Drama Kehidupan dari Dasar Sungai yang Mengering di Jawa Tengah
Musim kemarau menandai kekeringan. Ketika musim itu melanda, di beberapa lokasi, masyarakat sulit mencari air dan lahan pertanian pun tidak produktif. Seorang jurnalis foto pun dituntut peka terhadap tanda-tanda alam itu sehingga mampu menyajikan fakta sesuai dengan musimnya.
Meski hari-hari ini di beberapa daerah mulai terlihat mendung, bahkan beberapa kota mulai diguyur hujan, minggu lalu kemarau masih terjadi di beberapa daerah. Saat ini pun masih ada kemarau di beberapa sudut Indonesia.
Minggu lalu, harian Kompas bahkan menampilkan foto utama tentang isu kemarau dan kekeringan yang melanda sejumlah tempat di Indonesia.
Selama enam hari berturut-turut dampak kekeringan menjadi foto halaman utama sejak 13 September 2018 hingga 18 September 2018. Halaman depan harian Kompas menampilkan kebakaran hutan, air waduk menyusut, sungai mengering, sampai warga kesulitan mendapatkan air.
Dari enam foto headline terkait dengan musim kemarau itu, saya menyumbang satu foto yang menceritakan bagaimana warga mencari air dari ceruk sungai. Sebagai jurnalis, mengabadikan peristiwa kekeringan dengan kamera seperti agenda tahunan yang terus berulang.
Mengulang kembali di lokasi yang sama atau tahun berikutnya berbeda tempat dengan persoalan sama, yaitu sulit air. Bagi sejumlah warga desa di wilayah Kabupaten Grobogan, Boyolali, dan Wonogiri, musim kemarau seperti drama kehidupan yang bersambung tanpa ada ujungnya.
Pengalaman sebelumnya membuat saya paham kapan dan harus mengarah ke mana ketika mencari foto berkaitan dengan isu kekeringan. Perjalanan jauh menemukan hal baru dan mewartakannya bagi pewarta foto, seperti saya, mengobati rasa jenuh rutinitas liputan harian.
Berkendara roda dua, dengan berbekal kamera lengkap dengan dua lensa, saya berangkat lebih pagi dari biasanya. Sebelum subuh, motor telah melaju mengejar waktu kebiasaan warga memulai aktivitasnya mencari air.
Mengetahui kebiasaan warga dari mulai kapan mereka berangkat sampai pulang menjadi patokan agar dapat momen yang terbaik untuk sebuah foto.
Mengetahui kebiasaan warga dari mulai kapan mereka berangkat sampai pulang menjadi patokan agar dapat momen yang terbaik untuk sebuah foto. Kenapa? Karena membutuhkan waktu dua hingga tiga jam perjalanan dari Semarang menuju Juwangi di perbatasan antara Kabupaten Grobogan dan Boyolali.
Kecamatan Juwangi bagi sejumlah teman jurnalis foto menjadi wilayah yang identik dengan krisis air. Begitu menyebut kata Juwangi bisa dipastikan sebagian teman jurnalis foto di Jawa Tengah memiliki pengalaman visual yang sama.
Kisahnya tentu tentang bagaimana warga berjuang mencari air di dasar sungai yang mengering. Bagaimana mereka membuat ceruk-ceruk di dasar sungai untuk mendapatkan sisa airnya.
Eddy Hasby, fotografer senior harian Kompas, 14 tahun lalu pernah menyinggahi Juwangi.
Kemudian, saya memulai perjalanan serupa sekitar lima tahun lalu. Kondisi Juwangi dengan sejumlah desanya yang dilanda kekeringan seakan banyak berubah kecuali akses jalan mulai membaik.
Penambahan instalasi air bersih dari PDAM ke rumah-rumah telah membuat warga yang mencari air dari ceruk sungai mulai berkurang. Meski demikian, sampai sekarang krisis air bersih di kawasan itu masih menjadi persoalan.
Musim kemarau tahun ini, rekan sejawat saya, Ferganata Indra Riatmoko, fotografer yang bertugas di Yogyakarta, juga mengunjungi Desa Jerukan, Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali.
Hampir belasan tahun setiap musim kemarau foto warga Juwangi yang membawa gayung, memikul tempayan selalu menghiasi halaman koran.
Bukan hanya Juwangi, beberapa wilayah terpencil di Jawa Tengah, seperti Blora, Kabupaten Semarang, dan Kendal, mengalami hal serupa saat kemarau tiba. Potret warga menunggu antrean kiriman dari truk tangki air sampai mencari air di berbagai sumber kerap saya jumpai.
Kekeringan menjadi masalah klasik yang selalu berulang dan seakan tak ada perbaikan infrastruktur air bersih yang berarti di kawasan itu. Hal inilah yang selalu menggugah jurnalis seperti Indra untuk kembali datang memotret di Juwangi.
Para juru foto seperti saya dan Indra akan berusaha menampilkan kehidupan warga yang berjuang keras untuk mendapatkan air. Harapannya, ketika foto itu disebarluaskan melalui media massa, hal itu dapat memberikan dampak perubahan.
Dari fotonya itu, Indra ingin menggugah kesadaran para pemangku kekuasaan dengan segera membuat kebijakan. ”Harapannya pemerintah segera dapat mengatasi persoalan kekeringan yang dihadapi warga,” kata Indra.
Bagi kami, tugas jurnalis foto adalah selalu hadir di tengah peristiwa dengan kondisi sesulit apa pun dengan mempertimbangkan keamanan diri.
Indra menceritakan perjalanan pertamanya menuju Juwangi sebagai petualangan kecil. Dia melintasi hutan jati dengan motornya dibantu aplikasi penunjuk arah serta bertanya kepada warga sekitar. Setelah itu, dilakukan pendekatan terhadap warga dengan membangun empati.
Sementara saat kemarau tahun ini, saya menyinggahi Desa Cekel, Kecamatan Karangayung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Jaraknya tidak terpaut jauh dengan Juwangi.
Minggu lalu, berbekal informasi dari teman jurnalis yang bertugas di wilayah Grobogan, saya menunggangi motor trail untuk menjangkau desa itu. Akses yang masih berupa batu-batu serasa perjalanan touring yang menantang.
Dalam perjalanan itu, saya menjumpai beberapa warga naik sepeda motor mengangkut jeriken menuju arah sungai kecil. Sebuah kebetulan dan tanpa harus banyak bertanya, motor trail yang saya tunggangi mengikuti mereka.
Drama kehidupan dan perjuangan warga tampak nyata di dasar sungai yang telah mengering itu. Beberapa warga bergerombol mengantre mengisi jeriken berkapasitas 20 liter hingga 30 liter.
Tidak jauh dari antrean warga di alur sungai yang sama terlihat Jumarti mencuci tumpukan pakaian kotor keluarganya. Baginya, alur Sungai Cekel yang berubah menjadi daratan itu adalah sumber kehidupan.
Belasan ceruk dari dasar sungai yang mengering masih menyisakan air guna memenuhi kebutuhan hampir 100 kepala keluarga dari dua dusun.
Beberapa warga mengatakan, sejumlah rumah memiliki instalasi air bersih, tetapi tidak berfungsi selama bertahun-tahun. Seakan menjadi sebuah ironi ketika tempat mereka yang relatif terjangkau Waduk Kedungombo tidak merasakan tetesan airnya.
Mereka berkeluh kesah menceritakan, setiap musim kemarau tiba, air sebagai barang yang mahal sulit didapatkan.
Mereka berkeluh kesah menceritakan, setiap musim kemarau tiba, air sebagai barang yang mahal sulit didapatkan. Beberapa perempuan tampak menggedong tempayan tanah liat dengan selendangnya berjalan melintasi kebun.
Saya selalu menyempatkan untuk menyapa ketika akan memotret. Mengajak mengobrol membicarakan musim kemarau, hasil panen, hingga keluarga. Membangun keakraban menjadikan saya menjadi bagian dari mereka yang juga mengalami kesulitan.
Dengan demikian, kehadiran saya dengan kamera yang mengarah ke wajah mereka tidak lagi berjarak dan asing. Bahkan, beberapa kali, saya harus melepaskan momen memotret untuk membantu mengangkat jeriken yang telah terisi air.
Tentu bagi seorang jurnalis foto, aktivitas mereka amat humanistis. Dari sisi fotografi juga sangat kuat dan syarat pesan kemanusiaan di dalamnya. Pesan dari foto yang dihasilkan melalui berbagai pendekatan visual adalah keinginan agar nasib warga bisa berubah.
Sepakat dengan Indra bahwa memotret warga yang terdampak kekeringan bukanlah upaya eksploitasi secara visual. Gambar dramatis yang dihasilkan justru bertujuan menggugah kesadaran kita terhadap sesama dan lingkungan.
Memublikasikannya menjadi sebuah keharusan dengan harapan agar tahun depan mereka dapat melewati kemarau tanpa harus bersusah payah….