Mengejar Pertunjukan Dambus sampai Masuk UGD
Sebuah peliputan tidak selamanya berjalan mulus. Meski rencana sudah disusun matang, kerap ada kendala. Kali ini, dalam Ekspedisi Alat Musik Nusantara banyak kisah menyertai perjalanan kami. Mulai dari hujan, petir, pesawat yang batal terbang, hingga harus masuk unit gawat darurat di puskesmas gara-gara tangan teriris karang.
Tim Ekspedisi Alat Musik Nusantara Kompas kali ini, di medio Mei 2018, berkelana di Kepulauan Bangka Belitung. Khususnya Bangka, dengan alat musik petik khasnya yang disebut dambus.
Bagi kebanyakan orang, dambus dapat dibilang asing. Gambus bahkan jauh lebih dikenal. Dalam buku Gambus, Citra Budaya Melayu yang ditulis oleh Musmal, gambus adalah alat musik petik Melayu dari peradaban Islam di Timur tengah. Dalam bahasa Arab disebut ufd atau oud.
Karena kemiripan nama itu, dambus akhirnya kerap disalahmengertikan dengan gambus.
Perjalanan kami ke Bangka tak lain untuk mengungkap berbagai hal tentang dambus. Mencari tahu sejarahnya dan memotret seperti apa perkembangannya saat ini. Begitu pula relasinya dengan gambus.
Dari awal, kami telah memperkirakan perjalanan ini cukup menantang. Terlebih lagi, tidak terlalu banyak sumber tentang dambus dalam literatur-literatur yang berseliweran di dunia maya. Tidak banyak pula buku atau hasil penelitian. Kesimpulan sementara, dambus belum terlalu banyak dikenal orang.
Tim peliputan dambus terdiri dari Dwi As Setianingsih (reporter), Wisnu Dewabrata (reporter), Priyombodo (fotografer dan videografer), dan Andri Reno Susetyo (grafis).
Selama peliputan di Bangka, kami dibantu Kevindra Ramadhani (25), seorang musisi muda asal Pangkal Pinang, penggagas Komunitas Cak Macak. Kevin dan komunitasnya kerap mengawinkan dambus dengan alat-alat musik dan komposisi modern. Dengan wajah barunya itu, diharapkan dambus akan lebih menarik bagi anak-anak muda Bangka.
Pergaulan Kevin yang cukup luas di kalangan seniman dan birokrat sangat membantu kami dalam peliputan. Selama enam hari di Pangkal Pinang dan sekitarnya, kami banyak berjumpa dengan pemain dambus baik senior maupun yunior, perajin dambus, hingga sejarawan.
Mata dan telinga kami pun puas menikmati permainan dan alunan dambus yang kental cita rasa Melayu itu.
Namun, tak seluruh liputan berjalan sempurna. Minggu (13/5/2018), misalnya, kami meluncur dengan penuh percaya diri ke Dusun Limbung, Desa Jada Bahrin, untuk meliput ritual mandi belimau menyambut datangnya bulan Ramadhan. Informasi yang kami peroleh, di acara itu biasanya dambus dihadirkan sebagai hiburan.
Dalam perjalanan menuju Limbung, kami sudah curiga karena tak ada keramaian di jalan menuju lokasi. Setelah tiba di lokasi dan kami tak menemukan acara yang dimaksud, kami pun sibuk bertanya-tanya kepada warga setempat.
Rupanya, sejak tahun 2017, mandi belimau sudah dipindah ke kawasan Makam Depati Bahrin di Dusun Lubuk Bunter, Desa Kimak. Lokasinya lumayan jauh tetapi kami tak menyerah karena berniat mendapatkan liputan dambus yang dipertunjukkan di depan khalayak.
Ketika tiba di lokasi, ternyata hujan lebat telah mengguyur lokasi. Padahal, ritual inti mandi belimau hendak dimulai di atas panggung. Ritual ini berupa menyiram atau mengguyur air yang sudah dibubuhi limau (jeruk) sebagai simbol kesucian menyambut datangnya Ramadhan.
Tertarik merasakan sensasi mandi belimau, Wisnu ikut mengantre.
Prinsip show must go on tampaknya menjadi pegangan panitia. Ritual pun tetap berlangsung. Bergantian warga mengantre untuk mendapatkan siraman air limau dari Kyai Haji Ilyasa dari Pondok Pesantren Ilzamun Maju Bahrin.
Tertarik merasakan sensasi mandi belimau, Wisnu ikut mengantre. ”Hitung-hitung sekalian bersuci menyambut Ramadhan,” ujar Wisnu. Perjalanan kami ke Bangka-Belitung memang beririsan dengan dimulainya bulan Ramadhan. Puasa pertama Ramadhan tahun ini memang dilakoni di Bangka.
Rupanya, tak ada dambus di hari itu. Menurut panitia, karena lokasi mandi belimau di kawasan makam, suara keras harus dihindari. Dengan sedikit kecewa, kami pulang dengan tangan hampa.
Meski pada Minggu malam, kami masih punya kesempatan meliput dambus di acara debat publik pilkada Pangkal Pinang yang digelar di Hotel Swiss Bell. Artinya, masih ada harapan kami akan punya foto saat dambus dimainkan di depan publik.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Menjelang malam, kami mendapat kabar bahwa acara KPU terbatas hanya untuk 50 undangan dan disiarkan langsung oleh salah satu televisi nasional. Ribet kalau kami ikut-ikutan nyempil di sana. Tanpa berdebat panjang lebar, kami pun mundur teratur memilih beristirahat di malam itu.
Sungguh hari Minggu itu menjadi hari kelabu. Beruntung, dua hari pertama menjejakkan kaki di Pangkal Pinang, kami sudah mendapat cukup banyak liputan.
Hujan dan petir
Walau gagal mendapat foto saat dambus ditampilkan di tengah publik, kami tak menyerah.
Kami malah makin bersemangat. Apalagi, fakta-fakta baru bermunculan. Salah satunya adalah kami mendengar dambus kerap dimainkan di ladang sebagai hiburan dan pelepas lelah bagi pemainnya.
Dengan bantuan Kevin, kami pun menelusuri kediaman Mang Abusar, pemain dambus yang tinggal di Kampung Dul. Mang Abusar dikenal kerap memainkan dambus di gubuknya di tengah ladang.
Sayangnya, cuaca Bangka tak menentu, cepat berganti antara panas dengan hujan. Dua kali rencana kami gagal untuk menemui Mang Busar—panggilan dari Mang Abusar–kandas karena mendung dikhawatirkan akan membuat hasil foto tak maksimal.
Persoalan tambah rumit karena kami tidak tahu nomor telepon Mang Busar. Akibatnya, kami untung-untungan saja mencari Mang Busar. Kami lalu mencari rumah ladangnya yang lokasinya cukup tinggi di tengah guyuran hujan. Ternyata, Mang Busar justru sudah pergi ke ladang yang posisinya jauh lebih tinggi dibandingkan rumah ladangnya tersebut.
Hambatan kami sebenarnya tak hanya hujan, tetapi juga petir. Situasinya bahkan mirip uji nyali. Kami merasa seolah dikejar-kejar petir ketika menuju SMAN 2 Pangkal Pinang. ”Tanah di Bangka ini mengandung timah, jadi petirnya senang sekali menyambar sampai ke tanah. Banyak kejadian orang tersambar petir di sini. Harus hati-hati kalau sedang hujan dan petir,” kata Kevin.
Terus terang, nyali kami sempat ciut melihat petir yang begitu banyak melintas di sepanjang perjalanan kami. Apalagi petir sempat menyambar tepat di depan mobil kami yang sontak membuat kami serentak mengucap astagfirullah keras-keras.
Pengalaman berada di jalanan dengan petir yang menyambar-nyambar rasanya akan menancap kuat dalam ingatan kami.
Batal terbang
Hari terakhir di Bangka yang cukup padat membuat kami menyusun strategi peliputan agar lebih efektif sebelum terbang ke Tanjung Pandan (Belitung) sekitar pukul 13.55. Tetapi lagi-lagi, rencana tak berjalan mulus. Selasa dini hari, informasi dari Garuda masuk ke telepon genggam yang mengabarkan pesawat kami ke Tanjung Pandan batal terbang, digeser satu hari kemudian.
Tentu saja, informasi itu merusak rencana kami. Janji untuk bertemu narasumber di Tanjung Pandan pun tidak bisa digeser. Begitu juga dengan seluruh akomodasi yang sudah disiapkan.
Akhirnya, kami sepakat naik kapal cepat. Untung saja, hari Rabu itu ada jadwal kapal dari Pangkal Pinang ke Tanjung Pandan. Tidak setiap hari ada jadwal Kapal Express Bahari yang melayani rute Bangka-Belitung.
Apa boleh buat, perjalanan yang seharusnya hanya ditempuh setengah jam dengan pesawat harus ditempuh selama 5 jam di tengah cuaca dan ombak yang sedang tidak bersahabat.
Kami hanya dua hari di Tanjung Pandan. Sebelumnya, kami mendapat informasi bahwa dambus di Belitung tidak terlalu berkembang seperti di Bangka. Pengalaman kami di Belitung menguatkan informasi itu.
Pada hari terakhir sebelum pulang ke Jakarta, kami sempat berjalan-jalan ke Pantai Tanjung Tinggi yang menjadi lokasi shooting film Laskar Pelangi. Tentu, bukan sekadar jalan-jalan karena videografer membutuhkan stok video lanskap Belitung sebagai pelengkap.
Mampir di UGD
Sungguh, kami terpesona oleh keindahan batu-batu karang yang menjulang tinggi. Walau tiba-tiba, kami mendengar teriakan. Wisnu ternyata terpeleset sehingga telapak tangannya teriris karang di beberapa titik.
Darah, yang mengucur keluar dari beberapa luka sayatan karang, membasahi telapak tangan kanan Wisnu. Kami sempat terpikir ada luka yang lebih parah karena tangan yang berdarah-darah itu.
Kami sempat terpikir ada luka yang lebih parah karena tangan yang berdarah-darah itu.
Kami bergegas mencari obat dan penutup luka sebelum meluncur ke UGD Puskesmas Tanjung Binga, yang lokasinya paling dekat dari pantai wisata itu. Wisnu segera ditangani petugas. Kami bersyukur lukanya tidak dalam sehingga tak perlu dijahit, cukup diberi salep antibiotik dan dibalut perban.
Menurut dokter jaga, kecelakaan akibat karang tajam kerap terjadi dan dialami wisatawan. Selain itu, mereka juga biasa menangani wisatawan yang terluka kakinya akibat menginjak landak laut (Diadema antillarum) atau yang biasa disebut juga bulu babi.
Sayangnya, dari pengamatan, dapat dikata kami tidak melihat adanya papan-papan pemberitahuan atau peringatan terkait bahaya karang atau kehadiran fauna seperti bulu babi.
Selain itu, fasilitas P3K di area wisata pun tak tersedia walau beberapa warung tenda di sekitar lokasi menjual plester luka dan cairan antibiotik. Tampaknya karena kerap ada kejadian, warung-warung tenda menyiapkan stok plester.
Kami kemudian bersyukur perjalanan dan penerbangan kami kembali ke Jakarta berjalan lancar walau bandara sempat diguyur hujan deras.
Bangka dan Belitung pun terkenang dalam ingatan kami. Tak hanya dambus dengan alunannya yang selalu membuat rindu, tetapi juga karena kekayaan kulinernya yang berlimpah dan keindahan alamnya yang memesona. (WISNU DEWABRATA)