Daripada Pukul Meja, Lebih Baik Tur Gratis di Seoul
Ditunda 10 jam! Penerbangan Delta Airlines kami ditunda selama 10 jam. Informasi itu didapat saat telah tiba di Bandara Internasional Incheon, Korea Selatan, Sabtu (25/8/2018) pagi. Informasi yang sungguh mengejutkan.
Penundaan penerbangan ini bukan sekadar 30 menit atau 1 jam, tetapi 10 jam! Luar biasa. Kami pun diinformasikan bahwa penerbangan Delta Airlines DL158 tujuan Detroit, Amerika Serikat, ditunda hingga pukul 19.15 waktu setempat.
Saya sempat bingung. Apa yang hendak saya lakukan? Tiba-tiba, teringat pula perilaku sebagian anak negeri yang kalau menerima kabar penundaan penerbangan langsung memukul-mukul meja petugas. Apakah saya mau pukul meja? Tentu tidak!
Namun, saya langsung tidak bersemangat. Apalagi, sebelumnya baru saja terbang selama 7 jam dari Jakarta. Rasa lelah masih terasa. Sudah begitu, lebih dari separuh perjalanan, lampu kenakan sabuk pengaman selalu menyala karena kami terbang menembus badai.
Incheon sesungguhnya sangat nyaman. Inilah salah satu bandara terbaik di dunia yang dibangun di atas sebuah pulau reklamasi. Bandara ini juga dibangun dekat dengan pelabuhan demi meningkatkan daya saing logistik Korea Selatan.
Namun, membayangkan harus menunggu selama 10 jam membuat saya galau. Dengan langkah gontai, saya menuju ruang tunggu keberangkatan. Saya pun mengamati tiap sudut Incheon. Siapa tahu ada sudut menarik.
Tiba-tiba, tampak beberapa penumpang transit mengerumuni sebuah meja untuk mendengar penjelasan seorang pemuda. Pemuda itu berpenampilan ala boyband Korea.
Sambil berbicara, dia membagi-bagikan brosur. Saat dibaca, brosur itu bertuliskan ”Free Korea Transit Tour”. Perjalanan gratis bagi penumpang transit. Ini adalah sebuah kabar gembira.
Layanan ini sengaja disediakan bagi penumpang transit yang menanti penerbangan berikutnya dengan waktu tunggu yang cukup lama. Waktu transit yang lama itu bisa jadi sesuai jadwal atau karena penundaan keberangkatan.
Layanan ini sengaja disediakan bagi penumpang transit yang menanti penerbangan berikutnya dengan waktu tunggu yang cukup lama.
Agar tidak jenuh di bandara, calon penumpang ditawarkan untuk menikmati destinasi wisata terdekat. Beberapa pilihan perjalanan pun disediakan dengan durasi waktu mulai dari 1 jam hingga 5 jam.
Kompas dan empat rekan lain, yang hendak ke Amerika Serikat untuk mengikuti International Visitor Leadership Program bertema Kejahatan Maritim, tertarik dengan tur gratis itu.
Kebetulan, kami semua belum pernah singgah di Korea Selatan. Setelah berdiskusi, kami memilih paket 5 jam dengan lokasi kunjungan adalah Istana Gyeongbokgung dan pusat penjualan suvenir di Insadong.
Kedua lokasi itu berada tepat di jantung Kota Seoul, ibu kota Korea Selatan.
Hanya dengan modal paspor serta boarding pass penerbangan sebelum dan lanjutan, kami dinyatakan dapat mengikuti tur gratis itu.
Kami bahkan tidak membutuhkan visa! Luar biasa. Petugas bandara pun mengarahkan kami untuk tidak melalui pemeriksaan imigrasi.
Kami bahkan tidak membutuhkan visa!
Namun, kami diarahkan melewati pintu pemeriksaan karantina seperti halnya bandara internasional lainnya. Mereka ingin memastikan kami tidak membawa binatang atau tanaman yang dapat membahayakan ketahanan Korea Selatan.
Setelah dari pemeriksaan, sudah menanti beberapa pemandu yang siap mengantarkan kami. ”Ini seperti berkah di balik delay penerbangan,” ujar Nur Asiyah, teman sesama rombongan dari Indonesia.
Seorang wanita paruh baya bernama Jean memperkenalkan diri sebagai pemandu kami. Di Korea Selatan, memang lazim bagi warga setempat untuk mempunyai nama sebutan dalam bahasa Inggris.
Selain kami berlima, turut bergabung lebih kurang 20 orang lagi. Misalnya, ada Raynald bersama keluarga yang juga sesama ”korban” penundaan keberangkatan Delta Airlines ke Detroit.
Sementara yang lain, kebanyakan penumpang transit yang sengaja memilih jadwal penerbangan dengan waktu transit lebih lama agar bisa menikmati tur di Seoul. Mendengar pengakuan mereka sungguh sangat mengejutkan.
Setelah naik bus selama lebih kurang 1 jam, kami tiba di pusat kota. ”Di sinilah jantung Seoul,” ujar Jean, saat kami tiba di depan Istana Gyeongbokgung.
Ribuan wisatawan terlihat telah memadati pelataran istana yang berdiri sejak tahun 1395 pada masa Dinasti Joseon itu. Istana Gyeongbokgung bahkan diklaim 25 tahun lebih tua dibandingkan Istana Terlarang di Beijing, China.
Bangunan istana itu terbuat dari kayu dengan lantai batu keramik batu. Kemegahannya memperlihatkan kekuatan Korea di masa lalu yang terwarisi hingga saat ini.
Di sebuah prasasti tertulis bahwa istana itu pernah dihancurkan pasukan Jepang yang menginvasi Korea pada tahun 1592. Namun kemudian, dibangun kembali pada tahun 1867.
Seusai menikmati kemegahan Istana Gyeongbokgung, wisatawan bergerak ke Insadong. Insadong adalah sebuah jalan tempat kawasan kultural di Seoul.
Deretan toko menjual berbagai pernak-pernik tradisional. Juga terdapat deretan kafe, dan bagi sebagian turis mereka sengaja mengunjungi Insadong untuk berbelanja oleh-oleh.
Di Insadong, wisatawan juga dapat merasakan makanan asli Korea. Salah satu makanan yang khas adalah nasi dengan lauk daging sapi.
Seusai berbelanja di Insadong, kami diantar kembali ke bandara.
Lalu, mengapa perjalanan ini digratiskan? Mengapa, kami boleh masuk ke wilayah Seoul tanpa visa dengan hanya berbekal paspor?
Menurut Jean, itulah cara Korea menggaet wisatawan mancanegara. Selain itu, Jean berkeyakinan pasti wisatawan akan berbelanja meski kunjungannya begitu singkat di Seoul.
Seusai berkeliling Seoul, Pemerintah Korea pun yakin penumpang yang terpuaskan pasti akan bercerita tentang keindahan Seoul. ”Tentu, akan ada orang yang ingin kembali datang ke sini,” ujarnya.
Saat perjalanan pulang ke bandara, Jean memberikan brosur wisata kepada para peserta tur gratis. Di atas brosur itu, ia menulis tiap nama peserta dalam bahasa Korea serta ucapan Saranghae yang berarti: aku cinta kamu.
Jean tampaknya ingin memberikan kesan baik bagi wisatawan asing yang datang ke negaranya.
Wisatawan yang diajak berkeliling bahkan tanpa harus membayar jasa pemandu, ongkos transportasi, dan biaya masuk ke lokasi wisata. Begitulah cara mereka menggaet hati wisatawan mancanegara.
Raynald, warga Filipina yang ikut dalam tur gratis itu, mengaku terkesan. Ia berencana jika suatu hari transit di Incheon, ia akan transit lebih lama.
Setidaknya, ia dapat menjelajahi destinasi wisata lainnya di Seoul. ”Mereka (Korea Selatan) membuat saya ingin kembali lagi,” katanya.
Indonesia idealnya dapat belajar dari Korea Selatan tentang bagaimana menggaet wisatawan mancanegara untuk singgah di negeri kita. Destinasi wisata kita, misalnya, jelas tidak kalah dengan Korea Selatan.
Singgah di Bali, bagi penumpang dari atau ke Australia, misalnya, jelas menarik karena mereka dapat diajak singgah di Kuta. Ini tinggal apakah kita punya niat atau tidak memanfaatkan kesempatan dalam delay-delay kita, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.