Berkelana di Jepang Berbekal Telepon Genggam dan Kata-kata: ”I Want This”
Pertengahan Juni 2018, Redaksi Kompas memerintahkan saya meliput di Jepang. Selama sekitar satu minggu bertugas di Jepang, ternyata ada banyak pengalaman baru didapat. Pengalaman yang sedikit banyak membuka wawasan saya.
Perjalanan saya ke Jepang dimulai dari tempat tinggal saya di Banyuwangi. Saya berangkat dari kabupaten paling timur Pulau Jawa tersebut pada 25 Juli, tepat pada hari ulang tahun saya. Jadi, saya menganggap penugasan ini layaknya hadiah dari kantor.
Mendengar kata Jepang, benak saya langsung memikirkan perpaduan kecanggihan dan tradisi. Industri dan film-film produksi Jepang kerap menunjukkan kecanggihan robot-robot mereka.
Di sisi lain, kuatnya tradisi Jepang membuat saya langsung membayangkan samurai, kimono, dan cara orang Jepang yang menunduk saat memberi salam.
Keberangkatan saya ke Jepang adalah demi meliput perayaan 60 tahun kerja sama antara Indonesia dan Jepang. Kali ini, saya diundang oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia.
Perjalanan saya ke Jepang ini merupakan perjalanan pertama saya ke ”Negeri Matahari Terbit” itu. Sebelumnya, Kompas hanya menerbangkan saya ke negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.
Tentu saja, saya jadi bersemangat karena terbang lebih jauh.
Liputan ini juga tidak melulu tentang hal-hal yang serius. Selain meliput perayaan 60 tahun kerja sama Indonesia Jepang (lihat Kompas, Senin, 30 Juli, dan Rabu, 15 Agustus), saya juga menulis hal lain, di antaranya liputan jalan-jalan yang terbit pada rubrik Singgah di Kompas, Minggu, 2 September.
Jalan-jalan memang penting untuk membuka wawasan kita lebih luas lagi.
Banyak hal unik yang saya temukan selama jalan-jalan di Jepang. Keunikan pertama yang saya jumpai ialah Danny, pemandu wisata yang akan menemani rombongan wartawan dan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia.
Danny ternyata sudah 17 tahun tinggal di Jepang. Ia bahkan akan menikahi seorang gadis Jepang. Kendati demikian, rasa cintanya akan Indonesia tak pernah luntur. Ia masih mengikuti perkembangan kasus dan peristiwa di Indonesia.
Salah satu yang ia soroti ialah kasus pembantaian ratusan buaya di Papua Barat. ”Kasus itu kalau di Jepang bisa jadi berita utama selama satu bulan lebih. Orang Jepang sangat peduli terhadap satwa-satwa liar,” ujarnya.
Puncak perayaan 60 tahun kerja sama Indonesia Jepang baru digelar Minggu (29/7/2018). Adapun saya dan rombongan sudah tiba di Jepang sejak Jumat (27/7/2018).
Salah satu destinasi yang kemudian saya kunjungi di Jepang adalah Gotemba Premium Outlet, sebuah kompleks perbelanjaan di Shizouka. Letaknya di lereng Gunung Fuji.
Di Gotemba terdapat sekitar 200 toko yang menjual barang-barang, seperti aksesori, baju, sepatu, hingga berbagai macam kios makanan. Beragam jenis merek dihadirkan, seperti Prada, Kate Spade, Armani, GAP, Nike, Adidas, hingga tas Anello.
Gotemba Premium Outlet adalah sebuah kompleks perbelanjaan di Shizouka. Letaknya berada di lereng Gunung Fuji.
”I want this”
Saat saya mulai berkelana dari satu toko ke toko lain, saya mulai menyadari tidak semua orang Jepang fasih dan mau menggunakan bahasa Inggris. Padahal, beberapa kerabat menitipkan barang incaran masing-masing.
Tidak semua orang Jepang fasih dan mau menggunakan bahasa Inggris.
Alhasil, untuk mendapatkan barang ”titipan”, saya harus memakai gawai untuk menunjukkan gambar barang yang saya cari. Kemudian, tentu saja, saya sambil berkata, ”I want this”, ”I want that”. Seperti orang kaya sajalah.
Ketika saya kemudian singgah di Akihabara, sebuah pusat perbelanjaan elektronik di Tokyo, lagi-lagi saya bergantung pada gawai. Saya harus mengeluarkan gawai, mencari gambar dari benda yang saya cari, dan mengucap kata-kata ajaib: ”I want this”.
Namun, pengalaman berbeda justru saya temukan saat berkunjung ke Kuil Sensoji, yang menjadi ikon di Ashakusa.
Kami berkunjung ke Kuil Sensoji karena kuil tersebut dipercaya sebagai kuil agama Buddha tertua di Tokyo. Berkat keberadaan kuil tersebut, daerah di sepanjang Teluk Tokyo yang dulunya desa perikanan perlahan tumbuh berkembang menjadi sebuah kota besar.
Dekat Kuil Sensoji, dapat dinikmati sepenggal Shotengai, jalan yang dipenuhi dengan pertokoan. Di situ dapat dibeli pernak-pernik sebagai oleh-oleh dari Jepang. Dan, di sanalah, saya bertemu dengan Yukari.
Siapa Yukari? Jangan salah sangka, dia bukan bintang film Jepang yang dikenal di Indonesia. Dia adalah satu dari ratusan pedagang suvenir di Shotengai.
Pertemuan dengan Yukari tentu bukan sesuatu yang disengaja. Ketika sedang mencari-cari suvenir, tiba-tiba saja Yukari menyapa saya. Dia lalu berkata, ”Seribu... tiga. Seribu dapat tiga.”
Terkejut saya dibuatnya. Bagaimana mungkin ada pedagang Jepang yang menawarkan dagangan dengan gaya pedagang di pasar tradisional di Indonesia.
Yukari juga mampu mengucap salam ”Selamat Datang” dan ”Terima Kasih”. Ia mengucapkan kata-kata tersebut tetap dengan logat Jepang yang medok.
”Saya bisa sedikit berbahasa Indonesia karena hampir setiap hari ada 40 wisatawan Indonesia yang berbelanja di sini. Mereka membeli aneka suvenir sebagai kenang-kenangan atau oleh-oleh keluarga di Indonesia,” kata Yukari.
Luar biasa. Meski kerap mengeluh kehidupan di Indonesia berat, faktanya setiap hari ada 40-an wisatawan Indonesia mampir di tokonya di Kuil Sensoji.
Dari pemilik dan pelayan toko di Tokyo, saya juga belajar tentang bagaimana mereka melayani pembeli. Meski saya hanya lihat-lihat, tak ada raut muka kesal di wajah mereka. Tetap saja, mereka berkata, ”Arigato, terima kasih”.
Ketika sebuah perjalanan itu mendewasakan kita, dari Jepang, saya juga belajar hal lain, yakni soal disiplin dan taat aturan.
Saya sempat terenyak ketika sopir yang membawa kami berkeliling Jepang justru berhenti di rest area ketika kami sedang terburu-buru mengejar agenda liputan.
Sopir yang membawa kami berkeliling Jepang justru berhenti di rest area.
Salah seorang anggota rombongan sempat meminta Danny si pemandu wisata untuk mengatakan kepada sopir agar tidak perlu berhenti terlalu lama di rest area. Kami dapat tertinggal acara karena tindakan sang sopir.
”Dan! Ayo berangkat, anak-anak yang kencing udah kelar. Kita harus mengejar acara dan bisa-bisa terlambat karena jalanan macet,” ujar salah satu rekan rombongan saya.
Namun, jawaban sang sopir sangat tegas. Dia ingin berhenti 15 menit-30 menit di rest area karena regulasinya sudah jelas.
”Dia sudah menyetir lebih dari dua jam. Jadi, dia harus berhenti minimal 15 menit baru bisa jalan lagi,” kata Danny, menerjemahkan jawaban sopir.
Tepat 15 menit berhenti di rest area, tanpa basa-basi sang sopir langsung menjalankan mobil. Kami terlambat datang ke acara tersebut.
”Kalau di Indonesia mah beda, hajar terus...,” ujar seorang wartawan mengomentari putusan sang sopir. Sang sopir begitu tegas mengikuti aturan meski rombongan kami jelas membayar jasanya untuk mengantarkan kami menuju sebuah acara penting.
Jepang memang penuh keajaiban. Saya belajar banyak dari Jepang.
Putusan sang sopir pula yang memungkinkan saya menuliskan kisah ini. Andaikata dia memaksakan diri mungkin boleh jadi mobil kami akan bertabrakkan sebagaimana human error pada pengendara mobil di Indonesia yang abai dengan keselamatan diri dan banyak orang.