Mari ”Kopi Darat” dengan Petani-petani Kopi Terbaik di Negeri Ini
Teorinya, tidak sulit bertemu dengan petani. Bukankah Indonesia merupakan negara agraris? Namun, kenyataannya, tim Jelajah Kopi Nusantara harus berjibaku untuk dapat bertemu dengan petani yang punya banyak kisah menarik tentang kopi. Petani kopi, terutama di luar Jawa, banyak berada di pelosok dan sebagian dari mereka justru ”dipagari” oleh para tengkulak.
Harian Kompas bermaksud ”memanggungkan” petani kopi karena dari tangan mereka sebanyak 80 persen rasa kopi dibentuk. Mereka pula yang menjadi tulang punggung industri kopi Nusantara walau pada faktanya mereka sering tersisihkan.
Dari Toraja, Sulawesi Selatan, kisah tentang tengkulak kopi diangkat.
Tim Kompas, yang saat itu dikoordinatori oleh Gregorius M Finneso, beruntung bertemu dengan Sulaiman Miting, petani yang berani bersuara lantang tentang dominasi tengkulak yang menguasai perdagangan kopi di kawasannya.
Namun, menemukan Sulaiman tidak mudah. Wartawan Kompas Makassar, Renny Sri Ayu Taslim, sebelumnya berhasil menemukan Sulaiman setelah sekian lama mencari informasi tentang petani di pelosok.
”Kami nekat menjelajahi pelosok-pelosok, kadang bertemu dengan orang, kadang tidak. Ketika bertemu pun, kadang kami harus menerima yang tak ada nilainya,” cerita Gre, koordinator tim Toraja. Gre baru menemukan kisah Sulaiman setelah hampir sepekan dia berkeliling Sulawesi Selatan.
Di Malang pun tak mudah. Kami menemukan nama-nama petani pemilik kebun di lereng gunung yang punya cerita unik. Namun, beberapa tengkulak mencegah kami untuk bertemu dengan mereka.
Mereka tak ingin kisah petani itu diangkat media karena biasanya setelah diangkat, banyak yang mencari kopi dari petani itu. ”Mencari kopi itu susah, Mbak. Kalau pedagang lain nemu dan menawarkan harga tinggi, habislah kami,” ujar para tengkulak.
Diskusi panjang pun kami lakukan. Kami tegaskan bahwa reportase kami adalah untuk mengangkat petani. Toh, kami bukan pedagang yang akan menjadi pesaing. Namun, kami menemui jalan buntu.
Beruntung, masih ada banyak petani di Malang yang punya kopi unik. Jadilah kami bertemu dengan petani-petani berdedikasi, seperti Ibu Katrin yang mendobrak dominasi tengkulak. Katrin dan koperasi desanya mampu menjual langsung kopi ke pasar hilir. Mereka tak lagi melalui mata rantai tengkulak.
Bagi kami, kelompok ini sungguh keren karena memberikan peluang kepada petani untuk memperbaiki nasib mereka sendiri. Nama Katrin kami dengar setelah kami mendapatkan cerita dari pemilik kedai Rembug Pawon di Malang yang menampung kopi mereka.
Mereka juga tak masalah jika nama Dampit diangkat karena visi mereka memang mengangkat petani, sama dengan tujuan kami. Kami malah mendapatkan tumpangan tidur di rumah mereka dan mendapatkan cerita tentang jejak kopi kuno yang memang dimulai dari Malang.
Medan menantang
Papua menjadi medan yang paling menantang. Di Papua, kami sengaja memilih petani yang belum banyak diekspos. Jangan heran apabila kami sengaja blusukan di kawasan terpencil, seperti Dogiai, Deiai, dan Paniai.
Dari penelusuran dan riset, kami paham bahwa kawasan pelosok ini juga menyimpan sejarah perjalanan kopi Papua. Kami pun bersikeras mendapatkan kisah-kisah kopi dari daerah ini.
Ketika melihat pada angka statistik yang dimiliki pemerintah daerah setempat, seharusnya bertemu dengan petani dan menemukan kebun kopi adalah perkara mudah. Setidaknya, ada belasan ribu hektar kebun kopi dan ribuan petani di Dogiai, Paniai, dan Deiai.
Namun, ternyata, data di atas kertas berbeda dengan fakta di lapangan. Kebun kopi yang kami temukan lebih mirip hutan, penuh semak, dan tak terawat. Kebun kopi itu sudah ditinggalkan petani selama dua dekade.
Petani sudah pindah mencari pekerjaan lain. Sumber-sumber yang kami hubungi hanyalah lapis kedua dari lingkaran petani. Petani sendiri tak punya akses telekomunikasi. Jangankan mengantongi telepon genggam, untuk membiayai hidup sehari-hari pun mereka kesulitan.
Petani sendiri tak punya akses telekomunikasi.
Jalan satu-satunya agar bisa bertemu dengan petani adalah masuk ke pedalaman. Berisiko, bahkan kami dapat pulang tanpa hasil. Tapi, tetap kami mencobanya.
Pedalaman Papua yang kami kunjungi memang tergolong daerah rawan konflik. Kami bahkan ”dikawal” warga lokal yang direkomendasikan oleh banyak kawan.
Frans Pigai adalah pendamping kami untuk masuk kawasan pelosok di Dogiai, Paniai, dan Deiyai. Dia adalah anak muda setempat yang aktif membina petani kopi. Dari Frans, kami mendapat banyak nama petani kopi.
Cemas di sepanjang jalan
Meski ditemani Frans, kami masih dag-dig-dug di sepanjang jalan. Frans menuturkan kebiasaan sekelompok warga yang menutup jalan jika ada kecelakaan. Mereka bisa meminta pertanggungjawaban pengemudi jika ada kecelakaan yang menimpa warga mereka.
Terkadang, mereka bertindak sendiri. Cerita tentang berbagai macam konflik yang terjadi di pedalaman membuat kami berjalan hati-hati.
Kami akhirnya merasa beruntung karena perjalanan kami berjalan lancar. Memang, langkah kami sempat dihentikan oleh penutupan jalan. Namun, warga ternyata hanya meminta sumbangan karena telah menyingkirkan longsoran.
Di sisi lain, perjalanan mencari petani tak berlangsung lancar. Dalam tiga hari, Frans dan kami hanya menemukan kebun dan rumah kosong tanpa petani. Kami memang datang pada saat yang tak tepat, bukan saat panen kopi.
Petani biasanya malah masuk hutan untuk mencari hasil hutan. Mengontak mereka pun tak memungkinkan karena sinyal jadi barang langka dan tak semua petani punya telepon genggam.
Di Paniai lebih sulit lagi. Warga sama sekali menutup akses bagi pendatang seperti kami. Saat itu suasana panas menjelang pilkada. Kami tak dianjurkan ngobrol dengan warga atau memotret kegiatan mereka. Dua hari memutari Dogiyai, Paniai, dan Deiyai tanpa bertemu petani membuat kami lemas. Setelah berpikir lama, kami memutuskan kembali ke Dogiyai.
Beruntung, kami berhasil bertemu dengan petani kopi di Dogiyai. Kami sampai melonjak kegirangan. Apalagi, petani tersebut bisa bercerita banyak tentang kisah unik di Papua dan kehidupan mereka.
”Sa sudah jarang ke kebun. Ibu beruntung sa ada kerja di kebun ini,” kata sang petani, menyambut kami. Kami merayakannya dengan sederhana, dengan mencecap terong belanda di kebun bersama-sama.
Kami lebih beruntung lagi setelah dipandu Romo Kira Biru. Berkat beliau, kami dapat bertemu dengan petani kopi Modio, daerah yang menjadi jantung kopi di Dogiyai. Walau harus berjalan kaki naik dan turun bukit, kami tetap senang karena kami pulang membawa cerita.
Harta karun keberagaman
Tak semua kisah petani kami dapatkan dengan susah payah. Beberapa petani sangat mudah dijangkau dan membuka diri. Mereka bahkan berbagi cerita dan pengalaman menarik sepanjang perjalanan jelajah kopi.
Di Jawa Barat, Cornelius Helmy mendapatkan kisah menarik tentang kebangkitan kopi Preanger dari petani setempat. Mereka dengan sukacita bercerita tentang perjalanannya.
Satu hal yang kami dapatkan pada perjalanan berkeliling Nusantara dalam mencari petani adalah rasa persaudaraan. Di mana pun kami menemui petani kopi, mereka dengan tangan terbuka menerima kami, apa pun keadaannya.
Di Bali, misalnya, tim yang dikoodinasi Dahlia Irawati tetap disambut hangat oleh petani yang kala itu sibuk mempersiapkan upacara piodalan. Tim bahkan diperbolehkan meliput dan mendapatkan bahan tentang kekayaan kultur kopi Bali di dalam pura.
Sebagian tim Kompas yang memeluk agama Hindu pun tetap bisa menjalankan ibadah mereka di sela-sela liputan.
Saat berada di Aceh, tim juga disambut oleh petani dengan keramahannya. Mereka tak melihat latar belakang agama atau suku di tim kami. Suguhan kopi manis dan sambutan hangat terus diterima oleh tim Jelajah Kopi Kompas.
Meski peliputan di Papua tidak mudah, kami tetap terbantu oleh para rohaniwan Gereja Katolik. Di daerah pelosok itu, mereka meluangkan waktu membantu kami bertemu dengan petani. Mereka bahkan memberi kami tempat untuk berlindung dan beristirahat di sela kesibukan mereka dalam mempersiapkan misa Paskah.
Setelah perjalanan panjang dengan penuh perjuangan, ekspedisi kopi untuk mengangkat petani dari Aceh hingga Papua akhirnya bisa direalisasikan. Kisah mereka tentu dapat dibaca di harian Kompas ataupun secara lebih komprehensif di laman www.kompas.id ini.
Dan, salah satu rangkaian dari ekspedisi kopi adalah ”kopi darat” antara tim Kompas dan sebagian petani kopi pada Festival Kopi Nusantara pada 19-22 Juli 2018. Bertempat di Bentara Budaya Jakarta, mereka akan memperkenalkan kopi dari kebunnya, sekaligus mencoba membuka peluang pasar baru agar mendapatkan pasar dengan baik dan harga pantas.
Bertempat di Bentara Budaya Jakarta, mereka akan memperkenalkan kopi dari kebunnya.
Mari ikut ”kopi darat” dengan para petani kopi yang sungguh luar biasa. Sepantasnyalah kita berbangga karena petani masih merawat kopi dengan setia. Merekalah lakon utama dari geliat kopi Nusantara. Kini, mari merayakan keberagaman lewat secangkir kopi.
Sampai jumpa di Bentara Budaya Jakarta, ya.