Tegangnya ”Kompas” Saat Menyetir di Nashville, Amerika
”Sendirian? Boleh saya bergabung,” tanya Robert L Weitekamp dari Lexus Singapura. ”Tentu, mengapa tidak?” jawab saya. Ini untuk pertama kali saya mengemudi di Amerika Serikat. Kehadiran Robert, yang lahir dan besar di Florida, tentu akan membantu.
Tadinya, Rabu (6/6/2018) itu, saya akan mengemudi sendirian dari Hotel Kimpton Aertson, Nashville, hingga Gibson Custom, sebuah pabrik gitar di Elm Hill Pike. Jaraknya tidak jauh, kurang dari 6 mil atau sekitar 9,5 kilometer. Namun, ketika Robert ingin menemani, tentu saya tidak berkeberatan.
Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika, posisi setir di sisi kiri. Kebetulan, ini bukan pertama kali saya menyetir di sisi kiri. Sebelumnya, meski sudah bertahun-tahun silam, saya pernah mengemudikan mobil di Toronto, Kanada, walau tentu saja kembali dibutuhkan penyesuaian.
Selama beberapa menit, saya mencoba untuk membiasakan diri. Tentu ada hal-hal yang memang harus dibiasakan.
Ketika mencari tombol pengatur spion samping, misalnya, otomatis tangan kanan saya langsung bergerak. Dan, tentu saja tidak ketemu karena tombol itu ada di sisi kiri, menempel di pintu mobil. Sedikit terasa aneh ketika menggerakkan jemari tangan kiri untuk menyesuaikan posisi spion.
Mengendalikan navigasi pada peta di dashboard mobil dengan tangan kanan, sementara tangan kiri tetap memegang setir juga terasa kurang nyaman. Sebab, di Indonesia, kita melakukannya di sisi yang berbeda.
Ingin tahu rasanya? Coba saja Anda operasikan mouse, ’tetikus’, dengan tangan kiri. Atau, coba saja Anda mainkan telepon genggam dengan jari kiri. Bukan tidak mudah, tetapi lebih tidak terbiasa.
Ada kesan, terutama bagi saya, tangan kiri dirasa kurang kuat untuk menggenggam setir ketika tangan kanan menggerakkan tuas persneling atau memencet indikator tertentu di dashboard. Padahal, apa perlu setir digenggam erat-erat di jalanan di Amerika yang minim lubang?
Kehadiran saya di Nashville pun demi memenuhi undangan Lexus dalam acara bertajuk ”ES Global Lifestyle Press Launch 2018”. Kami diperkenalkan pada mobil terbaru New Lexus ES.
Tak sekadar mendengarkan penjelasan dari manajemen Lexus Internasional, kami diberikan kesempatan menjajal sedan Lexus generasi ketujuh yang belum secara resmi diluncurkan ini.
Hanya menyesuaikan diri kurang dari lima menit, saya langsung melaju. Terutama, karena teman-teman jurnalis lain dari beberapa negara di Asia juga telah melaju. Saya takut tertinggal rombongan.
Namun, berbeda dengan uji kendara di Indonesia, uji kendara di luar negeri ternyata tidak dikawal. Tidak dikawal oleh polisi, tidak juga dikawal oleh panitia. Kami tidak konvoi bersama. Pantas saja, rute perjalanan dan titik tujuan sudah diprogram di dalam sistem navigasi.
Awalnya, saya membuntuti mobil jurnalis lain. Saya melaju dengan mencoba membiasakan diri. Sedikit cepat berakselerasi, mengukur kedalaman rem, kemudian mencoba mengukur lebar mobil. Kalau biasanya saya harus memprediksi titik kiri terjauh, kali ini harus memprediksi titik kanan terjauh. Ekor mata kanan yang kali ini harus bekerja ekstra.
Namun, kurang dari 1 mil (sekitar 1,6 kilometer) dari hotel, mobil jurnalis yang melaju tepat di depan saya melenceng dari rute yang diprogram di sistem navigasi. Mobil itu salah mengambil jalur di sebuah bundaran dengan lima cabang jalan. Dia keluar terlalu cepat. Lebih cepat satu cabang.
”Biarkan saja dia. Kita ikut petunjuk dari GPS saja,” saran Robert. Saya terus melaju melintasi Jalan Demonbreun, kemudian berbelok ke kanan untuk bersiap bergabung dengan Interstate Highway (IS) 40.
IS 40 ternyata jalan interstate ketiga terpanjang di Amerika, yang membentang dari barat ke timur sepanjang 4.100 kilometer. Di barat dimulai dari Barstow, California, hingga Wilmington, North Carolina. Namun, pada hari itu, saya hanya akan ”mencicipi” IS 40 sejauh beberapa kilometer saja.
Jujur saja, dari hotel hingga menjelang IS 40, saya menyetir dengan sangat ”halus”. Mungkin berlebihan, tapi saya merasa mewakili Indonesia di hadapan Robert, bule yang bekerja di Lexus. Jadi, saya menyetir dengan pelan, hati-hati, seolah-olah sedang mengemudikan mobil dengan penumpang nenek saya sendiri, orang yang dituakan di keluarga, yang tahun ini berusia 90 tahun.
Saya ingin menanamkan impresi baik kepada Robert tentang pengemudi Indonesia. Saya mengerem dengan halus, sebaliknya mengakselerasikan mobil juga dengan sangat halus. Saya ingin memberi dia kesan bahwa orang Indonesia piawai dan sangat santun dalam mengemudi.
Saya ingin menanamkan impresi baik kepada Robert tentang pengemudi Indonesia.
Baru belakangan, saya tahu bahwa dia ternyata sudah pernah ke Jakarta dan ”takjub” dengan lalu lintas di Jakarta. Dia geleng-geleng kalau mengenang perilaku orang berkendara di Jakarta.
Jadi, dengan perlahan pula, saya bergabung dengan IS 40. Namun, begitu memasuki IS 40, Robert setengah berteriak, ”Go... go... go....”
Hanya dalam hitungan detik, saya melesatkan mobil itu hingga 70 mil per jam, batas kecepatan maksimum yang saya dengar dibolehkan di Interstate Highway. Untung saja, Lexus hibrida yang saya kemudikan diperkuat mesin dengan 218 PS, Pferdestarke, sehingga mudah dipacu.
Regulasi berkendara
Kenapa Robert memaksa saya melaju? Robert kemudian menjelaskan, ada batas kecepatan minimum di IS, yang kalau di Indonesia setara dengan jalan tol. Mengemudi dengan kecepatan terlalu rendah justru akan membahayakan pengendara lain, juga berpotensi ditilang polisi!
Waduh, saya baru tahu aturan itu. Jujur, sebelum berangkat, saya tidak membaca detail regulasi berkendara di Amerika. Karena asumsi awalnya, saya akan uji kendara dengan konvoi bersama.
Setelah saya baca, ternyata batas kecepatan di Interstate Highway adalah 55 mil per jam atau sekitar 88 kilometer per jam. Tidak heran kalau saya melihat truk kontainer melaju kencang.
Karena di Indonesia terbiasa melihat truk overload melaju pelan, terbiasa menyalip truk pasir, saya justru khawatir disalip truk-truk kontainer itu. Sempat bertanya-tanya, apakah mereka sanggup mengerem? Agak tegang juga saya dibuatnya.
Jadi, kurang dari 1 mil berkendara dengan setir kiri, kini saya telah melaju di IS 40 dengan kecepatan rata-rata 100-110 kilometer per jam. Penyesuaian yang sungguh dalam waktu singkat! Apalagi, kendaraan di kanan-kiri saya, baik kendaraan besar maupun kecil, sama-sama melaju kencang.
Dari sisi handling dan mesin sebagai penyokong untuk melaju, Lexus ES ini sungguh sangat membantu. Sulit untuk dicari kelemahannya.
Namun, di Jakarta, saya biasanya juga mengandalkan pendengaran. Hanya dengan mendengar, saya dapat menentukan posisi sepeda motor atau metromini, misalnya, di sisi kanan atau kiri belakang mobil. Pendengaran membantu saya bermanuver meski tentu tetap dengan memantau spion samping.
Hanya dengan mendengar, saya dapat menentukan posisi sepeda motor atau metromini, misalnya.
Kebiasaan itu sulit dilakukan saat mengemudi Lexus ES 300h ini. Mengapa? Karena kabinnya begitu senyap. Tahu-tahu, sebuah kontainer sudah menyalip dari sisi kiri―ingat, lajur kiri di Amerika justru untuk mendahului—seolah nyaris tanpa suara.
Bukan kontainer itu yang tanpa suara, melainkan desain Lexus ES ini yang membuat kita seolah menonton film bisu dari dalam mobil. Sebuah kesenyapan yang justru tampaknya bakal berharga apabila mobil ini ditumpangi di Jakarta yang hiruk-pikuk. Apalagi kalau kita lebih sering duduk di bangku belakang.
Dari IS 40, sistem navigasi mengarahkan saya untuk keluar di Fesslers Lane, Exit 212. Tadinya, saya berusaha membaca rute keluar, yakni Fesslers Lane. Namun, hal itu tidak mudah karena konsentrasi kita pasti terbelah antara mengamati pergerakan mobil lain, mewaspadai rambu batas kecepatan, dan membaca peta.
Namun, setelah saya amati, ternyata kita cukup mencocokkan antara nomor exit di navigasi sistem dan nomor exit di papan petunjuk di tepi jalan. Tidak perlu membaca nama tujuan. Penomoran ini memudahkan kita.
Penomoran ini juga ternyata mengacu pada jarak mil dari titik awal Interstate Highway. Untuk mencapai Bandara Internasional Nashville, misalnya, kita harus exit di 216A. Yang artinya, hanya 4 kilometer dari pintu keluar di Fesslers Lane.
Konsep jarak sebagai nomor exit juga ada di negeri kita. Coba saja melintas di jaringan Tol Lingkar Luar Jakarta. Konsep itu sudah dipakai. Namun, tidak standar kalau justru tidak digunakan di tol dalam kota Jakarta.
Begitu exit di Fesslers Lane, saya langsung mengurangi kecepatan karena papan petunjuk hanya memperbolehkan maksimal 30 mil per jam atau kurang dari 50 kilometer per jam. Kami memang akan melaju di jalan non-IS.
Regulasi berlalu lintas di Amerika sangat ketat. Dalam beberapa kilometer, misalnya, batas kecepatan maksimal dapat berubah-ubah, tergantung situasi. Pengemudi sungguh harus berkonsentrasi.
Di sisi lain, infrastruktur jalan di Amerika harus diakui dalam kondisi prima. Kalau di Eropa penggunaan kereta jadi tumpuan, di Amerika orang mengandalkan mobil. Dalam bukunya, Triumph of the City (2011), Edward Glaeser pun menulis sub-bab khusus soal ”Rebuilding America Around the Car”.
Glaeser juga mengangkat sosok Levitt bersaudara, pengembang perumahan Amerika pada tahun 1950-an. Levitt ketika itu punya passion untuk membangun rumah dengan harga terjangkau. Pilihannya adalah membangun di suburban dengan harga lahan yang lebih murah.
Levittown tentu diserap pasar. Konsep serupa ditiru oleh pengembang lain. Namun, karena warga tetap bekerja di kota, sejak saat itu warga Amerika sangat bergantung pada mobil. Ketergantungan yang diganjar dengan kehadiran infrastruktur jalan yang prima itu tadi.
***
Masalahnya, kenikmatan berkendara saya sedikit terganggu oleh berbagai macam regulasi. Walau, tentu, saya paham bahwa mematuhi peraturan adalah sebuah kewajiban jika kita ingin menjamin keselamatan bersama.
Namun persoalannya, di Indonesia, hal itu sering terabaikan. Akibatnya, mematuhi peraturan di Amerika pun akhirnya dirasa sebagai beban.
Tak ingin melanggar hukum
Meski tergoda untuk melesat dengan Lexus ES 300h, saya memang tidak ingin melanggar hukum. Saya tidak ingin mempermalukan Indonesia hanya karena urusan speeding, melanggar batas kecepatan, meski alasan terbesarnya adalah saya tidak ingin ditolak apabila kelak hendak masuk Amerika. Siapa tahu, suatu hari nanti saya ingin berlibur di negeri ini.
Dan, Robert sungguh sangat membantu. Andai saya mengemudi sendirian, misalnya, tentu ada pelajaran-pelajaran yang terlewatkan. Saya yakin tetap akan mampu tiba di Gibson Custom, mungkin dalam waktu lebih singkat―karena mungkin lebih ngebut—tapi dengan melewatkan beberapa pelajaran.
”Center left turn lane” adalah sesuatu yang diajarkan Robert. Tanpa Robert, tentu saya bisa saja berbelok kiri mengikuti petunjuk sistem navigasi. Namun, berbelok kiri dengan mengikuti ”center left turn lane” jelas lebih aman.
Tak lama kemudian, kami tiba di Gibson Custom. Setelah parkir, mesin saya matikan dengan memencet tombol, tetapi seperti tidak ada perbedaan suara mesin. Saya pun menoleh ke kanan kiri.
”Ada yang salah?” tanya Robert. ”Ini sudah mati mesinnya?” tanya saya balik.
”Tenang, ini sudah mati. Mesin hibrida memang seperti ini, seperti tak bersuara,” ujar Robert, tersenyum. ”Oh, okay,” balas saya.
Kira-kira satu jam, kami mengamati produksi gitar di Gibson Custom. Luar biasa menyaksikan betapa mereka setia dengan tradisi. Belakangan, ketika rehat, saya terkejut saat membaca New York Times. Ternyata, Gibson dalam kondisi kesulitan keuangan, bangkrut.
Beberapa tahun sebelumnya, Gibson mencoba terjun ke dunia digital, tetapi gagal mengelola bisnis itu. Gibson pun berkomitmen kembali ke bisnis inti mereka, yakni membuat gitar!
Setelah itu, kami melaju lagi ke ”etape” kedua. Masih ditemani Robert, kali ini saya melaju dari Gibson Custom menuju Westhaven Club, Franklin. Jaraknya sekitar 40 kilometer.
Rutenya melalui dua Interstate Highway, yakni IS 24 dan IS 65. Kami keluar dari IS untuk melaju di Cool Spring Boulevard, kemudian menyusuri jalan-jalan arteri, membelah permukiman dan kawasan suburban hingga Klub Golf Westhaven.
Mulai beradaptasi
Saya pun lebih rileks karena sudah mulai beradaptasi. Saya tidak memelototi lagi papan petunjuk kecepatan. Saya memutuskan untuk ”membaur” saja dengan kendaraan di sekeliling. Di IS, misalnya, saya melaju ”bersama-sama” mereka. Aman sepertinya. Kalaupun ditangkap polisi, saya pikir nanti ramai-ramai ditangkapnya.
Sebelumnya, saya mengamati, mobil ini tanpa pelat nomor. Saya bertanya kepada General Manager Lexus Indonesia Adrian Tirtadjaja, yang juga hadir di Nashville. ”Kata mereka (Lexus Amerika), kalau sudah bayar pajak tinggi, ya, apa pun boleh,” ujar Adrian, bercanda.
Saya tertawa. Pajak begitu penting bagi negara seperti Amerika. Jadi ingat pula kata-kata Benjamin Franklin, ”In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes (Tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali kematian dan pajak)”.
***
Sambil melihat-lihat permukiman di suburban Franklin, saya mulai bisa bercanda dengan Robert.
”Mobil sebagus ini tak punya radio?” tanya saya.
Robert lalu sibuk mencari-cari frekuensi radio. ”Karena kita di Nashville, mari kita dengar musik country. Tak masalah?” tanyanya. ”Why not? Kenapa tidak?” jawab saya.
Sebuah lagu mengalun melalui speaker Mark Levinson. Suaranya prima. Entah yang bagus suara penyanyinya atau speaker-nya. ”Miranda Lambert,” kata Robert. ”Oh, mantannya Blake Shelton,” kata saya.
”Kamu tahu Blake?” ujar Robert, seperti keheranan. ”Tentu, saya nonton The Voice di Indonesia. Blake itu jurinya,” jawabku. Robert lalu menjelaskan panjang lebar soal Blake dan Nashville.
”Bisa kita bicara soal Taylor Swift saja? Dulu, dia juga penyanyi country, kan?” ujar saya. Robert tak peduli. Dia tetap bicara soal Blake.
Banyak belajar
Memasuki kawasan downtown Franklin, saya serius lagi dalam mengemudi. Ini kawasan permukiman, dan ruang milik jalannya terbatas. Mendekati Franklin Square, tiba-tiba Robert mengingatkan ketika saya hendak nyelonong saja.
”Lebih baik tidak seperti itu. Mobil yang dari depan itu tiba lebih dulu sebelum bundaran. Dia harus diberi kesempatan dulu melintas di bundaran. Habis itu, baru giliran kita,” ujar Robert. Wah, ini sungguh pelajaran baru buat saya.
Padahal, saya hanya mau masuk bundaran itu, lalu keluar di cabang berikutnya, cabang terdekat. Analisis saya, tidak mungkin saya bersinggungan dengan jalur mobil lain. Namun, regulasinya demikian. Saya harus antre.
Selain demi keselamatan, secara tata krama, memang logikanya yang tiba terlebih dahulu di bundaran, dialah yang berkesempatan lebih dulu melaju.
Sungguh luar biasa. Hari itu, saya belajar banyak hal. Belajar soal tata krama dan mengemudi dengan baik di jalan raya. Merenungkan Indonesia dari jarak separuh bumi, terasa sekali betapa hukum tidak diterapkan dengan sepenuh hati di Indonesia. Tata krama berlalu lintas tidak digubris.
Bagi banyak orang, mungkin orang Amerika dianggap tidak beradab. Apalagi, dengan kebijakan luar negeri mereka. Juga dengan Presiden Donald Trump yang membuat letupan di sana sini.
Di sisi lain, melihat mereka berkendara―abaikan film The Fast and the Furious―saya melihat kesantunan dalam diri mereka. Walau boleh jadi, sebagian dari mereka juga tertib karena sekadar takut kepada polisi.
Namun, setidaknya, mengemudi di sana menjadi enak dan terasa aman. Sejauh yang saya alami sendiri, tidak terlihat emak-emak yang berbelok ke kiri walau sebelumnya pasang lampu sein ke kanan....