Pengalaman Kompas Meliput ”Perang” Melawan Kabut Asap
Bagi jurnalis yang bertugas di Kalimantan Barat, tiap tahun ada tantangan tersendiri berupa liputan kebakaran lahan. Nyaris tiap tahun, kebakaran lahan memang menggila saat kemarau. Untuk meliputnya, terkadang kami harus menerobos asap melalui darat. Selain itu, kami juga harus naik pesawat atau helikopter pemadam untuk melihat situasi dari udara.
Senin (27/8/2018), saya pulang dari Surabaya, Jawa Timur, menuju Pontianak, Kalimantan Barat. Setiba di ruang udara Pontianak, pilot mengumumkan pesawat belum dapat mendarat karena jarak pandang di Bandara Internasional Supadio Pontianak di Kabupaten Kubu Raya hanya 300 meter akibat kabut asap.
Pesawat kami pun berputar-putar di atas Pontianak dan Kubu Raya sekitar 50 menit.
Sebelum terbang, saya sudah menduga kondisi itu akan terjadi. Kepada petugas di konter check in di bandara, saya meminta agar ditempatkan di kursi dekat jendela. Sepanjang perjalanan, saya memangku kamera.
Selama pesawat berputar-putar di udara, sebagian penumpang sibuk berdoa. Siapa yang tidak takut apabila landasan pacu tidak terlihat dari kokpit pesawat. Sementara saya justru sibuk memotret.
Tentu saja, ”ruang” untuk memotret di pesawat komersial kurang ideal. Namun, saya tetap berusaha untuk membidik obyek di permukaan bumi dengan sebaik mungkin.
Berbagai obyek di bumi memang tidak begitu jelas karena kabut asap. Sungai Kapuas pun hanya terlihat samar karena diselimuti kabut asap. Permukiman penduduk juga seolah lenyap. Namun, saya tetap berupaya mendapatkan foto yang bermutu, foto yang layak Kompas.
Terbang dengan helikopter
Jelas, bukan tempo hari itu saja saya meliput kabut asap dan kebakaran lahan dari udara. Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada 2014, saya naik helikopter Bolkow yang dialihfungsikan untuk memadamkan kebakaran lahan.
Di bawah helikopter tersebut, terdapat semacam kantong besar yang akan diisi air. Berton-ton air itu kemudian disiramkan ke lahan yang terbakar.
Terbang dengan helikopter jelas tidak senyaman terbang dengan pesawat komersial. Sebelum naik helikopter, kami diingatkan untuk sarapan terlebih dulu. Perut jangan sampai kosong karena kepala akan mudah pusing akibat bisingnya suara helikopter dan manuver yang beragam.
Penerbangan helikopter menuju lahan yang terbakar juga bukan sekali jalan. Helikopter itu harus mondar-mandir mengisi kantong air yang dibawa.
Setelah sarapan, kami pun menuju helikopter. Ketika mendekat, ternyata pilotnya berasal dari Rusia. Kami pun diminta memakai penutup telinga supaya tidak terlalu bising.
Begitu memasuki helikopter, ternyata konfigurasi kursinya seperti angkot. Kursi hanya ada di sisi kiri dan kanan helikopter.
Helikopter segera mengangkasa untuk menuju lokasi lahan yang terbakar. Saya melihat ribuan hektar lahan gambut terbakar.
Bahkan, ada lahan yang terindikasi milik korporasi karena lahan yang terbakar itu sangat luas dan di sekitar api itu terdapat perkebunan. Karena itu, ada dugaan, oknum yang membakar lahan bekerja untuk kepentingan ekspansi perkebunan.
Saya pun mulai memotret dari tempat duduk saya. Sesekali, saya berganti posisi ke sebelah kiri atau kanan ketika helikopter bermanuver. Ketika kantong air itu masih terisi penuh, terasa sekali olengnya helikopter.
Salah seorang awak helikopter tersebut, dengan bahasa isyarat, meminta saya mendekat ke kokpit. Mereka memberikan kesempatan kepada saya untuk memotret dari ruang kokpit. Saya pun bisa memotret dengan puas melalui kokpit.
Setelah memotret di beberapa lokasi, saya pun kembali ke belakang. Kepala saya mulai pusing. Namun, saya berusaha mengendalikan diri.
Seperti di medan perang
Rekan jurnalis lainnya ada yang muntah karena pusing. Bagaimana tidak, helikopter itu bolak-balik puluhan kali ke sumber air dan menuju lahan terbakar. Manuvernya tidak biasa. Belum lagi suara helikopter yang bising. Posisi duduk kami juga tidak ideal, tidak menghadap ke depan.
”Wah, kita serasa di medan perang, ya. Seperti di film Rambo,” ujar saya kepada teman jurnalis yang bersandar di dinding helikopter karena pusing. Saya berusaha menghiburnya.
“Iya. Gimana kalau di medan perang ya?,” ujar teman saya itu.
Kepulan asap dari lahan terbakar itu membuat kami serasa berada di medan pertempuran. Helikopter kami pun harus meliuk-liuk untuk menghindari kepulan asap yang terlalu pekat agar dapat terbang dengan aman.
Liputan kebakaran lahan yang tak kalah serunya adalah liputan melalui jalur darat. Hal itu saya alami pada Sabtu (18/8/2018) di Sungai Raya Dalam, Kubu Raya. Kebakaran itu terjadi di lahan gambut di dekat permukiman warga.
Ketika tiba di permukiman warga yang dekat dengan lahan terbakar, kabut asap sudah terasa pekat dan menyengat. Saya pun memakai masker karena tidak tahan dengan asap yang menyesakkan dada itu.
Menerobos lahan terbakar
Warga pun mengeluarkan barang-barang mereka di teras rumah karena menjaga kemungkinan api akan mengenai permukiman mereka. Sementara petugas pemadam kebakaran mulai menerobos ke lahan gambut yang terbakar.
Saya pun mulai ikut menerobos lahan yang terbakar itu. Setelah sampai di lahan gambut yang terbakar itu, kabut sangat pekat. Asap di sekeliling saya. Pepohonan hanya terlihat samar. Bahkan, saya sulit melihat ujung jari sendiri tatkala tangan ini dibentangkan.
Tidak lama kemudian, masker yang saya pakai pun tidak mempan. Bau asap masih tercium, terasa, dan membuat dada sesak. Panasnya lahan yang terbakar juga begitu terasa di badan ini. Saya juga harus berjalan berhati-hati di lahan gambut agar tidak menginjak bara api.
Saya meminta tambahan masker karena satu lapis masker yang saya pakai tidak cukup untuk menahan serangan asap. Ternyata, bau asap masih juga menyengat. Selain masker, saya juga memakai baju saya untuk membantu menutup indera penciuman.
Lahan gambut yang terbakar diperkirakan mencapai luas 3 hektar. Tidak heran apabila asap begitu tebal. Sudah begitu, tidak ada sumber air yang memadai. Parit-parit di sekitar lokasi mengering.
Di lahan gambut yang terbakar itu, saya baru memahami betapa sulitnya kerja petugas pemadam kebakaran. Saya yang hanya sekitar satu jam berada di lokasi kebakaran itu telah merasakan sesak napas. Apalagi mereka yang berhari-hari berada di lokasi kebakaran.
Dari lokasi kebakaran lahan itu, saya menuju lokasi kebakaran lainnya di Kota Pontianak, di sekitar Jalan Parit Haji Husin 2. Lahan kebakaran yang sudah dipadamkan petugas sejak beberapa hari lalu ternyata kembali terbakar.
Lahan kebakaran yang sudah dipadamkan petugas sejak beberapa hari lalu ternyata kembali terbakar.
Setelah diselidiki, ternyata ada oknum warga yang membakar lahan gambut. Bahkan, di lokasi itu, saya melihat ada jeriken berisi bahan bakar.
Oknum yang membakar lahan itu masih berada di tepi jalan. Sementara oknum lain ada yang membawa senjata tajam di dalam hutan gambut untuk membersihkan lahan. Mereka terlihat gelisah saat melihat saya mondar-mandir di sekitar lahan tersebut.
Jujur saja, saya juga gelisah. Jangan-jangan, ketika saya mengeluarkan kamera, mereka akan menyerang saya. Akhirnya, saya coba saja mengeluarkan kamera dari dalam tas.
Apa yang terjadi? Setelah kamera itu terlihat, oknum pembakar lahan itu dan beberapa oknum warga menjauh dari lokasi. Hari itu, saya menyelamatkan warga Jalan Parit Haji Husin 2 dari serangan kabut asap yang menyesakkan.