Perjalanan Pewarta Foto ”Kompas” Menjadi Relawan di Lombok
Dari balik jendela pesawat, Pulau Lombok mulai terlihat. Sesaat sebelum roda-roda pesawat itu menyentuh landasan, terlihat sawah yang mengering. Lombok memang sedang berduka, dan saya hadir di Lombok dengan niat baik untuk membantu meringankan duka mereka.
Minggu (5/8/2018), gempa bumi menggoyang Lombok. Dengan kekuatan media sosial dan media massa, kabar langsung menyebar tak hanya ke seluruh Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Dalam hitungan menit, tersiar kabar tentang korban-korban yang berjatuhan.
Di Lombok, harian Kompas diperkuat oleh seorang wartawan senior, Khaerul Anwar. Sebuah kemewahan karena Pulau Sumbawa, yang lebih besar di sisi timur Lombok, tidak ”dikawal” secara khusus oleh seorang wartawan Kompas.
Sebelumnya, saya diminta membantu liputan erupsi Gunung Agung, kali ini saya tidak diminta kantor redaksi untuk meliput bencana Lombok. Harian Kompas kerap menugaskan wartawan ataupun pewarta foto secara bergiliran supaya tiap individu mendapatkan pengalaman yang membantu pengembangan dirinya.
Dengan demikian, wartawan dan pewarta foto Kompas lainnya telah diterbangkan ke Lombok untuk membantu Bang Khaerul. Meski demikian, tiap malam saya tidak tidur dengan nyenyak. ”Apa yang bisa saya lakukan demi Lombok?’’ pertanyaan itu berkali-kali terdengar dari dalam diri saya.
Apa yang bisa saya lakukan demi Lombok?
Begitu banyak foto dan potongan video pengungsi Lombok yang kemudian saya saksikan dari Surabaya, dari kota di mana saya bertugas. Tiap hari, harian Kompas juga menyajikan berita tragedi Lombok.
Komunikasi pun dijalin dengan wartawan Kompas, Iqbal Basyari, yang ditugaskan ke Lombok. Dari Iqbal, saya mengetahui bahwa kondisi anak-anak Lombok cukup mengkhawatirkan. Kondisi fisik mereka baik-baik saja, tetapi anak-anak itu ”tergores”.
Ternyata, ketika itu masih jarang posko-posko trauma healing yang khusus menangani masalah trauma pada anak. Hingga seminggu setelah gempa bumi, juga belum ada sekolah darurat sehingga anak-anak itu belum disentuh oleh para pendidik.
Informasi dari Iqbal seolah memanggil-manggil saya untuk terbang ke Lombok. Panggilan itu awalnya tidak menyentuh saya sebagai seorang jurnalis, tetapi lebih sebagai relawan. Kemanusiaan saya sebagai seorang ayah terusik.
Kebetulan, saya mengelola Perpustakaan Boneka. Perpustakaan Boneka itu saya dirikan bersama anak saya, Annada Sanjiwani Patria. Itu adalah sebuah perpustakaan yang rutin dibuka tiap akhir pekan untuk meminjamkan boneka tangan di Taman Bungkul, Surabaya.
Menjual barang pribadi
Karena bukan perjalanan dinas, dan merupakan perjalanan pribadi, saya mulai mencari akal untuk dapat menutupi segala pengeluaran di sana. Karena sudah punya niat, akhirnya saya menjual beberapa barang milik pribadi. Hasilnya tidak seberapa, tapi saya rasa cukup untuk dapat menuju Lombok.
Karena sudah punya niat, akhirnya saya menjual beberapa barang milik pribadi.
Sembilan hari berselang sejak hari-H gempa, saya terbang ke Lombok. Meski tidak dalam urusan dinas, saya memutuskan tetap membawa kamera dan laptop. Selain untuk kepentingan dokumentasi, juga untuk membekali diri siapa tahu ada kondisi darurat yang harus saya liput.
Sebagaimana biasanya, saya juga melakukan riset termasuk mengontak para jurnalis di lapangan untuk mengetahui kondisi terkini di Lombok. Saya juga telah menyiapkan diri menghadapi rute dan lokasi terparah di Lombok.
Seorang teman kemudian ikut mendampingi. Untuk perjalanan selama 10 hari, kami membawa tenda, delapan puluh boneka tangan, buku anak-anak titipan teman-teman, dan kebutuhan pribadi. Total berat barang bawaan kami mencapai 44 kilogram.
Begitu mendarat di Bandara Internasional Lombok, ternyata bandara itu begitu sepi. Gempa bumi menyebabkan wisatawan memilih untuk tidak berwisata di Lombok.
Dari bandara, saya memilih menumpang bus Damri menuju pusat Kota Mataram. Di terminal bus di Kota Mataram, saya beralih menyewa sepeda motor.
Waktu telah menunjukkan pukul 12.00. Cuaca sangat terik saat memulai perjalanan menuju Lombok Utara. Kami tidak dapat melaju dengan cepat karena barang bawaan menyita hampir tiga perempat dari bangku sepeda motor.
Melihat rumah-rumah yang hancur, saya terkenang pada dampak dari gempa Yogyakarta tahun 2006. Walau peristiwa itu sudah lama berlalu, saya tetap terkenang pada tragedi itu.
Namun, kali ini saya lebih bersemangat karena mengemban misi kemanusiaan. Saya ingin menemani anak-anak di pengungsian dengan bermain boneka tangan.
”Mas trauma healer? Mas pendongeng?” Begitu pertanyaan dari banyak relawan yang saya temui di bandara. Mereka penasaran dengan gerakan yang akan saya lakukan.
”Bukan Mas, saya hanya pengelola perpustakaan boneka. Pekerjaan utama saya wartawan, tapi kali ini saya datang menjadi relawan. Nanti, anak-anak bisa pinjam boneka tangan dari saya,” demikian saya jelaskan kepada mereka.
Tiba di Kecamatan Gangga, Lombok Utara, hari sudah sore. Matahari hampir terbenam. ”Sore ini juga perpustakaan akan saya buka,” ujar saya kepada Anwar, teman saya. Kebetulan, tenda kami bersebelahan dengan lokasi pengungsian besar, yakni pengungsian Lapangan Gangga.
Malam harinya, ada pertanyaan besar di dalam diri saya. ”Apakah saya benar-benar bisa menjadi relawan? Dan, menyimpan rapat-rapat semangat jurnalisme di dalam diri?”
Pertanyaan itu terjawab pada 17 Agustus 2018. Untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI, para pengungsi ikut dalam upacara. Mereka dapat saja memilih berdiam di dalam tenda atau berkegiatan lain. Namun, ternyata mereka berbaris, memberi hormat kepada Sang Saka Merah Putih dengan diiringi lagu ”Indonesia Raya”.
”Mengangkat” kamera
Karena akan banyak kegiatan, yang difasilitasi relawan pada hari itu, saya memilih tidak membuka perpustakaan boneka. Saya memilih ”mengangkat” kamera pribadi untuk berkeliling mendokumentasikan semangat para korban dalam memperingati Hari Kemerdekaan RI. Saya terharu dengan antusiasme mereka.
Saya kemudian mengabarkan kepada editor foto bahwa akan ada kiriman foto dari Lombok tentang kemeriahan peringatan Hari Kemerdekaan RI dari Lombok Utara. Esok harinya, foto tersebut dicetak di harian Kompas.
Meski sedang cuti, akhirnya saya memutuskan tetap memotret. Ternyata, meski sedang menjadi relawan, panggilan kerja jurnalistik tetap tidak dapat saya abaikan.
Meski sedang menjadi relawan, panggilan kerja jurnalistik tetap tidak dapat saya abaikan.
Keesokan harinya, perpustakaan boneka kembali beroperasi. Dengan sepeda motor, saya berkeliling ke beberapa desa dengan tas besar di punggung berisi boneka. Saya bahkan berkeliling hingga jauh ke pegunungan.
Senang rasanya melihat anak-anak bergembira. Setidaknya dalam pertemuan yang singkat tersebut boneka-boneka tangan beraneka rupa binatang tersebut mengembalikan keceriaan anak-anak.
Sebagai dokumentasi perpustakaan, saya menggunakan pendekatan foto portrait untuk menggambarkan anak-anak yang sedang bermain. Meski hanya dokumentasi, saya memotret dengan sepenuh hati dengan data yang valid.
Hari Minggu (19/8/2018), gempa kembali melanda Lombok. Walau dengan kekuatan dan kedalaman yang sama, gempa tersebut tidak menciptakan kehancuran. Namun, warga yang masih trauma pun tambah panik.
Di tengah kondisi gelap karena listrik mati, para relawan yang bermalam di halaman Kantor Dinas Perhubungan Lombok Utara pun terjaga. Tentara, SAR, dan relawan memilih mencari informasi mengenai kemungkinan adanya tsunami.
Saya segera menyiapkan segala sesuatu. Tas berisi laptop dan kamera telah dipersiapkan jika harus mengungsi ketika mendapatkan informasi tsunami. Untung saja, dari radio panggil diketahui bahwa gempa tersebut tidak berpotensi tsunami. ”Alhamdulillah,” ujar saya di dalam hati.
Beruntung, tenda dome yang saya dirikan bersebelahan dengan tenda SAR Surabaya. Dengan demikian, saya mudah mendapatkan informasi terkini.
Namun, malam itu, semua relawan memutuskan tidur di luar tenda, termasuk saya. Sambil rebahan melihat bintang-bintang, saya berpikir, ”Sampai kapan hal seperti ini terjadi?” ”Harus ada hal lain yang saya lakukan selain menghibur anak-anak,” ujar saya sebelum akhirnya terlelap sampai pagi.
Mewartakan lewat ”Kompas”
Akhirnya, saya putuskan untuk kembali memotret. Tujuannya, untuk mengabarkan kondisi terkini dari saudara-saudara kita di Lombok. Tentu, saya telah cukup membantu sebagai relawan, tetapi saya ingin memaksimalkan pewartaan kabar melalui harian Kompas, media tempat saya bekerja.
Ketika foto-foto saya termuat—terutama terkait aktivitas tentang boneka tangan—apresiasi pun mengalir dari relasi dan teman-teman sesama pewarta foto.
Namun, yang utama bagi saya, tentu saja adalah foto-foto tersebut kiranya dapat menimbulkan kesadaran tidak berkesudahan bagi banyak orang untuk terus memberikan perhatian serta bantuan bagi korban gempa di Lombok.
Harian Kompas kemudian memfasilitasi dana dari pembaca Kompas untuk membantu pembangunan sarana pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di Lombok, NTB.
Bantuan pembaca Kompas dialokasikan untuk pembangunan Puskesmas Nipah beserta ruang rawat inap dan rumah dinas dokter di Desa Malaka, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.
Selain itu, bantuan juga diberikan untuk masyarakat Lombok Timur berupa gedung SDN 3 Sajang di Kecamatan Sembalun serta gedung SDN 3 Bengkaung di Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat. Total bantuan yang disalurkan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) mencapai Rp 11 miliar.
Bantuan yang saya berikan jelas jauh lebih kecil dari bantuan yang diberikan melalui DKK. Namun, seberapa pun nilainya, kerja kemanusiaan yang saya lakukan ikhlas diberikan bagi mereka, saudara-saudara kita di Lombok.
Hingga kini, tawa anak-anak saat bermain boneka masih jelas terdengar di telinga saya.
Hingga kini, tawa anak-anak saat bermain boneka masih jelas terdengar di telinga saya. Semoga mereka masih diberikan kesehatan dan semangat untuk dapat melanjutkan hidup dan kehidupan di Pulau Lombok.