Meliput Teror Bom Surabaya, Wartawan Pun Dicurigai
Teror bom yang menimbulkan korban jiwa terjadi Surabaya, Jawa Timur, Mei lalu, adalah tragedi bagi bangsa Indonesia. Bagi jurnalis yang bertugas meliput peristiwa seperti itu menjadi sebuah tantangan bercampur kengerian dan kesedihan menyaksikan horor berdarah tersebut. Kompas menerjunkan sejumlah wartawan dan pewarta foto meliput peristiwa teror tersebut.
Informasi terjadi teror bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB) di Jalan Ngagel Madya, Surabaya, masuk di grup Whatsapp pukul 07.29, Minggu (13/5/2018). Posisi kami saat itu sedang melihat Istighotsah dan Doa Bersama untuk Jatim Damai di halaman Kepolisian Daerah Jawa Timur. Lokasi teror bom sejauh 5,1 kilometer di timur laut kegiatan ibadah dalam rangka Hari Bhayangkara Ke-72 itu.
Kaki pun lemas dan tubuh gontai membayangkan kengerian horor berdarah itu.
Tanpa banyak pikir, kami mengambil langkah seribu. Gerak cepat tadi sempat membuat curiga seorang petugas. ”Mau ke mana kok kesusu (terburu-buru). Makan dululah,” katanya di gerbang keluar.
Setelah dijelaskan amat singkat telah terjadi teror bom, petugas itu membiarkan saya berlari menuju sepeda motor untuk pergi. Terdengar dua mobil melaju sambil menyalakan sirene.
Pukul 07.55, Kompas telah sampai di Gereja Katolik yang dibom itu. Sebelum dilarang memotret dan diusir menjauh, saya sempat mengabadikan beberapa foto terkini seusai ledakan. Betul saja, seorang petugas kemudian menangkap dan mendorong saya agar menjauh.
Garis polisi yang sempat dipasang di simpang empat, sekitar 25 meter di selatan gereja itu, kemudian dijauhkan sampai 25 meter lagi. Kami, beberapa jurnalis, yang tiba di lokasi berjalan mundur sambil terus memotret.
Yang tak disadari, di Jalan Ngagel Madya di selatan gereja ada benda-benda yang dilingkari. Ternyata, benda yang sempat terinjak itu adalah jaringan tubuh. Apakah milik pelaku teror bom atau korban?
Kaki pun lemas dan tubuh gontai membayangkan kengerian horor berdarah itu. Apalagi teror bom juga terjadi di Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, sekitar 3,1 kilometer di barat, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jalan Arjuno, sekitar 4,1 kilometer di barat daya dari lokasi berdiri.
Pukul 17.05, Jalan Ngagel Madya dibuka setelah blokade lebih kurang sembilan jam. Para jurnalis berebut memotret gerbang selatan Gereja SMTB yang luluh lantak akibat teror bom.
Sisa-sisa ledakan dan benang yang dibentangkan oleh tim penyidik untuk mengidentifikasi teror bom itu belum dibersihkan saat langit mulai gelap. Selepas memotret, saya bergegas kembali ke kantor di Jalan Raya Gubeng untuk membuat laporan.
Sepanjang peliputan di hari teror bom itu, saya tidak mengalami perlakuan tidak menyenangkan. Kami tahu diri dengan mengikuti permintaan petugas keamanan, misalnya tak melewati garis polisi. Sesekali bisa ”menyusup” dengan menjadi bagian dari rombongan pejabat tinggi yang datang ke lokasi untuk meninjau dampak teror bom.
Disuruh angkat tangan
Sehari berikutnya, pengalaman menegangkan itu kembali dialami wartawan Kompas saat terjadi teror di Polrestabes Surabaya. Senin (14/5/2018) pukul 08.55, saya sedang menyantap pecel campur Mbok Rah di kedai yang berjarak 50 meter di utara Gereja SMTB.
Pukul 09.10, usai sarapan, masuk informasi bahwa teror bom terjadi di Polrestabes Surabaya, berjarak 6,1 kilometer secara garis lurus di barat laut kedai tadi. Bergegas makanan dan minuman yang telah amblas ke perut itu dibayar dan segera menyalakan dan memacu sepeda motor ke lokasi teror bom.
Jangan mendekat! Angkat tangan! Kamu siapa? Mau apa ke sini? Pergi! Pergi!
Lebih kurang pukul 09.35, sepeda motor diparkir di depan warung di Jalan Sikatan. Sekitar 30 meter dari warung ada garis polisi yang dijaga empat petugas bersenjata. Saya coba mendekati garis polisi dengan kartu pers di dada dan menenteng kamera.
Saat itulah kemudian saya terkejut karena diminta berhenti dan angkat tangan. ”Jangan mendekat! Angkat tangan! Kamu siapa? Mau apa ke sini? Pergi! Pergi!” kata petugas itu dengan suara keras.
”Saya wartawan. Mau meliput, Pak,” ujar saya membalas dengan berteriak.
”Pergi kamu! Kami tidak bisa bedakan kamu pelaku atau wartawan. Pergi saja!” kata petugas itu membalas.
Saya membandel dan coba melangkah mendekat tetapi petugas berteriak dan mengubah posisi bersiap menghadapi serangan. Saat itulah saya menjadi tidak kuat berdiri. Diminta pergi, saya tak mampu bahkan untuk memindahkan kaki. Sempat bingung. Sejenak kosong.
Seorang petugas berpakaian bebas berlari mendekati saya, merangkul, dan meminta agar saya pergi. ”Pergilah Mas. Carilah tempat lain. Kami sedang sensitif karena ledakan tadi,” katanya dengan nada tegas tetapi terdengar lembut. Pernyataan itu mengembalikan saya ke kesadaran yang membuat bergegas pergi mencari titik lain pemantauan.
Saya berpindah ke Jalan Rajawali yang berbatasan dengan dinding utara Polrestabes Surabaya. Saya sempat memotret dari dekat suasana penjagaan di sisi utara kantor yang dibom itu sebelum diminta menjauh dari perimeter. Menunggu perkembangan, saya membeli segelas kopi hangat sambil menenangkan diri dan merenungkan apa yang sedang terjadi.
Kepada sejumlah rekan di grup Whatsapp, saya bercerita pengalaman kurang mengenakkan di Jalan Sikatan. Beberapa teman menelepon dan dengan nada bergurau mengingatkan saya untuk lebih berhati-hati dan tidak sembrono. Situasi teror bom jelas membuat sensitif dan meningkatkan kecurigaan antarmanusia. Benar apa yang dikatakan petugas itu bahwa sulit dibedakan siapa pelaku teror bom dan yang bukan. Teroris bisa saja menyamar menjadi jurnalis untuk berbuat biadab.
Diusir-usir
Semua orang dicurigai dalam peristiwa teror bom, termasuk para jurnalis yang tengah meliput. Itulah yang dialami wartawan Kompas lainnya. Beberapa saat sebelum misa pukul 08.00 di Gereja Roh Kudus, Surabaya, dimulai, tergerak hati untuk melihat ponsel. Begitu dibuka hampir semua grup Whatsapp ada informasi baru dan begitu dibuka seluruh isinya soal teror bom.
Pertama ada bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela Ngagel. Berselang 15 menit kemudian bom meledak lagi di Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro dan 15 menit kemudian bom meluluhlantakkan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuna. Di gereja terakhir ini diinfokan, puluhan terbakar setelah bom meledak di dalam gereja.
Sebelum memulai misa, romo membuka dengan kalimat, ”Mari kita berdoa bagi saudara kita, yang belum tahu pasti jumlahnya yang menjadi korban bom di STMB, yang baru beberapa menit lalu terjadi.” Begitu bom menerjang GPPS, saya memilih meninggalkan misa menuju GPPS. Langsung pesan ojek daring.
Ketika menunggu ojek tiba, saya masih melihat anggota polisi dan TNI yang sudah berada di pintu gerbang gereja dan mendengar perbincangan yang intinya minta misa dibubarkan segera karena berdasarkan informasi masih ada 25 gereja lagi akan diledakkan. Setelah mendapat penjelasan dari romo setempat, polisi dan TNI meninggalkan gereja dan saya meluncur menuju ke GPPS.
Jalan menuju GPPS ternyata lama karena Jalan Diponegoro sudah ditutup sehingga semua kendaraan berdesakan di Jalan Pandegiling. Setelah 15 menit, saya tiba di ujung Jalan Arjuna, persisnya Pasar Kembang dan Jalan Kedung Doro.
Garis polisi sudah dipasang sehingga tidak ada kendaraan bisa masuk ke Jalan Arjuna. Maka, saya pun jalan kaki sekitar 500 meter ke GPPS. Setiap bertemu petugas polisi, TNI, ataupun Linmas, pertanyaannya sama, ”Mau ke mana dan keperluannya apa ke lokasi bom.”
Ketika tiba di lokasi, bertepatan dengan petugas sedang membawa tiga kantong jenazah ke ambulans. ”Masih banyak di dalam. Kondisi tubuh rata-rata terbakar karena setelah bom meledak, mobil yang diduga bawa bom terbakar,” kata petugas sambil terus berlalu. Saya pun terus berusaha mendekati lokasi yang sedang dilakukan penyiraman oleh mobil pemadam kebakaran.
Saya sempat lolos hingga jarak 2 meter dari lokasi kejadian. Namun, tak banyak yang bisa direkam karena gereja berlantai lima itu sudah ditutup barisan kendaraan petugas, ambulans, dan mobil pejabat polisi.
Jarak dari lokasi sempat kian dekat ketika rombongan Gubernur Jatim Soekarwo, Pangdam Mayjen Arif Rahman, dan Kapolda Jatim Inspektur Jenderal Mahfud Arifin dengan mengenakan rompi anti bom tiba di gereja itu pada pukul 09.00.
Rombongan ini pun cuma 10 menit berada di lokasi karena dari pengeras suara terus diulang-ulang bahwa sebentar lagi akan dilakukan peledakan bom yang masih aktif sebanyak dua kali. Untuk itu, selain polisi tidak diperkenankan mendekati tempat kejadian.
Ibu ini keplek (kartu identitas berupa kartu pers) juga gak punya. Mau mendekat terus, mau cari mati apa?
Apalagi informasinya yang diterima dari mulut petugas, pelaku yang sudah meninggal masih memeluk satu bom dan satu lagi di tangannya dalam kondisi aktif. Untuk itu, semua orang yang ada di sekitar lokasi jika bukan polisi harus menjauh paling tidak 200 meter.
”Ibu ini keplek (kartu identitas berupa kartu pers) juga gak punya. Mau mendekat terus, mau cari mati apa? Kalau cari berita, semua akan diinformasikan dari Polda Jatim. Ayo selain polisi menjauh karena segera dilakukan peledakan bom,” begitulah selalu kalimat yang keluar dari mulut petugas yang juga berpakaian preman.
Jadi, lokasi memang benar-benar bersih dari kerumunan manusia selain petugas polisi yang juga terus melakukan indentifikasi. Sebelum Presiden Joko Widodo tiba di GPPS, petugas sudah menuntaskan dua kali peledakan bom aktif yang tadi berada di tubuh pelaku.
Dikira teroris
Pascateror bom di tiga gereja dan Markas Polrestabes Surabaya, polisi seakan sangat waspada dengan orang yang berada di sekitarnya. Pengamanan di pusat perbelanjaan, kantor polisi, dan tempat pembuatan surat izin mengemudi diperketat. Semua orang yang masuk harus diperiksa satu per satu tanpa terkecuali.
Kamis (17/5/2018) atau tiga hari pascateror bom di Polresabes Surabaya, saya meliput pengamanan di kantor polisi dan Satuan Penyelenggara Admisnistrasi SIM (Satpas) Colombo. Di halaman Satpas Colombo sudah tertulis semua pengunjung dilarang membawa ransel dan jaket ketika masuk ke area pembuatan SIM.
Mundur kamu! Kamu yang pakai ransel keluar, jangan mendekat! Saya takut ini!
Sebagai pewarta, saya tidak mungkin meninggalkan ransel tersebut karena saya membawa peralatan liputan, seperti laptop, kamera, dan buku catatan. Dengan entengnya saya lalu mencoba masuk ke area pembuatan SIM. Tiba-tiba seorang polisi menggertak, ”Mundur kamu! Kamu yang pakai ransel keluar, jangan mendekat!” kata seorang polisi.
Saya kaget karena polisi mengira saya seorang teroris yang membawa bom. Saya lalu berteriak bahwa saya seorang wartawan sembari mengeluarkan tanda pengenal yang saya bawa.
”Mas, saya juga takut ini kalau ternyata ada teroris masuk. Apalagi saya tidak membawa senjata api, hanya pengeras suara yang saya bawa,” kata seorang penjaga di Satpas Colombo.
Bagi saya, pengalaman dicurigai sebagai teroris ini wajar. Sebab, pascateroris meledakkan diri di Polrestabes Surabaya, pengamanan di kantor polisi ditingkatkan. Siapa pun harus melewati pemeriksaan tanpa terkecuali.
Termasuk di Polsek Gubeng, di mana polisi menggunakan tali untuk membuka tutup gerbang secara manual. Video berdurasi 23 detik yang sempat viral itu sempat membuat kami tertawa karena kelucuannya. Dalam video itu, seorang polisi mengatakan bahwa itu adalah pintu otomatis antiteroris, tidak menggunakan tenaga listrik tetapi tenaga nasi pecel.
”Pengamanan di Polsek Gubeng memang lucu dan menarik,” kata Kabag Ops Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Bambang Sukmo Wibowo.
Meliput teror bom benar-benar melelahkan karena semua orang dicurigai oleh polisi sehingga membatasi ruang gerak untuk menggali sedalam-dalamnya informasi terkait bom bunuh diri itu. Wajar karena situasi memang tengah genting.