Menyusuri Pantura Bersama Pemudik Sepeda Motor
Jumlah pemudik sepeda motor tahun ini diprediksi mencapai 8,33 juta atau naik 30,44 persen dari tahun sebelumnya. Itu berarti, lebih dari sepertiga pemudik menggunakan sepeda motor untuk mudik. Adapun jumlah pemudik secara nasional tahun ini diprediksi sebanyak 19,5 juta.
Pemudik sepeda motor selalu mendapat perhatian Kompas. Hampir setiap tahun, tim liputan khusus Lebaran atau Mudik Gesit Harian Kompas membuat reportase tentang pemudik sepeda motor.
Dalam rangka reportase itu, Kompas menugaskan wartawannya untuk mengikuti pemudik sepeda motor. Wartawan yang ditugasi meliput juga mengendarai sepeda motor dari Jakarta, paling tidak sampai Cirebon, Jawa Barat.
Tahun ini, kebetulan saya yang mendapat tugas meliput mudik dengan sepeda motor. Bagi saya, ini pengalaman baru. Sejak bergabung dengan Kompas pada 2012, saya belum pernah mengikuti pemudik sepeda motor menyusuri jalur pantai utara (pantura) Jawa meskipun saya sudah tiga kali masuk tim liputan khusus Lebaran.
Saya diminta berangkat meliput pemudik sepeda motor, Sabtu (9/6/2018). Berdasarkan prediksi pemerintah, enam hari menjelang Lebaran atau H-6 merupakan puncak pertama arus mudik tahun ini. Puncak kedua arus mudik diprediksi terjadi pada H-2 atau Rabu (13/6/2018).
Mengingat ini pengalaman pertama meliput mudik dengan sepeda motor di jalur pantura, saya pun mempersiapkan diri sejak Jumat malam. Saya memastikan sepeda motor dalam kondisi laik jalan dan memiliki kelengkapan yang standar. Itu penting karena keselamatan tetap harus diutamakan. Jangan sampai niatnya meliput, tetapi malah diliput.
Sabtu pagi, cuaca cerah. Matahari bersinar terik. Ini hari bagus. Saya memang lebih suka melakukan perjalanan jarak jauh dengan sepeda motor dalam kondisi cuaca panas terik ketimbang hujan. Kalau hujan, perjalanan menjadi lebih berisiko.
Setelah bersiap jalan, saya mengecek rute sepeda motor dari Jakarta ke Cirebon lewat Google Maps. Dari Apartemen Permata Senayan ke Kota Cirebon berjarak 246 kilometer (km) dengan perkiraan waktu tempuh 5 jam 34 menit. Bagi saya, menempuh jarak sejauh itu dengan sepeda motor sudah cukup biasa. Hanya saja, bersepeda motor sejauh itu selama ini bukan di Jawa, melainkan di Kalimantan.
Tepat pukul 10.00, saya memacu sepeda motor menuju arah luar Jakarta melalui jalan arteri Kalimalang, Bekasi. Di Kalimalang, saya mulai menjumpai para pemudik sepeda motor. Mereka dapat dengan mudah dikenali karena kebanyakan membawa tas atau ransel berukuran cukup besar dan umumnya mengenakan sepatu, jaket, dan helm standar.
Tak jarang pula, pemudik sepeda motor memasang tiang kayu di jok belakang untuk menyangga tas atau barang bawaan mereka. Beberapa di antaranya membuat tulisan pada secarik kertas dan menempel tulisan itu di belakang barang bawaannya.
Begitu mendapati pemudik sepeda motor, saya coba membuntuti. Namun, ternyata tidak gampang. Mereka rata-rata memacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Meski berboncengan dan cukup sarat bawaan, mereka tetap bisa melaju dengan kecepatan di atas 80 km per jam. Pada H-6, jalur pantura memang belum ramai dilewati pemudik.
Saya kesulitan mengikuti pemudik yang melaju dengan kecepatan tinggi karena sepeda motor operasional kantor yang saya pakai kurang mendukung. Dipacu dengan kecepatan 80 km per jam, suara mesinnya meraung-raung serta menimbulkan getaran kuat pada setang kemudi dan pijakan kaki. Saya pun terpaksa harus mengurangi kecepatan karena tidak mau mengambil risiko.
Panas terik
Siang itu, panas terik. Jalur pantura ke arah Jawa Tengah didominasi sepeda motor. Tak terhitung lagi berapa banyak pemudik sepeda motor yang mendahului saya. Kendaraan minibus, bus, dan truk juga banyak yang mendahului.
Mobil-mobil itu kerap nyaris menyerempet saat hendak mendahului kendaraan di depannya. Tak jarang pula mereka membunyikan klakson keras yang mengagetkan. Tidaklah sulit bagi mereka untuk mendahului saya yang melaju dengan kecepatan tidak lebih dari 80 km per jam.
Dengan kondisi cuaca panas terik, memang lebih enak berjalan kencang. Terpaan angin setidaknya dapat sedikit mengurangi gerah. Dari telepon pintar, saya mengetahui suhu di pantura siang itu mencapai 35 derajat celsius. Belum lagi ditambah paparan polusi dari asap knalpot truk atau bus yang mengepul hitam pekat.
Melihat tak sedikit anak-anak yang dibawa orangtuanya mudik dengan sepeda motor, saya merasa iba. Sebab, saya yang dewasa saja ”teler” kena panas. Mudik dengan sepeda motor dalam kondisi cuaca panas terik terasa sangat melelahkan.
Sampai di wilayah Pamanukan, Kabupaten Subang, saya singgah di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Sebagian pemudik sepeda motor juga singgah di situ untuk beristirahat dan mengisi bahan bakar minyak (BBM). Saat itu jadi kesempatan untuk saling menyapa dan mengobrol dengan pemudik.
Sukron (36) yang hendak mudik ke Tegal, Jawa Tengah, mengatakan, mudik menggunakan sepeda motor lebih cepat dibandingkan dengan moda transportasi darat lainnya karena bisa dengan mudah menembus kemacetan. ”Kalau mudik sendirian pakai motor seperti tahun lalu, dari Karawang ke Tegal cuma sekitar 4 jam,” ujarnya.
Namun, mudik kali ini Sukron membawa istri dan putrinya yang berusia 7 tahun. ”Kalau bawa istri dan anak seperti sekarang, dari Karawang ke Tegal mungkin bisa 6 jam, bahkan lebih,” ujar Sukron yang bekerja di sebuah perusahaan industri di Karawang, Jawa Barat.
Menurut Sukron, mudik dengan anak dan istri menggunakan sepeda motor tidak bisa terlalu dipaksakan. ”Kalau anak sudah teriak, ya, harus berhenti untuk istirahat. Ini tadi baru jalan dua jam, anak sudah teriak,” ucapnya.
Bisa dimaklumi kalau setelah dua jam perjalanan, anak-anak sudah teriak. Selain kepanasan, tubuh yang berbalut peluh juga penat melewati jalan beraspal yang tidak mulus. Meski jarang menjumpai lubang di sepanjang jalur pantura, di sana-sini banyak tambalan aspal yang membuat permukaan jalan tidak rata dan bergelombang.
Tidak nyaman
Melewati jalan dengan kondisi seperti itu tidaklah nyaman. Apalagi, shockbreaker sepeda motor yang saya gunakan terasa keras dan memantul. Badan pun berguncang-guncang saat melewati jalan beraspal yang kondisinya tidak mulus.
Saat malam, lampu sepeda motor sering kali tiba-tiba mati akibat guncangan. Perjalanan pun terasa mengerikan saat melintasi daerah yang sepi. Apalagi, lampu penerangan jalan bertenaga surya di beberapa ruas pantura yang sepi juga tidak menyala.
”Dibandingkan tahun lalu, kondisi jalan pantura tahun ini lebih jelek. Jalannya banyak tambalan dan tidak mulus,” kata Agustina (34), pemudik asal Subang yang mudik dari Jakarta ke Purbalingga, Jawa Tengah, bersama istri dan anaknya.
Saya mengobrol cukup lama dengan Agus saat singgah di sebuah swalayan di Plumbon, Cirebon, sekitar pukul 21.00. Kami menepi dan singgah di swalayan itu karena tiba-tiba hujan. Meski membawa mantel, saya lebih memilih berteduh sambil menunggu hujan reda. Kebetulan hujan yang cukup lebat itu juga tidak lama, tak lebih dari setengah jam.
Agus bersama istri dan anaknya berangkat lebih dulu dari saya. Perjalanan mereka masih jauh, sedangkan saya tinggal berjarak sekitar 10 km dari Kota Cirebon. Jarak dari Cirebon ke Purbalingga masih lebih dari 150 km. Waktu tempuh yang diperlukan minimal 3 jam.
”Ini jalan saja dulu sekuatnya, enggak harus memaksa malam ini juga sampai Purbalingga. Kalau sudah kecapekan, mungkin tidur di jalan, bisa tidur di posko mudik atau di masjid. Besok baru lanjut jalan lagi,” tutur Agus sambil berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah Agus bersama Charti (30), istrinya, dan Ridho (7), anaknya, berangkat, saya duduk sejenak mencari penginapan melalui aplikasi Traveloka. Setelah mendapatkan hotel dan menyelesaikan pembayaran, saya berangkat ke Kota Cirebon, menuju hotel untuk beristirahat.
Saya masuk hotel pukul 22.00. Dengan begitu, berarti perjalanan Jakarta-Cirebon ditempuh dalam waktu 12 jam. Ini dua kali lipat dari waktu tempuh pada umumnya. Perjalanan saya menjadi lebih lama bukan karena macet, melainkan karena saya kerap singgah dan mengobrol dengan para pemudik sepeda motor. Sama seperti pemudik sepeda motor lain yang kerap singgah untuk melepas penat, apalagi mereka yang membawa anak-anak.
Perjalanan hari itu terasa panjang dan melelahkan. Setelah 12 jam hanya bisa duduk dan berdiri, saya baru bisa merebahkan tubuh di atas kasur. Tubuh juga sudah memberikan alarm untuk segera beristirahat. Lelah.
Perjalanan tentu saja belum berakhir. Lusa mesti kembali lagi ke Jakarta melewati jalan yang sama dengan sepeda motor yang sama.