Demi Demokrasi, ”Kompas” Mengawal Pilkada 2018
Media massa adalah pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketika demokrasi digadang-gadang terus tumbuh dan matang, media massa pun mengawalnya. Tidak sekadar ”mengawal” dengan pemberitaan, harian Kompas pun melangkah lebih maju dengan melakukan jajak pendapat, exit poll, dan hitung cepat.
”Hitung cepat atau quick count, sifat dasarnya untuk mendampingi Komisi Pemilihan Umum. Kami ingin agar pemilihan umum dapat tetap luber dan kredibel. Gagasan awalnya seperti itu,” kata Manajer Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas Toto Suryaningtyas, Minggu (24/6/2018), yang ditemui di kantor harian Kompas.
Kenapa perlu didampingi? ”Karena di sebuah negara, apalagi negara yang otoriter, pemilu itu belum tentu netral,” ujar Toto. Meski harus diakui ada era Orde Baru ada pula hasil kajian dari Litbang Kompas yang tidak dipublikasikan.
Indonesia kini tentu bukan lagi negara otoriter. Meski demikian, Litbang Kompas tetap melakukan quick count, exit poll, dan mendahuluinya dengan jajak pendapat. Apalagi Litbang Kompas juga mempunyai modal untuk melakukannya dengan ketersediaan infrastruktur, sumber daya manusia, dan anggaran yang memadai.
Kompas mempunyai infrastruktur, sumber daya manusia, dan anggaran yang memadai.
Bahkan, bagi media-media massa dunia, pemantauan pemilihan umum juga hal biasa. Sejalan dengan perkembangan jurnalisme presisi, exit polls telah diperkenalkan sejak tahun 1960-an. Media massa Amerika sejak era itu telah mengkaji perilaku pemilih. Media massa Inggris, Jerman, dan Jepang pun ikut memantau pemilih mengekor media Amerika.
Bagaimana dengan media di Indonesia? ”(Sejauh ini) untuk media ya hanya Kompas yang mampu melakukannya. Mungkin, media lain juga menampilkan hasil-hasil pemilu atau pilkada, tetapi bekerja sama dengan lembaga survei lain,” ujar Toto.
Niat baik
Keterlibatan Litbang Kompas menggelar quick count, exit poll, dan jajak pendapat sudah berlangsung sejak lama. Litbang Kompas, misalnya, sudah memulai jajak pendapat sejak tahun 1996. Ketika itu, Litbang Kompas bekerja sama dengan TVRI untuk menyurvei kalangan kelas menengah.
Hitung cepat pun sudah dimulai sejak tahun 2007/2008. Harian Kompas saat itu mengawal pemilihan kepala daerah, di antaranya Pilkada DKI Jakarta dan Pilkada Jawa Barat.
Niat baik untuk mengawal pilkada, dan kelak mengawal pemilihan legislatif dan presiden pada tahun 2019, makin mendapatkan landasannya oleh hasil hitungan dari lembaga-lembaga survei yang pernah berbeda-beda.
Pada Pemilihan Presiden 2014, misalnya, dari 8 lembaga survei, ternyata 5 lembaga memenangkan Joko Widodo dan 3 lembaga memenangkan Prabowo Subianto. Ketika itu, masyarakat pun menjadi bingung. Siapa sesungguhnya pemimpin mereka?
Independensi
Dengan demikian, keterlibatan media massa yang independen, seperti Kompas, menjadi sangat penting. Salah satu faktor utama pembentuk independensi adalah pendanaan yang mandiri. Harian Kompas pun mendanai sendiri jajak pendapat hingga quick count yang dilakukannya.
Harian Kompas pun mendanai sendiri jajak pendapat hingga quick count yang dilakukannya.
Dari mana asal uang itu? Tentu dari pendapatan harian Kompas, yang tidak terkait dengan pelaksanaan pilkada hingga pendapatan dari unit bisnis lain di grup Kompas Gramedia.
Dalam perjalanannya, tentu saja ada banyak individu ataupun perusahaan yang berminat mendanai jajak pendapat Kompas, terutama yang terkait dengan pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan umum. Beberapa pihak sudah berupaya bertemu dengan Jakob Oetama untuk membicarakan hal itu.
Namun, demi menjaga independensi, tentu saja tawaran kerja sama itu ditolak. Demi independensi dan demi pengawasan yang sesungguhnya terhadap tiap ajang pemilihan.
Hari-hari ini, tentu ada lembaga survei yang mengaku dirinya independen. Walau demikian, harus diperhatikan apakah lembaga itu mempunyai divisi konsultan. Atau, apakah salah satu pendiri atau mitra pendiri juga pendiri di lembaga konsultasi lain? Apabila ditemukan keterkaitannya, patut diduga lembaga survei itu tidak lagi independen.
Meski survei itu mempunyai metodologi, tetap terbuka kemungkinan ”dipermainkan”. Contoh sederhananya, misalnya, hasil survei dapat berbeda antara menanyakan calon kepala daerah dan daftar nama terbuka atau tertutup. Konsistensi metode, dengan demikian, diperlukan untuk mengukur tingkat kepopuleran seorang calon dari dua jajak pendapat.
Hasil survei juga dapat berbeda apabila responden yang diwawancarai sudah dipilih atau terkonsentrasi di perkotaan saja. Padahal, penduduk sebuah kabupaten itu tersebar di perkotaan dan di perdesaan. Bahkan, boleh jadi lebih banyak penduduk di perdesaan.
Netralitas tenaga lapangan
Demi validitas hasil exit poll ataupun quick count, tenaga lapangan yang terlibat harus dipastikan netralitasnya. Dan, harian Kompas, dengan pengalaman lebih dari dua dekade terlibat dalam survei terkait politik, mencoba memenuhi unsur netralitas tersebut.
”Kami memastikan perekrutan telah dikerjakan dengan sistematis. Mereka itu, tenaga lapangan kami, kebanyakan adalah mahasiswa komunikasi atau politik, tetapi kami memastikan antusiasme mereka hanya untuk mengawal pilkada,” ujar Arita Nugraheni, peneliti Litbang Kompas.
Menurut Arita, yang merupakan Koordinator Wilayah Jawa Barat dalam Pilkada Juni 2018 ini, para tenaga lapangan sudah dipastikan tidak punya agenda untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Latar belakang mereka sudah diteliti terlebih dahulu.
Latar belakang pewawancara sudah diteliti terlebih dahulu.
Untuk wilayah Jawa Barat, misalnya, mahasiswa diseleksi dari 12 universitas. ”Para dosen juga diminta ikut memilih mahasiswa mereka yang dianggap terbaik,” ujar Arita. Dengan demikian, tenaga lapangan yang direkrut selain netral juga punya kualitas baik.
Siti Habibah, salah seorang mahasiswi Jurusan Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, misalnya, tertarik mengikuti kegiatan quick count dan exit poll Litbang Kompas demi mengawal pesta demokrasi. ”Meski, saya juga ingin mencari pengalaman kerja,” ujarnya, yang akan menjadi pewawancara di TPS Kelurahan Jakasetia, Kecamatan Bekasi Selatan.
Sehari-hari, Siti Habibah indekos di Ciputat. Namun, demi mengawal pilkada, dia rela pergi ke Bekasi Selatan untuk melaporkan temuannya kepada Litbang Kompas. Ditemui Minggu (24/6/2018), Siti Habibah bahkan tidak menghabiskan waktu pada akhir pekan, tetapi mengikuti pengarahan di kantor Kompas di Palmerah.
”Kami hanya meminta warga tidak menolak saat kami interview. Tidak semua warga pula yang ditanyai. Exit poll ini kan hanya mengambil sampel yang tujuannya untuk mengawal hasil pilkada juga,” ujar Siti Habibah.
Mengawal di tiga provinsi
Awalnya, Litbang Kompas hanya akan mengawal pilkada di Jawa Barat. Namun, kemudian diputuskan mengawal pula Pilkada Jateng dan Jawa Timur. ”Pilkada di tiga provinsi itu ya vital. Lagi pula, jumlah pemilihnya mencapai 106 juta orang dari total ada 189 juta pemilih,” ujar Toto.
Keterlibatan Litbang Kompas memantau pilkada di tiga provinsi itu juga sebagai ajang pemanasan untuk memantau Pemilihan Legislatif dan Presiden 2019.
Sebanyak 1.200 pewawancara disebar di tiga provinsi untuk ”mengawal” di 1.200 tempat pemungutan suara demi hitung cepat. Pewawancara itu pula yang ditargetkan mewawancarai total hingga 4.800 responden saat exit pool untuk mendapatkan gambaran hasil pilkada.
Para interviewer tidak hanya disebar di ibu kota provinsi atau kota-kota saja, tetapi juga hingga berbagai kabupaten. Di Jawa Barat, misalnya, interviewer tidak hanya mengawal di Depok, Bekasi, atau Bogor, tetapi juga hingga Tasikmalaya, Kuningan, bahkan Pangandaran.
Begitu pula di Jawa Timur, misalnya, Kompas―melalui pewawancaranya, tidak hanya hadir di Surabaya dan Malang. Kompas akan hadir hingga Sumenep, Banyuwangi, ataupun Pacitan di pantai selatan Jawa Timur.
Sebelumnya, harian Kompas bahkan telah menggelar jajak pendapat terkait pilkada di tiga provinsi tersebut. ”Kalau pemilihan itu ada teks, jajak pendapat atau survei itu adalah konteksnya,” ujar Toto.
Mengapa harus ada jajak pendapat? ”Karena kita menginginkan adanya gambaran dan pemetaan. Arah (pemilih), misalnya, ke mana? Kenapa seorang calon disukai? Kenapa seorang calon tidak disukai? Kenapa seorang calon populer?” ujarnya.
Hasil jajak pendapat dan analisis yang dibuat Litbang Kompas dan wartawan Kompas dapat dibaca di harian Kompas ataupun di laman www.kompas.id tepatnya dalam segmen Pemilu Kompas.id.
Jajak pendapat itu dibutuhkan harian Kompas demi jurnalisme yang mencerdaskan, memberikan panduan, dan dapat menjadi referensi. Sesuai nama Kompas, yang disandangnya, harian Kompas ingin membantu masyarakat dengan memberi arah dalam memilih kepala daerah yang terbaik demi masa depan bangsa ini.