”Diselamatkan” Kalung Rote Saat Liputan Pembantaian Buaya
Dari pos yang berada di ketinggian, dua orang pria, salah satunya bertelanjang dada, memberikan kode kepada saya agar tidak masuk ke dalam area penangkaran buaya milik CV Mitra Lestari Abadi. Namun, saya bersikeras tetap melangkah mendekati gerbang.
Mereka kemudian buru-buru turun dari pos dan setengah berlari menuju gerbang penangkaran. Sebuah penangkaran buaya di Kelurahan Klamalu, Distrik Mariat, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Senin (16/7/2018) siang.
”Tidak boleh masuk ke sini, Kaka,” kata pria tak berbaju yang ternyata bernama Baim. Melalui celah gerbang, Baim mengaku hanya menjalankan perintah untuk menjaga tempat itu. Dia bersikeras untuk menjalankan perintah itu berapa pun harganya.
Berupaya menurunkan ketegangan, saya menginformasikan bahwa kedatangan saya ke lokasi itu sudah diketahui oleh Tutut Heri Wibowo, Kepala Bidang Teknis Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat.
Sebelum menuju lokasi penangkaran, saya terlebih dahulu bertemu dengan Tutut di kantornya yang hanya berjarak sekitar 10 kilometer. Saya mewawancarai Tutut, berdiskusi sebelum pada akhirnya ke lapangan. Ke lapangan tentu saja sangat penting bagi seorang wartawan untuk memverifikasi apa pun, terutama dari sumber resmi pemerintah.
Namun, mereka belum yakin dengan perkataan saya. Gerbang tidak digeser sedikit pun. Untuk menerobos masuk jelas bukan hal bijaksana. Mereka adalah orang lapangan yang siap berhadapan dengan segala hal di lapangan.
Saya kemudian mendapat akal. Saya kemudian menelepon Tutut. Untung saja dia mengangkat telepon saya. Kemudian dengan menghidupkan pengeras suara, saya mengulangi permintaan untuk masuk ke dalam lokasi penangkaran.
”Mas, bilang saja kepada mereka (kedua penjaga itu) sudah dapat izin dari saya,” kata Tutut. Gerbang lalu perlahan-lahan dibuka.
Tanpa membuang waktu, saya kemudian melangkah masuk. Namun, belum sampai langkah kelima, Baim kembali mencegat. Dia meminta agar saya tidak terlalu dekat ke tempat penumpukan bangkai buaya dan kolam penangkaran yang berjarak sekitar 100 meter dari gerbang.
Saya diminta memotret dari jauh, tak boleh mendekat.
Tingkah Baim membuat saya agak jengkel. Nyaris saya kehilangan kesabaran. Namun, setelah berkeliling, saya memahami hanya kami bertiga di dalam kawasan penangkaran seluas lebih kurang 1 hektar itu. Mereka bisa bertindak nekat.
Kawasan itu juga ditutupi pagar keliling dari seng yang tidak bisa dipantau dari luar. Sementara sopir yang mengantar saya menunggu di luar gerbang. Tentu, saya harus pandai-pandai berhitung.
Namun lebih dari itu, saya berusaha memahami tugas mereka. Saya juga berupaya berempati. Jangan sampai mereka akhirnya disalahkan oleh pemilik penangkaran. Apalagi, bila mereka sampai dipecat oleh pemilik penangkaran.
Jangan sampai tindakan gegabah saya juga berdampak bagi masa depan mereka. Mereka memang diperintah untuk menjaga lokasi agar steril, termasuk steril dari kehadiran wartawan.
”Berita suka berbeda dengan kenyataan,” kata Baim menggerutu.
Di sinilah titik masuk saya. Setelah tadi sempat ”tertahan” di gerbang, saya memang beberapa saat hanya mengikuti saja kemauan mereka. Tetapi kemudian, saya mulai ”melawan”. Saya katakan bahwa hanya dengan melihat dari titik terdekat, maka saya akan dapat menulis dengan fakta sebenarnya. Bahkan, sesuai dengan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Baim yang paling ngotot itu terlihat mulai dapat memahami. Tampaknya, dia mulai goyah tetapi tetap tidak memberikan izin bagi saya untuk bergerak. Padahal, temannya sudah melunak.
Mencari jalan lain
Saya mulai mencari sisi lain. Saya mencari jalan lain yang paling memungkinkan. Saya memperhatikan jelas perawakan pria langsing itu. Kulitnya sawo matang, rambut lurus, hidung agak mancung. Juga ada kalung dengan manik-manik berwarna oranye. Jelas, dia bukan orang asli Papua.
”Oom, orang mana?” kata saya.
”Saya orang Timor,” kata Baim. Orang Timor adalah sebutan untuk orang Nusa Tenggara Timur. Saya kaget tetapi berusaha keras untuk tidak terlihat kaget. Hanya dalam hati saya berkata, ”Ah rupanya, sama-sama dengan saya dari NTT.”
Sekelebat, saya kembali melihat kalungnya. Saya langsung menyimpulkan, ”Oom, orang Rote to?”
”Kaka tahu dari mana?” katanya balik.
Saya katakan saja dari kalung yang dia pakai. Selama empat tahun kuliah di Kupang, ibu kota NTT, kalung semacam itu tidak asing lagi bagi saya. Rote pulau terselatan di Indonesia itu dekat dengan Kupang. Banyak orang Rote yang tinggal di Kupang. Saya sendiri pernah berlayar ke Rote.
Saya memperkenalkan diri berasal dari Flores Timur. Pria yang tidak kenal kompromi itu kemudian malah mengulurkan tangannya mengajak bersalaman. ”Bisa bantu Kaka apa? Iko Kaka pung mau sa. Sonde apa-apa (Saya bisa bantu apa. Ambil gambar terserah kakak. Tidak apa-apa),” kata Baim menggunakan bahasa Melayu Kupang.
Setelah disinggung kalungnya ternyata situasi berubah 180 derajat untuk saya. Perang urat saraf dengan Baim berakhir. Saya tidak perlu lagi bentrok dengan dua penjaga penangkaran buaya untuk liputan.
Liputan ini mengajarkan saya untuk pentingnya bersabar. Juga mengasah keterampilan di dalam diri untuk lebih mampu lagi mengamati hal-hal detail demi menghindari konflik supaya dapat lebih baik di setiap peliputan yang saya lakukan.
Evaluasi menyeluruh
Akhirnya, saya mulai mendekati titik di mana bangkai buaya-buaya itu ditumpuk. Saya memakai masker tipis yang sengaja saya siapkan sebelum ke lokasi itu. Namun, masker seharga Rp 2.000 itu gagal menghalau bau busuk. Embusan angin turut membawa bau busuk itu menyengat hidung ini.
Namun sudah kepalang tanggung, saya terus mendekat. Kali ini bukan hanya bau, melainkan juga beberapa ekor lalat mulai beterbangan lalu hinggap di badan saya.
Ratusan bangkai buaya pun terlihat. Kebanyakan sudah tidak lagi di dalam kolam alias di daratan. Pelaku pembantaian memang beramai-ramai menarik buaya dari dalam kolam kemudian membunuhnya dengan sadis.
Tubuh buaya ditikam dengan besi dan kayu serta dipalu dengan martil. Terlihat pula luka-luka bacok pada tubuh buaya akibat ditebas-tebas dengan parang. Sejumlah garis polisi pun terlihat di antara tubuh-tubuh buaya itu.
Tercatat 292 buaya mati dibantai oleh sekitar 700 orang pada hari Sabtu (14/7/2018). Rinciannya, sepasang indukan dan 290 buaya berukuran 8 inci sampai 12 inci.
Mengapa pembantaian buaya itu terjadi? Sebelumnya, warga setempat, Sugito (48), tewas diterkam buaya di kolam indukan. Kolam itu berukuran 6 meter x 6 meter dengan kedalaman 3 meter untuk dua indukan tadi.
Tentu, kolam itu berada di dalam area yang dikelilingi tembok setinggi 2,5 meter. Namun, jarak pinggir kolam dengan tembok terdekat hanya kurang dari 1 meter.
Sugito masuk ke area penangkaran buaya tanpa diketahui penjaga. Kemudian, dia justru melangkah ke tepi kolam untuk menyabit rumput, makanan sapinya.
Penjaga baru mengetahui keberadaan Sugito setelah mendengar teriakan minta tolong dari Sugito. Penjaga yang datang tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa melihat korban bertarung melawan dua buaya ganas itu. Hampir 20 menit kemudian, korban yang sudah tidak bernyawa itu ditarik keluar kolam. Bulu kuduk saya merinding membayangkannya.
Hampir 20 menit kemudian, korban yang sudah tidak bernyawa itu ditarik keluar kolam.
Sugito diterkam karena tidak memperhitungkan naluri pemburu buaya. Padahal, para penjaga sekalipun tak berani mendekat ke kolam. Mereka memberi makanan buaya dengan cara melempar dari kejauhan.
Mungkin, ini suratan takdir Sugito.
Meski demikian, saya sempat terheran-heran melihat pembantaian buaya ini. Apa perlu begitu? Apa pun perlu juga digelar evaluasi menyeluruh tentang keberadaan penangkaran yang jaraknya kurang dari 1 kilometer dari permukiman penduduk itu. Untuk sementara, izin penangkaran pun telah dibekukan.