Air Mata Mengalir di Selayar
Belum usai duka kita akibat tenggelamnya Kapal Motor Sinar Bangun di Danau Toba, Sumatera Utara, tragedi kembali terjadi. KMP Lestari Maju kandas di perairan Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Tiga puluh enam penumpang tewas dan seorang bayi tidak dapat ditemukan akibat kecelakaan itu.
Peristiwa nahas itu terjadi Selasa (3/7/2018) siang, tidak sampai sebulan setelah tragedi KM Sinar Bangun.
Awalnya, saya mendapatkan informasi itu dari grup WhatsApp wartawan Desk Nusantara Kompas. Setelah itu, sore harinya, media sosial ramai dengan kecelakaan kapal itu. Bahkan, video detik-detik kandasnya kapal sempat direkam penumpang lain dan disebarluaskan melalui internet.
Meski saya bertugas di Cirebon, Jawa Barat, kecelakaan tersebut terasa begitu dekat dan memilukan. Ini karena saya besar di Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan. Ada beberapa teman kuliah juga dari Selayar, walau ternyata mereka tidak terlibat dalam insiden itu. Meski, sejumlah kerabatnya menjadi korban.
Entah mengapa, saya punya firasat bakal ditugaskan ke Selayar. Dan, firasat itu benar. Redaksi Kompas di Jakarta menugaskan saya berangkat.
Kantor Kompas Makassar sesungguhnya diperkuat dua personel. Namun, Mohammad Final Daeng, yang juga Kepala Biro Kompas Indonesia Timur masuk dalam tim peliput Piala Dunia di Jakarta sedangkan Reny Sri Ayu sedang sibuk mengawal peliputan terkait Pilkada Makassar yang ramai dengan kotak kosong.
Sebagai putra daerah, saya dinilai paham kondisi di Sulawesi Selatan sehingga langsung diminta berangkat. Dari Cirebon, saya naik kereta ke Jakarta kemudian terbang ke Makassar.
Dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Selayar dapat ditempuh hanya dengan penerbangan selama 35 menit.
Sementara perjalanan melalui penyeberangan selama 2 jam dapat ditempuh dari Pelabuhan Bira, Kabupaten Bulukumba ke Pelabuhan Pamatata, Selayar. Namun sebelumnya, harus jalan darat dari Makassar ke Bulukumba selama 5 jam.
Saya memilih perjalanan darat kemudian dikombinasikan dengan penyeberangan. Mengapa? Saya ingin mendapatkan suasana saat menyeberangi perairan Selayar serta kisah-kisah yang menyelimutinya.
Trauma
Kamis subuh, saya dijemput mobil travel berbiaya Rp 150.000 menuju Bulukumba. Mobil Toyota Innova itu menjemput satu per satu penumpang, dan juga sejumlah karung yang berisi pesanan orang Selayar.
“Mobil travel baru jalan lagi ini. Kemarin, tidak ada yang berangkat karena trauma setelah kecelakaan KMP Lestari Maju. Paling hanya empat sampai 10 mobil travel yang jalan hari ini. Padahal, biasanya bisa 30-an mobil,” ujar Amir (43), sopir travel yang kami tumpangi. Hanya ada empat penumpang di mobilnya padahal biasanya mencapai enam orang.
Selama lima jam perjalanan, jarang terlihat mobil travel berpelat kuning. Pembicaraan hanya seputar tragedi KMP Lestari Maju. Kisah itu seperti musik yang diputar berulang kali. Namun, isinya bukan kisah bahagia sebaliknya kisah duka.
“Seharusnya saya berangkat ke Selayar saat hari kejadian itu. Tapi, karena terlambat bangun, saya enggak jadi selamat. Ajal memang tidak ada yang tahu,” ujar Anti, salah seorang penumpang, yang kehilangan kerabat dalam insiden itu.
Kisah itu seperti musik yang diputar berulang kali. Namun, isinya bukan kebahagiaan, melainkan duka
“Saya juga baru berani berangkat hari ini. Dua hari lalu, masih trauma,” ucap Mulyadi, penumpang lainnya yang juga warga Selayar. Guru di sebuah sekolah tingkat menengah atas ini, kehilangan temannya yang juga guru dalam peristiwa tersebut.
“Kapal itu (KMP Lestari Maju) memang tidak laik jalan,” ujar Mulyadi. Seisi mobil travel tiba-tiba mengamini ucapannya. Kata mereka, KMP Lestari Maju adalah kapal tua yang dulunya kapal barang.
Analisa mereka, tiga dek kapal dapat dipakai untuk parkiran kendaraan sedangkan tempat duduk penumpang hanya sekitar 30 unit. “Kalau hujan, penumpang kebasahan. Untuk kencing saja susah. Kalau pergi, kursi diambil,” ucap Mulyadi.
Akhirnya, sekitar pukul 09.00 WITA, kami tiba di Pelabuhan Bira. Saat itu, belum ada kapal yang tiba. Padahal, biasanya ada kapal berangkat di sekitar jam tersebut. Terlihat KMP Tunu Pratama sedang sandar meski kabarnya sedang dalam perbaikan dan pengurusan izin.
Petugas SAR, polisi, dan TNI tampak di dalam pelabuhan. Posko pencarian korban KMP Lestari Maju dibangun di sana. Ketika saya datangi kantor perwakilan kapal tersebut di bagian belakang UPTD Pelabuhan Bira Dishub Bulukumba, ternyata kantor itu tutup.
Saya lalu mencoba mewawancarai Syahbandar Pelabuhan Bira, Kuat Maryanto. Dia tak ada di kantor. Lalu, saya melangkah menuju rumah dinas syahbandar, yang berupa bangunan panggung.
Ketika ditemui, ia sedang sibuk membuat laporan terkait tragedi itu. Wajahnya lesu dengan mata memerah sepertinya kurang tidur. Ia mengklaim, kapal tersebut laik jalan sehingga diberikan izin menyeberang. Menurut dia, selain alat keselamatan yang lengkap, penumpang juga sudah sesuai kapasitas.
"Kongkalikong"
Namun, ia mengakui, penyeberangan Bira-Selayar kekurangan kapal. Sebelum KMP Lestari Maju beroperasi pada 2016, hanya ada KMP Bontoharu milik ASDP Bulukumba yang beroperasi dengan kapasitas maksimal 300 penumpang dan 20 kendaraan.
Kadang, sopir sudah kongkalikong dengan oknum petugas. Kasih duit, bisa Rp 100.000 atau lebih, sehingga tidak antre lagi dan langsung berangkat
Kondisi ini membuat warga Selayar kerap bermalam di Pelabuhan Bira karena harus antre menunggu giliran naik kapal. Bahkan, tidak jarang calon penumpang harus bermalam hingga tiga hari dengan biaya lebih dari Rp 1 juta.
“Kadang, sopir kongkalikong dengan oknum petugas. Kasih duit, bisa Rp 100.000 atau lebih, sehingga tidak antre lagi dan langsung berangkat,” ungkap Amir, sopir travel. Apalagi, pengguna utama jasa penyeberangan ialah mobil travel dan truk ekspedisi.
Saya sempat pula bertanya kepada Syahbandar. Kata Kuat, "Dulu, tahun 2006, saya sampai disembunyikan oleh petugas karena dikejar pengguna jasa penyeberangan. Mereka mau segera menyeberang tapi kapal saat itu tidak laik”.
Calon penumpang, kata Kuat, terkadang tidak peduli dengan keselamatan sehingga memaksakan diri untuk segera berlayar.
Siang itu, kami baru berangkat pukul 12.00 WITA dari Pelabuhan Bira. KMP Bontoharu tersebut terlambat datang dari Selayar.
Saat naik ke kapal, saya mendapatkan tiket dengan harga Rp 24.000 per penumpang. “Ini baru begini. Biasanya, yang dapat tiket hanya sopir,” ucap seorang penumpang.
Lalu, kemana tiket lainnya yang telah dibayar? Entah, tiket itu di mana. Namun, kata sejumlah warga, mungkin itu menjadi alasan mengapa Selayar kekurangan kapal. “Karena yang dilaporkan hanya yang dikasih tiket. Jadi, mungkin pemerintah pusat hanya menerima laporan kalau penumpang di Selayar jumlahnya sedikit,” ujar salah seorang warga.
Kekacauan administrasi itu tercermin dalam tragedi KMP Lestari Maju. Berdasarkan data Polres Selayar, jumlah korban meninggal dunia mencapai 36 orang dengan jumlah korban selamat 166 orang. Artinya, terdapat total 202 penumpang. Namun, berdasarkan data manifes kapal, hanya tercatat 139 penumpang dengan jumlah kendaraan 48 unit.
Ketika kapal feri kami melintasi perairan Pa’badilang, sebelum tiba di Pelabuhan Pamatata, tragedi itu tampak di depan mata. Dari tiga tingkat KMP Lestari Maju, hanya lantai teratas kapal yang tidak tenggelam.
Dua mobil masih tampak terparkir di lantas teratas itu. Lokasi tenggelamnya kapal pun hanya sekitar 300 meter dari bibir pantai. Dari kejauhan terlihat masyarakat, termasuk keluarga korban masih berkumpul di tepi pantai.
Hentikan mobil Wakil Bupati
Begitu kapal sandar di Pamatata, saya langsung disambut seorang teman kuliah. Dari Pelabuhan Pamatata menuju Pantai Pa’badilang hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit perjalanan. Saya ingin segera tiba di Pa\'badilang untuk melihat dari dekat tempat kandasnya kapal.
Di perjalanan, saya melihat dari kejauhan mobil sedan berpelat merah dengan angka 2 yang mentereng. Saya langsung menebak itulah mobil Wakil Bupati Selayar. Tanpa pikir panjang, saya langsung menghentikan mobil itu.
Ternyata benar, Wakil Bupati Selayar Zainuddin ada di dalamnya. Dia mengatakan, kapal yang berusia hampir 30 tahun itu didatangkan dari Kalimantan. “Saya biasanya naik pesawat, dan sopir naik kapal itu. Kami juga tidak tahu prosesnya kapal itu ada di sini,” ungkapnya.
Begitu tiba di Pantai Pa’badilang, terlihat kondisi yang memilukan. Destinasi wisata itu ditutupi sampah dan barang-barang yang hanyut dari KMP Lestari Maju. Ada makanan cepat saji, pelampung hingga kasur. Keindahan pantai itu kini bergantikan duka.
Peristiwa naas itu juga seperti menutup sejarah Pa’badilang. Dalam bahasa Selayar, Pa’badilang berarti tempat orang menembak.
Berdasarkan sejarah yang diyakini masyarakat setempat, lokasi tersebut merupakan benteng pertahanan Kerajaan Tanete dalam menghadapi musuh atau perompak dari luar Selayar. Mereka kerap disebut “Pasukan Serangiya”.
Jejak benteng pertahanan itu masih ada hingga kini, yakni bebatuan karang yang meninggi. Di antara karang itu, terdapat lubang-lubang, tempat mengintai kapal-kapal musuh yang akan menyerang. Dari atas tebing karang, laut lepas di sekitar dapat terlihat.
Masyarakat juga menyebut lokasi itu sebagai “Bone Palukka”. Konon, di sana dulu tempat perompak berlabuh.
Kesedihan semakin menjadi-jadi ketika melintas dari Pelabuhan Pamatata ke Benteng, di pusat kota, tampak dimana-mana bendera putih sebagai tanda berduka.
Di Benteng, beberapa sudut jalan ditutup karena ada acara duka. Warga berjalan kaki dengan wajah muram. Biru laut dan pohon kelapa di sepanjang jalan tak mampu menyembunyikan duka itu.
Nilainya (santunan) ini tidak pernah sama dengan nyawa manusia
Keesokan harinya, Jumat (6/7/2018), air mata ini tak mampu tertahankan ketika bertemu keluarga korban meninggal dunia dan korban yang selamat.
Pagi itu, di rumah jabatan Bupati Selayar, mereka menanti Menteri Sosial Idrus Marham yang akan memberikan santunan. Korban meninggal dunia mendapatkan uang tunai Rp 15 juta per orang sedangkan korban selamat menerima Rp 2,5 juta per orang.
“Nilainya (santunan) ini tidak pernah sama dengan nyawa manusia,” ucap Muhlis (31). Dalam tragedi itu, ia kehilangan istrinya, Rini (29) yang mengandung calon bayinya usia empat bulan, dan anaknya, Abizar (2).
Di bawah siang yang mendung, air matanya menetes, berakhir di bibirnya yang bergetar.
Muhlis kemudian meluapkan kesedihannya saat kami berjalan bersama menuju masjid untuk shalat Jumat. Ia tidak pernah mengira, kepergian istrinya dan anaknya ke Makassar adalah untuk selamanya. .
Rini yang sedang mengandung menyeberang perairan Selayar dengan kapal dan kemudian menumpang mobil selama tujuh jam untuk mengantar adiknya kuliah. Dia juga belanja pakaian untuk anak didiknya.
Rini merupakan guru honorer pada dua sekolah tingkat menengah di Selayar. Harga barang di daerahnya kerap lebih mahal karena didatangkan dari luar pulau. Itu sebabnya ia memilih belanja di Ibu Kota Sulsel.
Saat kembali pulang, Selasa (3/7) pukul 10.00 WITA, KMP Lestari Maju sudah bertengger di dermaga Pelabuhan Bira, Kabupaten Bulukumba.
Saat mulai berlayar, Muhlis sempat menelepon buah hati itu melalui panggilan video sekitar pukul 11.00 WITA. Panggilan berikutnya, pukul 13.00, mengejutkan Muhlis. “Kami sudah pakai pelampung,” ujar Muhlis, menirukan ucapan istrinya.
“Istighfar. Pakaikan juga pelampung ke Abizar. Jangan turun dari kapal,” lanjut Muhlis. Ia buru-buru mengendarai motor dari Benteng ke Pa’badilang. Ketika tiba di Pa’badilang, istri dan anaknya telah tiada.
Lambung kiri kapal yang dibangun 1989 itu bocor saat ombak dan arus kencang
Itu adalah akhir percakapan mereka. Dalam foto yang menjadi viral di media sosial, Rini memeluk Abizar dalam balutan pelampung. Ia duduk di pinggir kapal sambil memandang laut yang kian meninggi.
Lambung kiri KMP Lestari Maju, yang dibangun 1989 itu, ternyata bocor saat kapal itu dihantam ombak dan arus kencang.
Nakhoda kapal Agus Susanto sebenarnya sempat bereaksi positif. Dia sengaja mengarahkan kapal itu mendekati daratan lalu sempat membuat kandas kapal sehingga tidak seluruh badan kapal tenggelam.
Namun, penumpang keburu panik. Ditambah lagi, ombak begitu kencang sehingga tidak seluruh korban dapat selamat.
Ironi Tanah Pelaut
“Ini musibah. Tetapi, harus ada solusi supaya kejadian ini tidak berulang,” ujar Muhlis.
Solusi yang dimaksud tentu pembenahan pelayaran di Selayar. KMP Lestari Maju berukuran 1519 gross tonnage misalnya, adalah kapal pengangkut barang yang belakangan dimodifikasi untuk penumpang.
Tidak hanya itu, di Selayar juga hanya ada tiga kapal penyeberangan. Itu pun yang rutin beroperasi hanya dua kapal. Padahal, sebagian besar warga Selayar yang berjumlah 130.000 orang bergantung pada angkutan laut.
Bupati Kepulauan Selayar Basli Ali mengatakan, “Kami sudah sering meminta kapal, tapi hanya kapal itu yang menawarkan untuk beroperasi”. Rekomendasi pun diberikan karena Selayar membutuhkan kapal.
Basli pun membantah isu adanya campur tangan pemerintah daerah dalam pengadaan kapal itu. Di masyarakat memang ada isu yang beredar yang mengatakan kalau kapal itu merupakan pesanan Basli melalui kerabatnya yang berada di Kalimantan.
Mengapa Kabupaten Kepulauan Selayar tidak mengupayakan kapal penyeberangan yang berkualitas baik? “Anggaran kami terbatas. Dari APBD sekitar Rp 1 triliun, untuk pembangunan hanya sekira Rp 200 miliar. Selebihnya untuk gaji dan kebutuhan lainnya,” ujar Basli.
Ketidakmampuan pemda serta minimnya partisipasi swasta dalam penyeberangan harus menjadi perhatian. Mengapa? Karena kecelakaan laut Selayar, bukan kali ini saja.
Tahun 1997, misalnya, sebanyak 10 orang tewas akibat kecelakaan laut. Tahun 2006, sembilan warga Selayar hilang. Dan, dua tahun lalu, empat orang hilang akibat kecelakaan laut.
Selayar pun berasal dari kata “Satu Layar”.
Belakangan, Polda Sulawesi Selatan menetapkan syahbandar, nakhoda, dan pemilik kapal sebagai tersangka atas kecelakaan tersebut. Namun, penegakan hukum saja jelas tidak cukup. Masyarakat Selayar harus mendapatkan layanan penyeberangan yang benar-benar dapat diandalkan dan aman.
Berabad-abad silam, Selayar memiliki peran penting dengan dunia barat yang memburu rempah-rempah. Pelaut Selayar pun sangat disegani. Kata Selayar bahkan berasal dari “satu layar”.
Dikenal pula ungkapan Tanadoang, karena masyarakat Selayar sering berdoa sebelum berlayar. Dan, tempo hari, saya berdiri di Tanah Pelaut itu bersama dengan segala ironinya.