai Leuser hanya menjual kopi arabika. Boleh dibilang pelanggan kopi Leuser anak-anak muda. Bagi mereka kopi bukan sekadar minuman, melainkan gaya hidup.
Kami menikmati kopi sambil berdiskusi dengan pemilik kedai, Danurfan. Bercerita tentang nasib petani, cara mengolah pascapanen, hingga belajar cara menyeduh kopi. Secangkir kopi mampu menjadi perekat hubungan manusia.
Tidak heran jika orang Aceh banyak mengaitkan sesuatu dengan kopi. Misalnya, peng kupi (uang kopi) biasanya sebagai bentuk balas jasa atas kebaikan orang atau kupi sabloh glah han dipeutaba (satu gelas kopi pun tidak ditawari) sebutan untuk orang yang sangat kikir.
Kopi tidak bisa dipisahkan dari kehidupan orang Aceh. Bahkan, dalam keadaan perang, minum kopi bersama adalah hal yang sangat dirindukan.
Salah seorang narasumber, antropolog Gayo, Salman Yoga, pun bercerita. Seorang pahlawan nasional dari Aceh, Teuku Umar, mengatakan, ”Singoh beungoh geutanyoe jeo kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid (Besok pagi kita minum kopi di Meulaboh atau saya akan sahid).” Kalimat itu diucapkannya satu hari sebelum ia meninggal, menandakan lekatnya kopi dalam kehidupan masyarakat di Aceh.
Namun, Danurfan sempat mengingatkan, jangan minum kopi terlalu banyak. Sehari maksimal tiga gelas. Terlalu banyak minum kopi bisa juga bikin ”mabuk”. Biasanya akan sulit tidur justru pada saat badan sebenarnya butuh beristirahat.
Usai minum kopi di Leuser, tim kembali ke penginapan. Malam itu, Zulkarnaini mengalami masalah. Kepalanya terasa berat alias pusing. Tidurnya bagaikan setengah terjaga. Badan terasa lelah, tetapi pikiran masih berkeliaran. Esok paginya, Zulkarnaini tampak lemas badan.
Teringatlah kami akan ucapan Danurfan semalam. Minum kopi terlalu banyak ternyata bisa bikin ”mabuk”.