Merasakan Denyut Kehidupan Masyarakat Dayak di Rumah Panjang
Bulan Agustus 2018, saya berkesempatan meliput kehidupan masyarakat Dayak Iban di rumah panjang Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ketika rumah panjang sudah tidak banyak lagi, maka singgah di rumah panjang merupakan pengalaman hidup yang sangat berharga.
Hari Senin (6/8/2018) sore, saya tiba di Sungai Utik, sekitar 2 jam perjalanan darat dari Putussibau, ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu. Kalau dihitung dari Pontianak, jaraknya sekitar 700 kilometer atau lebih dari lima kali jarak Jakarta-Bandung.
Dari kejauhan, dari pintu gerbang masuk di kampung itu, tampak rumah panjang membentang. Rumah itu sungguh panjang, yakni mencapai 214 meter. Jadi, kira-kira setara dengan panjang 12 bus transJakarta gandeng.
Dibangun pada tahun 1973, rumah betang ini lantainya dibangun dengan ketinggian 2 meter dari permukaan tanah. Jadi, konstruksinya mirip dengan rumah panggung.
Tentu saja, rumah panjang ini tidak hanya dihuni satu keluarga. Bahkan, ada 46 bilik di rumah panjang ini yang mana tiap bilik dapat dihuni beberapa kepala keluarga.
Baca tulisan lain tentang rumah panjang Sungai Utik
Setiba di rumah panjang, saya masuk melalui pintu tengah. Ibu-ibu paruh baya dari suku Dayak Iban menyambut saya dengan senyum yang hangat dan penuh kekeluargaan. Ketika itu, mereka sedang menganyam kerajinan dari rotan.
Setelah itu, saya langsung menemui pemimpin rumah panjang (tuai rumah) yang akrab disapa Apai Janggut (88). Saya harus memberi tahu Apai Janggut terlebih dulu bahwa saya ingin menginap di rumah panjang. Namun, ternyata ia masih di ladang.
Setengah jam kemudian, Apai Janggut pun datang. Saya pun langsung menghadap Apai Janggut di selasar sepanjang 214 meter dengan lebar 6 meter. Selasar, yang disebut ruai itu, digunakan sebagai ruang tamu sekaligus ruang bersama.
Saya pun memperkenalkan diri sebagai wartawan Kompas, dan mohon izin ingin meliput kehidupan masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik.
”Apai, saya memohon izin ingin meliput di sini. Boleh ya?” ujar saya. ”Boleh. Mau berbulan-bulan juga boleh,” ujar Apai Janggut, tertawa.
Apai Janggut pun menumpangkan tangannya ke atas kepala saya sebagai tanda dia menyayangi saya. Dia juga telah menganggap saya sebagai keluarganya di rumah panjang.
Setelah itu, Apai Janggut masuk ke dalam bilik. Tak lama kemudian, ia keluar dan membawa kopi dan cangkir. Kami pun berbincang santai sambil menyeruput kopi racikan masyarakat rumah panjang. Sungguh nikmat.
Saya membayangkan duduk bersama dengan seorang kepala suku Indian. Namun, kami tidak sama-sama mengisap pipa tembakau, tetapi menyeruput kopi.
Di sela-sela ngopi, Apai Janggut mengambil buku. Ternyata, itu adalah buku tamu. Semua tamu harus menuliskan namanya di buku tamu. Saya pun menuliskan nama saya di buku tamu itu. Selesai saya menulis nama, Apai Janggut ternyata mengeja nama saya. Ternyata, ia bisa membaca. Awalnya, saya menduga ia tidak bisa membaca.
”Apai pernah sekolah?” saya bertanya kepada Apai.
”He-he-he. Saya tidak pernah sekolah,” kata Apai.
”Lalu belajar membaca dari mana?” saya bertanya.
”Dulu ada warga rumah panjang ikut sekolah rakyat. Kemudian, setelah ia lulus, ia mengajarkan kami di rumah panjang membaca. Dari situlah saya bisa membaca,” kata Apai.
”Oooo, begitu he-he-he,” jawab saya. Kami pun tertawa bersama. Apai Janggut ternyata begitu ramah.
Denyut kehidupan
Setelah ngopi, saya dipersilakan Apai Janggut berkeliling rumah panjang dan di sekitarnya untuk melihat kehidupan warga. Di ruang tamu, ibu-ibu sibuk membuat kerajinan. Sementara di sungai yang tidak jauh dari rumah panjang anak-anak asyik bermain di air.
Hidup berjalan begitu alami. Ada anak yang bermain sampan. Ada juga yang memancing ikan. Ada pula mereka yang hanya sekadar bermain di pasir.
Hidup berjalan begitu alami.
Air di Sungai Utik masih jernih. Dasar sungai terkadang terlihat karena hutan di sekitarnya masih terjaga. Anak-anak di Sungai Utik termasuk yang beruntung karena mereka masih bisa bermain di alam terbuka yang asri.
Sementara itu, di wilayah lain di Kalbar, sungai-sungai banyak yang rusak karena pertambangan emas. Selain itu, juga alamnya sudah tidak sebagus di Sungai Utik karena hutan di wilayah lain di Kalbar telah dikonversi menjadi hutan industri.
Setelah puas bermain di sungai, saya kembali ke rumah panjang. Tiap sudut rumah itu saya datangi agar dapat memahami kehidupan mereka.
Bau sedap dari dapur pun mengundang saya singgah di dapur. Ketika memasuki dapur, ternyata sudah ada berbagai masakan segar, yakni ikan sungai dan sayur yang dipetik sendiri dari ladang. ”Ini untuk makan malam kita,” ujar salah seorang nenek.
Saya kemudian dipersilakan makan. ”Ini ikan hasil dari memancing di sungai tadi pagi. Sayur ini baru dipetik dari ladang tadi sore,” kata Apai.
Saya pun makan hanya berdua ditemani Apai Janggut. Walau sebenarnya, saya telah meminta warga lainnya ikut makan bersama. Ternyata warga rumah panjang memang sengaja tidak makan bersama kami. Mereka memilih makan belakangan karena menghargai tamu yang datang.
Mereka memilih makan belakangan karena menghargai tamu yang datang.
Di rumah panjang, ada kebiasaan unik setelah makan. Warga dari berbagai bilik akan berkunjung ke bilik lain untuk duduk bersama sembari minum air aren yang difermentasi. Mereka duduk melingkar. Saya pun bergabung dengan mereka.
Sambil duduk bersama, mereka berbincang mengenai kegiatan sehari-hari saat mereka bekerja di ladang. Tentang apa yang mereka temui hari itu, dan hal-hal apa yang dapat dipelajari bersama.
Dalam perbincangan itu, sangat terasa tingginya semangat kekeluargaan dan persaudaraan. Jika salah satu warga rumah panjang menghadapi persoalan, warga lainnya akan membantu atau setidaknya memberi masukan.
Meskipun mereka jauh dari perkotaan, penghargaan mereka terhadap kemanusiaan sangat tinggi. Mereka memahami bagaimana cara menghargai sesama, dan hidup bersama di sebuah masyarakat komunal.
Perbincangan dengan mereka berlangsung mengalir saja. Tidak ada tema khusus. Tema-temanya masih seputar kehidupan. Sesungguhnya, ada televisi di beberapa bilik lengkap dengan parabolanya. Namun, saya lihat warga tetap antusias ngobrol bersama.
Saya juga belum melihat mereka menggenggam telepon pintar. Entah berapa lama lagi hingga mereka sudah teracuni media sosial.
Ngobrol sambil menegak air aren sungguh nikmat. Namun, Uyub (40), seorang teman, mengingatkan saya.
”Minumnya pelan-pelan saja,” ujar Uyub.
”Kenapa?” saya bertanya.
”Kalau minumanmu cepat habis, nanti mereka tambah terus. Kamu bisa-bisa mabuk kalau terlalu banyak,” kata Uyub.
”Oh begitu,” jawab saya.
Kalau minumanmu cepat habis, nanti mereka tambah terus.
Saya pun mengurangi kecepatan menegak air aren itu. Hanya sekadar menyeruput.
Setelah itu, saya mencari Apai Janggut. Dia tidak ikut bergabung dengan kami. Ternyata dia berada di ruang tamu. Dia mengaku tidak ikut minum bersama karena sudah tidak kuat, usianya kini sudah mencapai 88 tahun.
Duduk bersama Apai Janggut, kami pun berbincang tentang berbagai hal. Mulai dari masa lalunya, kehidupan di Kapuas Hulu ini, hingga masa depan negara ini.
”Apai. Kenapa rumah panjang ini tidak tinggi? Apakah ada alasan tertentu?” tanya saya. Rumah panjang ini memang dibangun dengan konstruksi panggung. Namun, saya melihatnya tidak cukup tinggi jika alasannya untuk menghindari diri dari serangan binatang buas.
”Rumah panjang orang Iban rendah karena pada masa ngayau (orang Dayak masih mencari kepala manusia), musuh akan menyerang rumah panjang. Saat itu terjadi, akan mudah melarikan diri jika ada musuh menyerang. Kalau tinggi akan susah lari karena susah juga lompatnya,” kata Apai.
Jawaban Apai sungguh mengejutnya. Tadinya saya menduga jawabannya adalah demi menghemat pemakaian kayu untuk tiang pancang atau hal-hal lain.
Waktu menunjukkan pukul 22.00, mata Apai Janggut pun memerah. Saya mempersilakan dia beristirahat karena saya tahu ia kelelahan bekerja seharian di ladang. Kami pun sama-sama masuk bilik masing-masing untuk beristirahat.
Keesokan harinya, tepat pukul 04.30, saya sudah bangun karena harus bergegas pulang. Perjalanan ke Pontianak butuh waktu lama. Apai Janggut pun ternyata sudah bangun. Saya kemudian pamit kepada Apai Janggut.
”Nanti, kembali lagi ke sini ya. Lebih lama lagi juga tidak apa-apa supaya bisa ikut kami ke ladang,” kata Apai Janggut. Ia kelihatan enggan melepas saya pulang karena mungkin merasa saya sudah bagian dari mereka.
”Saya pasti akan ke sini lagi Apai. Saya titip satu hal ya Apai,” kata saya.
”Apa itu?” tanya Apai.
”Tetap pertahankan hutan kalian. Jangan serahkan kepada pemilik konsesi,” kaya saya.
”Oh pasti. Kami akan jaga hutan kami,” kata Apai.
Apai pun mengantarkan saya ke pintu rumah panjang. Warga di bilik lainnya juga ternyata ada yang sudah bangun dan mengantar saya ke pintu keluar.
”Hati-hati di jalan,” ujar warga dari salah satu bilik rumah panjang.
Mereka satu per satu menyapa saya dan mendoakan agar saya selamat ke tempat tujuan. Mereka tinggal jauh dari keramaian, tetapi mereka terbuka kepada siapa saja yang datang. Mereka sungguh ramah, dan juga berkomitmen menjaga hutan mereka.