119 Jam Berlayar dengan KM Amboina Star
Kapal Motor Amboina Star meninggalkan Pelabuhan Slamet Riyadi, Kota Ambon, Provinsi Maluku, pada Minggu (8/4/2018) tepat pukul 16.00 WIT. Kapal berusia lebih dari 30 tahun, yang belakangan saya tahu pernah terbakar itu, berlayar menuju Pulau Obi, Maluku Utara.
Tumbuh di daerah pesisir dan kepulauan, saya tentu tidak asing dengan pelayaran rakyat. Namun, firasat saya mengatakan, inilah pelayaran rakyat terlama yang akan saya alami.
Firasat saya mengatakan, inilah pelayaran rakyat terlama yang akan saya alami.
Firasat itu didukung laju kapal yang hanya 8 knot saat membelah Teluk Ambon yang hari ini sebenarnya tenang. Delapan knot itu setara 14,8 kilometer per jam! Padahal, laju sepeda orang yang bike to work itu rata-rata 25-35 kilometer per jam.
Mendekati Tanjung Alang, kapal kembali melambat. Gelombang dan arus laut di Tanjung Alang dan Tanjung Nusaniwe memang tak ramah bagi pelayaran. Bahkan, ada mitos tentang kekuatan magis di dua tanjung ”penjaga gerbang” Kota Ambon itu.
Lambannya laju kapal di Tanjung Alang jelas memberi pesan tentang redupnya kekuatan KM Amboina Star. Padahal, hari itu Amboina Stari mengemban misi untuk mengangkut 38 penumpang, 10 awak kapal, dan 20 ton barang menuju Pulau Obi.
Selain mesin diesel yang sudah tua, kapal berbobot 140 gros ton itu ternyata belasan tahun silam pernah terbakar dengan hanya menyisakan lambung. Kisah itu baru saya dapat dari seorang awak kapal. Saya kaget. ”Kalau ini angkutan darat, lebih baik saya turun,” ujar saya di dalam hati.
Daripada cemas memikirkan kapal ini, saya keluar dari dalam ruang kapal di dek satu yang pengap untuk mencari udara segar. Ternyata, di dek satu, barang dan penumpang saling tumpuk. Bunyi mesin dan olengan kapal mulai membuat saya mual. Belum lagi, aroma palka, bau durian, dan bau solar campur aduk.
Saya kemudian bergeser ke dek dua. Ternyata, di dek itu tidak lagi tersisa tempat duduk. Dua bangku panjang yang melintang dekat cerobong asap dipenuhi beberapa pria yang asyik merokok.
Mereka tak peduli dengan Wilhelmus Pou (77), penumpang sakit yang terbatuk-batuk akibat asap itu. Wilhelmus sebenarnya telah menyewa kamar ABK kapal, tetapi memilih keluar kamar lantaran kamar yang pengap. Saya lalu menjauh dari pria-pria perokok itu.
Pemandangan laut Maluku yang tanpa setitik pun daratan kemudian menghibur saya. Ketika kaki langit mulai kemerahan pertanda senja perlahan pergi menjemput malam, saya langsung mengabadikan detik-detik tenggelamnya matahari ke dalam laut.
Malam tiba. Perlahan, kapal berbelok ke kanan menuju Laut Seram, pembatas dua provinsi rempah itu. Angin pun semakin kencang, gelombang mulai berkecamuk menghadang haluan.
Seizin kapten kapal Sadam Romkeny, saya boleh beristirahat di ruang kemudi. Ruang itu gelap. Ternyata, supaya tidak silau, lampu di ruang kemudi dimatikan. Saya pun diminta tidak menghidupkan sumber cahaya apa pun. ”Sekitar belasan jam lagi, baru bisa lihat daratan,” kata Sadam.
Di ruang kemudi itu ada saya, Sadam, dan para anak buah kapal yang bergantian menjadi juru mudi. Nyaris 24 jam, Sadam selalu sigap di ruang kemudi. Itu untuk mengantisipasi jika ada perjumpaan dengan kapal lain.
Mengapa harus bergantung kepada Sadam? Ternyata, hanya dia yang memahami sistem navigasi, termasuk bagaimana membaca lampu isyarat dan berbicara melalui radio. Dari sepuluh awak kapal, hanya Sadam yang punya ijazah laut.
Di ruang itu, saya tidur beralaskan kasur lusuh, yang berusia puluhan tahun. Kasur-kasur itu biasanya diseret di lantai kapal, pinggir kapal, dan dekat kamar mandi. Belum lagi, kasur itu sudah ditiduri ratusan ribu penumpang. Namun, saya nyaris tidak punya pilihan.
Ruang kemudi juga penuh dengan asap rokok. Bagi para awak kapal, rokok seolah adalah doping penambah tenaga yang juga sanggup membuat mereka terjaga sepanjang malam. Beruntung, saya membawa masker untuk menghalau asap.
Terlepas dari itu semua, tidur di atas kasur di dalam ruang kemudi adalah pilihan terbaik. Ruang kemudi adalah ruang VIP di kapal itu. Akhirnya, saya terlelap.
Walau demikian, beberapa kali saya tersadar saat haluan dihardik gelombang yang agak kuat. Tinggi gelombang memang tak sampai 1,5 meter, tetapi kondisi kapal tua itu membuat saya khawatir. Saat saya terbangun dan melihat haluan kapal, juru mudi pun tertawa. ”Masih jauh. Tidur lagi,” ujar Engki, sang juru mudi.
Saya terbangun saat fajar menyingsing. Apabila sebelumnya saya memotret detik-detik terbenamnya matahari, kali ini saya ikut menjemput matahari pagi. Namun, daratan Pulau Obi masih jauh.
Perut sudah keroncongan. Tidak ada penjual makan di kapal. Saya kemudian memakan biskuit dan minum air mineral. Kapal itu sesungguhnya menyediakan air panas, tetapi sudah habis dipakai penumpang lain. Siapa cepat, dia dapat. Begitulah hukum di atas kapal penumpang.
Sekitar pukul 14.00, kami tiba di Desa Wooi, perhentian pertama yang berjarak sekitar 150 mil laut atau 277,8 kilometer dari Ambon. Kapal berlabuh di lepas pantai karena tidak ada dermaga. Penumpang dan barang dijemput dengan perahu motor ataupun perahu dayung.
Kondisi serupa juga terlihat di beberapa desa berikutnya, seperti Fluk dan Bobo. Tanpa infrastruktur dermaga tentu ada biaya lebih untuk berpindah kapal menuju daratan. Namun, itulah kondisi yang terjadi. Apabila Amboina Star memaksakan diri mendekati pesisir, justru dapat saja karam.
Hari itu, kami bermalam di Desa Wayaloar, di pesisir selatan Pulau Obi. Desa itu kebetulan memiliki dermaga. Kapal pun ditambatkan di dermaga. Penumpang yang masih melanjutkan perjalanan tidur di dalam kapal.
Di Wayaloar, saya akhirnya mandi setelah diajak Sadam ke rumah salah satu warga. Keesokan harinya, sekitar pukul 09.00, kami kembali berlayar menuju pesisir utara Pulau Obi.
Ironi Obi
Saat kami berlayar, laut teduh. Namun, pikiran saya tidak teduh. Saya melihat sebuah ironi. Di sisi selatan hingga barat pulau terdapat banyak perusahan nikel. Tanah Obi dikeruk dan hasilnya dibawa pergi. Di sisi lain, infrastruktur dasar di Obi memprihatinkan. Banyak desa, misalnya, tidak mempunyai dermaga. Jalan antardesa tiada. Juga belum ada infrastruktur listrik dan jaringan telekomunikasi.
Di sekitar lokasi tambang juga tak ada bank. Warga yang ingin mengirim uang untuk anak mereka yang kuliah atau sekolah di kota harus menumpang kapal ke Desa Laiwui di sisi utara pulau. Ongkos pelayaran selama sembilan jam itu Rp 100.000 per orang. Hanya sekadar ke bank, minimal butuh ongkos pergi pulang Rp 200.000 per orang.
Sebelum berlayar, Alexsius Nama, tokoh masyarakat Wayaloar yang menjamu saya sarapan pagi di rumahnya, mengisahkan banyak hal tentang Pulau Obi. Salah satunya tentang kayu keras besi di Obi yang sudah dibabat habis. Saya sempat tidak percaya, tetapi setelah melihat dengan mata kepala sendiri, saya menjadi sedih.
Laiwui merupakan pelabuhan terakhir yang disinggahi KM Amboina Star. Saya sempat berkeliling Desa Laiwui dan mendatangi rumah sakit tipe D. Rumah sakit itu diperkuat dua dokter umum dan tanpa dokter spesialis. Fungsinya tak lebih dari puskesmas rawat inap.
Kehidupan awak kapal
Dari Laiwui, kapal berlayar pulang menuju Ambon setelah kembali bermalam di Wayaloar. Kali ini terdapat 50 penumpang dan 60 ton barang yang umumnya kopra. Pulau Obi merupakan penghasil kopra di Maluku Utara. Namun, warga memilih menjual ke Ambon karena lebih dekat daripada dijual ke Ternate di Maluku Utara.
Dalam perjalanan kembali ke Ambon, saya banyak ngobrol dengan Sadam dan anak buah kapal. Ternyata pendapatan mereka berdasarkan sistem bagi hasil setelah dikurangi ongkos sekitar Rp 15 juta per satu kali perjalanan. Jika pendapatan dari penumpang di bawah ongkos, mereka tak dapat membawa pulang uang.
Untuk menyambung hidup, mereka pun berutang kepada bos yang merupakan pemilik kapal. Bicara soal kehidupan, hidup anak buah kapal juga tidak terjamin karena tak ada asuransi keselamatan.
Di balik itu, mereka punya banyak kisah lucu yang tiada habisnya. Mulai dari para anak buah kapal yang punya pacar di tiap pelabuhan hingga bos yang galak. Mereka bahkan menyamakan bos mereka seperti pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, yang terkenal keras.
Sekali waktu, telepon berbunyi. Sang bos ternyata menelepon. Seorang ABK sontak berteriak, ”Kim Jong Un telepon. Tenang, jangan ribut.” Padahal, angin laut terdengar menderu belum lagi suara mesin diesel yang keras.
Di atas kapal, kami juga berbagi. Setiap kali singgah di pelabuhan, misalnya, kami selalu membeli aneka makanan yang dijual para ibu. Kami berbagi dan makan bersama di atas kapal.
Saat makan, kapten kapal sering menasihati ABK yang lalai atau tidak menjalankan tugasnya dengan baik saat kapal sandar. Makian memang sering terdengar ketika kapal sandar. Proses sandar memang sangat penting karena jangan sampai kapal bertabrakan dengan kapal lain atau menghantam dermaga. Kapten juga menyampaikan permohonan maaf kepada para ABK.
KM Amboina Star kembali sandar di Pelabuhan Slamet Riyadi, Ambon, pada Jumat (13/4/2018) sekitar pukul 15.00. Artinya, saya berlayar bersama kapal itu selama lebih kurang 119 jam—nyaris lima hari, dengan jarak tempuh sekitar 420 mil laut atau setara 672 kilometer.
Padahal, di Jawa, jarak 672 kilometer hanya setara dengan jarak Jakarta-Madiun. Dengan kereta api, jarak itu dapat ditempuh hanya dalam 10 jam!
Berlayar bersama KM Amboina Star, saya jalani sebagai bagian dari liputan khusus bertema ”Perlayaran Rakyat” yang terbit di harian Kompas pada 16-19 April 2016. Lewat pelayaran ini, saya jadi memahami kisah para pengguna pelayaran rakyat, penunggang gelombang, dan kehidupan masyarakat pesisir yang penuh dengan ironi.
Kehidupan di negara maritim itu berat, jangan biarkan mereka terus sendirian.