Menjajal Dreamliner Gres dari Pabriknya
Menumpang perahu motor dengan lebar kurang dari enam jengkal tangan di tengah gelombang tinggi, itu hal biasa bagi saya. Namun, saat hendak mengikuti penerbangan perdana pesawat yang baru keluar dari pabrik, itu saya merasa gugup.
Bayangan sabotase produk baru seperti yang tergambar dalam film-film serta kenangan akan peristiwa buruk penerbangan perdana yang berakhir dengan duka seketika datang di hadapan saya. Tutup mata dan berdoa agar selamat dalam penerbangan.
Pada Senin (26/3/2018) sekitar pukul 22.00 waktu Charleston, South Carolina, Amerika Serikat, Capt Alan Chan, pilot bersama tim, mulai menggerakkan pesawat penumpang terbaru Boeing, yakni Boeing 787-10 Dreamliner.
Roda pesawat bergerak dari markas Boeing menuju landasan pacu Bandar Udara Internasional Charleston yang tak jauh dari markas. Pilot kemudian mengambil ancang-ancang untuk terbang.
Setelah melaju lebih kurang 24 detik di landasan, burung besi dengan bobot maksimal 250 ton itu pun melayang menaklukkan gravitasi. Setelah mengudara di atas kota yang berada di tepian Samudera Atlantik itu, pesawat berbelok ke arah barat dan terus melangit hingga ketinggian sekitar 38.000 kaki atau 11,6 kilometer di atas permukaan laut. Pesawat bergerak membelah daratan Benua Amerika menuju sisi utara Samudera Pasifik.
Haluan pesawat menuju Osaka, Jepang, yang terpaut sekitar 14.510 kilometer dari Charleston dengan perkiraan waktu tempuh sekitar 13 jam 39 menit. Inilah penerbangan terjauh pesawat Boeing 787-10 setelah diluncurkan tahun lalu. Singapore Airlines menjadi maskapai pertama yang mengoperasikan pesawat jenis tersebut. Pesawat ini diberi nomor penerbangan SQ 8878.
Penumpang pesawat umumnya para jurnalis dari sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Singapura, dan Indonesia. Jurnalis dari Indonesia hanya dua orang, yakni Kompas dan The Jakarta Post. Ikut dalam penerbangan itu CEO Singapore Airlines Goh Choon Phong dan beberapa staf perusahaan yang datang dari Singapura khusus untuk menjemput pesawat tersebut.
Semua penumpang mengisi deretan kursi di kabin bisnis yang berjumlah 36 buah. Sisanya 301 kursi untuk kelas ekonomi. Total 337 kursi. Seorang awak kabin dengan senyum ramah menyapa dan menawarkan makanan serta minuman setelah lampu tandakan kenakan sabuk pengaman dipadamkan. Sambil jongkok di samping, ia menyodorkan daftar makanan. Pramugari itu sepertinya ingin sejajar dengan tamu.
“Semua yang ada di sini baru. Anda orang pertama yang menggunakan tempat duduk ini,” ujar pramugari yang diketahui bernama Joe itu. Ia lantas memperkenalkan fungsi sejumlah fitur yang ada di tempat duduk seperti pangaturan sandaran kursi, menyetel kursi menjadi tempat tidur, dan sandaran kaki. Ia juga menunjukkan kotak penyimpan telepon genggam atau barang berharga lain, dan tentu saja tempat colokan untuk mengecas telepon genggam.
Semua kursi di kabin bisnis terhubung langsung dengan lorong. Kursi disusun berderet dengan pola 1-2-1. Artinya, satu kursi dekat jendela, lorong, kemudian dua kursi, lorong, dan satu kursi lagi dekat jendela di sisi seberang. Hal ini memudahkan penumpang untuk keluar masuk dari tempat duduk.
Ia lalu memberikan kode akses jaringan Wi-Fi yang tersedia 24 jam selama penerbangan. Wi-Fi mulai tersambung setelah ketinggian jelajah di atas 10.000 kaki dari permukaan laut. Penumpang dengan mudah memberi kabar kepada keluarga tentang kondisi penerbangan. Perjalanan pun serasa sempurna.
Chan mengingatkan penumpang bahwa jalur yang dilewati pesawat sedikit berawan. Guncangan ringan itu mulai terasa setelah delapan jam terbang dari Charleston. Sepertinya pesawat dengan panjang sekitar 68 meter itu sedang berada dalam selimutan awan.
Namun, guncangan itu tak sekuat seperti dalam penerbangan dari Singapura ke Frankfurt, Jerman, yang dialami Kompas empat hari sebelumnya. Dari monitor penumpang, terlihat ketinggian jelajah antara 38.000 hingga 40.000 kaki. Pesawat akhirnya mendarat di Osaka, Jepang, sekitar pukul 01.53 waktu setempat.
Setelah transit selama dua jam, penerbangan selanjutnya dipimpin oleh Capt Ian Cheng dari Osaka menuju Singapura yang terpaut 6.038 kilometer dengan perkiraan waktu tempuh 6 jam dan 26 menit. Pesawat mendarat di Bandar Udara Internasional Changi Singapura sekitar pukul 10.00 waktu setempat. Waktu tempuh nyaris sama dengan perkiraan sebelumnya.
CEO Singapore Airlines Goh Choon Phong mengatakan, mereka memesan 46 unit pesawat B787-10, dan baru satu unit ini yang sudah bisa dibawa pulang. B787-10 merupakan yang terbesar dari varian B787. Sebelumnya Boeing memproduksi B787-8 dan B787-9. Untuk kapasitas penumpang misalnya, B787-8 sebanyak 242 penumpang dan B787-9 290 penumpang.
Menurut Phong, pesawat itu akan melayani dua rute, yakni Singapura-Osaka dan Singapura-Perth, Australia. Namun, ada peluang pesawat itu dapat mengisi rute di Indonesia. Indonesia, bagi Phong merupakan peluang pasar yang besar untuk bisnis penerbangan. Mengoperasikan pesawat lebih besar dengan pelayanan prima adalah kunci memenangkan kompetisi.
Saat ini, Singapore Airlines melayani tiga kota di Indonesia, yakni Jakarta; Surabaya, Jawa Timur; dan Denpasar, Bali. Dalam satu hari, penerbangan pulang-pergi Jakarta sebanyak 9 kali, Surabaya 1 kali, dan Denpasar 4 kali.
Pusat pelatihan
Pelayanan prima di atas pesawat itu lahir dari pendidikan dan pelatihan dengan disiplin yang sangat tinggi. Kompas diajak menyambangi pusat pelatihan awak kabin milik Singapura Airlines di kawasan Changi. Di lokasi itu awak kabin dilatih mulai dari cara jalan, menyapa tamu, menyajikan makan, saat keadaan darurat, dan juga bela diri.
Untuk pelayanan, mereka dilatih banyak pelatih termasuk mantan pramugari. Di dalam gedung pelatihan itu dibangun contoh (mock-up) pesawat lengkap dengan interior dan aksesori sama seperti pesawat aslinya. Semua peralatan itu juga berfungsi seperti dalam pesawat yang sebenarnya. Ada dua mock up pesawat di pusat pelatihan itu, yakni Boeing 777 dan Airbus 380, sesuai dengan armada yang dioperasikan Singapore Airlines.
Manager Public Relation pada kantor Singapore Airlines di Jakarta, Glory Henriette, yang ikut dalam kunjungan itu menuturkan, seseorang yang lulus seleksi awal pramugari harus mengikuti pelatihan selama 14 minggu sebelum diizinkan terbang. Pada awalnya, mereka ditempatkan di kelas ekonomi. Setelah satu setengah tahun, mereka kembali mengikuti pelatihan ulang dan selanjutnya secara berkala. Jika dinilai bagus, akan dipromosikan untuk kabin bisnis.
Di gedung lain yang saling terhubung, terdapat bangunan menyerupai pesawat, perahu sekoci, dan kolam. Di situ pada awak kabin dilatih ketika menghadapi kondisi daurat di air. Setiap pesawat memiliki pintu dengan cara pengoperasian yang berbeda. Setiap awak kabin wajib menguasai teknik penyelamatan pada semua jenis pesawat yang digunakan maskapai.