Kontemplasi dalam Ketelanjangan
Sebagai negara yang memiliki banyak gunung berapi, Jepang juga memiliki banyak sumber air panas atau onsen. Sudah menjadi tradisi, orang Jepang suka berendam di sumber air panas publik bersama orang yang dikenal ataupun tidak dikenal tanpa sehelai busana pun.
Onsen dapat dibangun baik di dalam maupun di luar ruangan. Berendam di onsen dipercaya dapat melancarkan peredaran darah hingga menyembuhkan penyakit. Untuk disebut onsen, sumber air panas itu harus mengandung salah satu dari 19 mineral.
Seperti di Indonesia, pada daerah yang memiliki banyak onsen biasanya dibangun penginapan bergaya Jepang atau ryokan dengan kamar hanya beralas tatami.
Nishiyama Onsen Kelunkan di Hayakawa, Prefektur Yamanashi, yang dibangun tahun 705, diakui oleh Guinness World Record sebagai hotel tertua di dunia. Ryokan ini sudah dikelola oleh 52 generasi dari keluarga yang sama. Berapa banyak di antara kita yang mengenal 10 generasi sebelumnya?
Selain mengandalkan sumber air panas alami, kini hotel-hotel besar di Jepang pun menyediakan kolam air panas dari mesin pemanas yang disebut sento.
Mayoritas onsen membuat tempat berendam terpisah antara lelaki dan perempuan atau dibedakan jam penggunaannya. Walaupun demikian, beberapa onsen tradisional ada juga yang digunakan bersama lelaki dan perempuan.
Bagi orang asing, tradisi ini mungkin aneh. Berendam tanpa busana di kolam besar dengan orang yang tidak dikenal. Tidak semua orang asing tertarik melakukannya. Dalam kunjungan ke Jepang sebelumnya, saya tidak mencoba onsen. Namun, kali ini, saat berkunjung ke Himeji pada minggu kedua bulan Maret 2018, saya mencobanya.
Pemerintah Kota Himeji, sebuah kota di Prefektur Hyogo, sekitar 2,5 jam dari Osaka, memang mengundang beberapa wartawan dari Jakarta untuk memperkenalkan kota mereka. Maklumlah, orang Indonesia yang melancong ke Jepang lebih sering pergi ke kota besar seperti Tokyo atau Kyoto.
Hotel Relaxia Mineyama di Kamikawa, sekitar 1,5 jam berkendara ke arah utara dari kota Himeji, memiliki fasilitas onsen. Hotel kemudian meminta kita membawa kunci kamar dan handuk untuk memastikan bahwa kita adalah tamu dari hotel tersebut.
Menikmati onsen pun ada etikanya. Sebelum masuk ke kolam, demi kebersihan, orang yang mau berendam harus mandi terlebih dahulu. Sabun dan sampo telah tersedia. Membersihkan diri sebelum masuk ke kolam tampaknya bagian terpenting dari tradisi ini.
Biasanya, di onsen, orang Jepang mandi sambil duduk, bukan berdiri. Mereka juga mandi di ruangan yang besar tanpa sekat sama sekali.
Kegiatan yang kemudian dilakukan di onsen adalah berendam, bukan untuk mandi membersihkan diri. Dengan demikian, ritual membersihkan diri ini penting demi kenyamanan bersama.
Handuk yang diperbolehkan ke area kolam, juga handuk kecil untuk mengelap keringat. Handuk ini pun tidak boleh dimasukkan ke dalam kolam, apalagi diperas di dalam kolam. Orang Jepang meletakkan handuk kecil ini di atas kepala.
Sama sekali tidak diperbolehkan memakai pakaian renang saat berendam di dalam kolam karena dianggap akan mengotori kolam. Jadi, jangan berharap dapat cuci baju di kolam itu, ya.
Mereka yang berambut panjang sebaiknya memakai penutup kepala untuk menghindari rambut rontok sehingga kolam tetap bersih.
Di area onsen, ternyata tidak ada yang peduli pada bentuk tubuh satu sama lain. Tidak perlu khawatir dengan tatapan aneh dari orang lain. Ketelanjangan dianggap hal alami. Tidak ada orang yang mengecek satu sama lain, apakah memiliki selulit atau tidak. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Di dalam kolam tidak diperkenankan berbicara satu sama lain dengan suara keras. Berendam di kolam merupakan saat untuk berkontemplasi, menikmati kehangatan air dengan keheningan. Jadi, berswafoto akan dinilai sebagai hal aneh.
Kolam air panas ini juga bukan tempat untuk berenang. Jadi, pengunjung hanya berendam dengan tenang sambil menikmati kehangatan air kolam dan lingkungan sekitar.
Bagi orang Jepang, berendam telanjang bersama-sama maknanya dalam. Berendam bersama ternyata meniadakan hierarki, sekaligus membangun keakraban. Tradisi ini penting di Jepang yang adalah kekaisaran.
Hotel Relaxia yang saya kunjungi terletak di pegunungan. Hotel itu pun mempunyai fasilitas onsen di dalam dan di luar ruangan.
Ketika saya melangkah memasuki onsen, ternyata sudah ada beberapa orang di sana. Orang Jepang tidak terbiasa menyapa orang asing yang tidak dikenal. Jadi, semua orang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Ada yang membasuh diri, ada pula yang masuk ke dalam ruang sauna. Suasana hening. Tidak ada yang bercakap-cakap dengan keras.
Kelelahan setelah seharian beraktivitas seolah hilang larut menyatu dengan air panas di onsen. Air panas membuat pori-pori kulit terbuka dan keringat yang mengucur membersihkan kotoran yang ada di kulit. Kotoran yang mungkin saya bawa dari Jakarta.
Di dalam ruangan besar itu, hanya ada suara gemercik air. Teman-teman onsen saya hanya duduk berendam dalam diam sembari menatap tembok. Sesekali memercikkan air panas ke wajah atau ke bahu, lalu mengelapnya dengan handuk kecil.
Setelah puas berendam sekitar 15 menit di kolam dalam ruangan, saya memutuskan untuk berendam di kolam luar ruangan. Malam itu, suhu sekitar minus 3 derajat celsius. Angin kencang menderu terkadang menerpa wajah, sedangkan salju turun di atas kepala. Sementara dari leher ke bawah, air panas gunung di kolam itu mencapai 40 derajat celsius.
Setelah berendam selama 30 menit, salju semakin turun dengan deras. Hari pun sudah hampir berganti. Saya memutuskan untuk kembali berendam di kolam dalam ruangan.
Selesai berendam, saya tidak lagi membilas diri, toh kolam itu bersih. Memang disarankan untuk tidak lagi berbilas karena akan menghilangkan mineral-mineral yang berkhasiat bagi kesehatan.
Beberapa hotel menyediakan juga ruang sauna untuk melengkapi ruang mandi besar ini. Selain itu, tersedia juga pengering rambut, losion pelembab wajah dan tubuh. Jangan lupa juga minum setelah berendam untuk menggantikan keringat yang keluar.
Orang yang memiliki tato ternyata dilarang masuk ke onsen. Tato ternyata juga merupakan hal yang tidak biasa dalam tradisi Jepang. Saya baru tahu hal itu. Terlebih lagi, orang dengan tato akan dicurigai sebagai anggota Yakuza, mafia Jepang.
Orang asing sering pula dilarang masuk onsen hanya karena bertato. Adapun tato kecil dapat diakali dengan ditutup plester, tetapi orang asing yang memiliki tato besar, seperti sepanjang lengan, kemungkinan besar akan dilarang masuk ke onsen.
Berkimono ke benteng
Tidak hanya mencicipi pengalaman berendam di onsen, saya juga menjajal memakai kimono. Bagi saya, ini adalah pertama kalinya saya memakai kimono.
Kami diajak ke tempat penyewaan kimono di kawasan Miyuki-dori, Himeji. Seperti toko pada umumnya, toko tersebut tidak terlalu besar, tetapi penuh dengan berbagai macam kimono. Harga sewa kimono sekitar 3.980 yen atau Rp 500.000-an untuk pemakaian selama beberapa jam.
Satu per satu kami memilih kimono mana yang mau dipakai. Semua cantik. Semua indah. Kami sampai bingung memilihnya. Lalu, kami diminta memakai kaos kaki putih yang khusus digunakan ketika memakai kimono.
Semua cantik. Semua indah. Kami sampai bingung memilihnya.
Kimono ternyata berlapis-lapis. Lapisan pertama adalah baju dalam berwarna putih dengan kerah bercorak. Baju ini terdiri dari baju atasan dan bawahan. Setelah itu baru dipakaikan kimono yang kami pilih.
Panjang kimono hampir selalu melewati kaki, tetapi panjangnya dapat disesuaikan dengan tinggi penggunanya. Setelah itu, pinggang diikat dengan tali pertama. Kimono lalu ditekuk untuk menyesuaikan dengan tinggi pemakainya.
Setelah tali pertama, pinggang diikat dengan tali kedua yang lebih besar. Setelah itu, baru diikat dengan obi, sabuk besar berwarna-warni.
Menurut tradisi Jepang, perempuan terlihat lebih cantik ketika memakai kimono yang lurus dari bahu hingga pinggang. Tidak heran, jika pinggang pemakainya dianggap terlalu kecil, pada bagian pinggang dapat ditambah handuk agar tubuh pemakainya terlihat semakin berisi.
Kemudian, rambut kami diikat dan diberi bunga. Tidak selesai sampai di situ, kami pun diminta memilih tas dan sandal yang akan digunakan.
Mau bepergian ke mana dengan kimono? Kami memilih mengunjungi Benteng Himeji yang terletak sekitar 1,5 kilometer dari toko penyewaan kimono.
Berjalan dengan kimono tidak jauh berbeda dengan berjalan mengenakan kain dengan adat Jawa. Hanya saja, bagian bawahnya sedikit lebih longgar meski kami tetap sulit untuk berlari.
Dari halaman benteng, jalan sudah menanjak. Benteng Himeji merupakan banteng terbesar dari lima benteng pertahanan lain yang masih tegak berdiri di Jepang. UNESCO memberikan predikat sebagai warisan budaya kepada Benteng Himeji.
Rombongan kami pun terus berjalan sambil mendengarkan keterangan dari pemandu wisata. Sambil menjelaskan sejarah Benteng Himeji, pemandu wisata kami bertanya, apakah kami mau masuk atau tidak. Sepakat kami mengangguk, apalagi sudah jauh-jauh ke Himeji.
Ternyata, tanpa kami duga, banyak sekali tangga di bagian dalam benteng. Walau pada musim semi udara tidak terlalu panas, ternyata berjalan di tangga sempit sangat menguras tenaga. Keringat mulai mengucur dan nafas mulai tersengal-sengal.
”Ini baru lantai satu, apa mau naik lagi? Masih ada lima lantai lagi,” tanya Taki-san, penerjemah kami yang pernah tinggal beberapa tahun di Salatiga dan Jakarta. Dia memperlihatkan foto denah Benteng Himeji. Kepalang tanggung, kami pun mengangguk.
Padahal, jujur saja, tidak mudah berjalan dengan kimono dan sandal benteng. Kami bahkan tidak sekadar berjalan, tetapi juga naik turun tangga. Sebelumnya, kami juga harus menukar sandal dengan sandal benteng agar menjaga kelestarian dan kebersihan lantai benteng. Sandal benteng berbentuk selop ini lebih sulit digunakan.
Namun, kami sudah berada di Benteng Himeji. Tidak puas jika hanya duduk-duduk lalu berfoto di luar benteng. Akhirnya, dengan tertatih-tatih dan mengangkat kimono, kami sampai juga ke lantai enam, lantai paling atas dari bangunan utama Benteng Himeji.
Di lantai enam, pemandangan kota sore itu terlihat jelas. Kami pun dapat melihat kawasan Stasiun Himeji, yang pada masa lalu merupakan parit pertama dari tiga parit pertahanan Benteng Himeji.
Di lantai enam benteng, juga terdapat kuil yang ramai dikunjungi. Banyak orang berdoa sambil menarik tali lonceng, lalu memasukkan uang ke dalam kotak yang tersedia di situ.
Setelah puas berkeliling benteng, kami kembali turun. Tidak mudah juga karena tangga kayu yang curam dan sempit. Tetapi, segala kelelahan itu seolah terbayar dengan pengalaman menarik ini.
Berendam di onsen, memakai kimono, menambah pengalaman ketika berada di Jepang. Saya jadi ingat pepatah, ketika berada di Roma, berlakulah seperti orang Roma.