”Tertampar” Saat Meliput Asian Para Games 2018
Jangan pernah menghitung apa yang hilang, tetapi belajarlah untuk memanfaatkan apa yang tersisa. Begitulah pelajaran hidup yang saya dapatkan selama meliput Asian Para Games, mulai dari pelatnas hingga saatnya pelaksanaan kejuaraan di Jakarta pada 6-13 Oktober 2018.
Pada pertengahan September 2018, saya mendapat kesempatan meliput pelatnas atlet-atlet disabilitas di Solo, Jawa Tengah, bersama fotografer Agus Susanto, videografer Lucky Pransiska, produser Aqida Swamurti, dan jurnalis Kelvin Hianusa.
Beberapa atlet yang diliput di antaranya atlet lompat jauh Setiyo Budihartanto, pebulu tangkis Wiwin Andri, perenang Jendi Pangabean dan Guntur, atlet sepeda tangan Jaenal Aripin, serta atlet angkat berat Ni Nengah Widiasih.
Tim Kompas melihat atlet-atlet berlatih, mewawancarai mereka, mengunjungi tempat tinggal, dan bertemu dengan keluarga atlet. Sejak awal liputan, kami bersepakat untuk menunjukkan semangat perjuangan atlet. Jangan sampai liputan justru terjebak pada kisah sedih semata. Kami ingin menginspirasi pembaca dan merayakan perbedaan manusia.
Kami ingin menginspirasi pembaca dan merayakan perbedaan manusia.
Perenang Jendi Pangabean membuktikan bahwa manusia ditakdirkan dapat berjuang menembus keterbatasan diri. Jendi kehilangan kaki kirinya akibat kecelakaan lalu lintas ketika dia berusia 12 tahun. Meski mengalami peristiwa naas saat masa remaja, Jendi tidak menyerah.
Semangat itu dibuktikan dengan tetap bersekolah ke bangku SMP. ”Hal yang saya pikirkan waktu itu adalah gimana bisa melanjutkan kehidupan. Saya mengalami kecelakaan menjelang lulus SD. Setelah kaki diamputasi, saya tetap ingin melanjutkan sekolah. Saat itu, orangtua dan keluarga sebenarnya mengusulkan agar saya istirahat dulu, tapi saya menolak,” katanya.
Di sekolah, Jendi menunjukkan sikap pantang menyerah. Dia tidak pernah melewatkan kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga atau pramuka. Padahal, kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan di luar ruang terkadang hingga dilakukan di hutan belantara.
Semangat pantang menyerah seorang Jendi kemudian menginspirasi teman-temannya yang non-disabilitas untuk tidak pernah menyerah atau lembek dalam menjalani kehidupan.
Pebulu tangkis Wiwin Andri juga menunjukkan semangat untuk bangkit. Sama seperti Jendi, pemuda ini kehilangan kaki akibat kecelakaan lalu lintas pada tahun 2013.
Sempat hidup terpuruk, Wiwin kini bangkit. Jalan hidup membawanya menggeluti bulu tangkis. Olahraga ini telah memberikan semangat, percaya diri, dan harapan baru dalam menjalani kehidupan.
Daripada menghitung apa yang hilang, kenapa kita tidak berusaha memanfaatkan apa yang tersisa.
Wiwin mengatakan, manusia kerap kali menghitung apa yang hilang dari hidupnya. Padahal, dari yang hilang itu Tuhan telah mengganti dengan sesuatu yang lebih berharga.
”Daripada menghitung apa yang hilang, kenapa kita tidak berusaha memanfaatkan apa yang tersisa agar dapat menjalani hidup dengan lebih baik lagi,” kata Wiwin. Saya seolah tertampar oleh kata-kata bijak dari Wiwin.
Sikap dan cara berpikir seperti itu membuat atlet-atlet Indonesia mengukir sejumlah prestasi. Karena hidup mereka lebih tercerahkan, para atlet kita lebih lebih percaya diri dan bersemangat. Perjuangan dan prestasi atlet difabel kian mengukuhkan bahwa setiap manusia bisa menembus keterbatasan diri selama ada kemauan dan kerja keras.
Dalam liputan ini, banyak juga peristiwa menarik. Ketika meliput keseharian atlet lompat jauh Setiyo Budihartanto di rumahnya, tiba-tiba hujan deras turun di Solo dan lampu padam. Padahal, pengambilan video dilakukan pada malam hari.
Ketika itu, videografer Lucky Pransiska, produser Aqida Swamurti, dan saya sudah bersiap mengambil gambar interaksi Setiyo dan keluarga.
Wajah Mas Uki (panggilan Lucky Pransisca) pun langsung pucat karena situasi di lapangan berjalan tidak sesuai harapan. Akhirnya, dengan penerangan seadanya, Mas Uki tetap mengambil gambar di rumah Setiyo. Dan, hasilnya pun justru menjadi artistik.
Pengalaman menarik lain adalah ketika saya bertemu Christianto (27) dari kelompok tunarungu Ka-Ta (Karya Penyandang Disabilitas) di Zona Inspirasi, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Pertemuan itu terjadi satu hari menjelang penutupan Asian Para Games.
Saya memang ingin mewawancarai Christianto untuk tulisan mengenai potensi warga disabilitas.
Saat itu, Christianto sedang menjaga stand barang-barang kerajinan tangan karya para penyandang disabilitas.
Saya kemudian menyapa Christianto. Ketika disapa, mulanya Christianto kebingungan. Saya juga kebingungan bagaimana harus berinteraksi dengannya.
Senyum selebar mungkin saya tampilkan sambil melambaikan tangan, ”Halo, boleh berkenalan?” kata saya, sambil mengencangkan volume suara. Tiba-tiba saja, seorang perempuan nyeletuk: ”Mbak, dia tuli. Teriak sekencang apa pun dia tidak bisa mendengar!”
Jujur saja, saya sangat jarang berinteraksi dengan teman-teman disabilitas, seperti kaum tunarungu atau tunanetra. Seketika saya merasa canggung.
Saat melihat saya kebingungan, Christianto lalu menunjuk buku tulis yang saya bawa. Dia memberi gerakan isyarat agar saya menuliskan pertanyaan di buku tulis itu. Berkat usul Christianto, kendala komunikasi terpecahkan!
Selanjutnya, kami berbicara dalam sunyi. Dengan bahasa tulisan, kami bertukar pesan. Pertanyaan dan jawaban ditulis dalam secarik kertas. Christianto sangat aktif menjawab pertanyaan.
Meski terkadang, dia terlihat kebingungan dengan pertanyaan saya, ”Tulisan kamu jelek, tidak bisa dibaca!” katanya dalam bahasa isyarat. Ternyata, Christianto tidak bingung hanya saja tulisan saya yang tidak terbaca.
Percakapan dengan Christianto mengingatkan saya ketika belajar di SD. Kami dulu ngobrol dengan teman melalui secarik kertas agar tidak dimarahi guru karena berisik di kelas.
Selanjutnya, Christianto mengenalkan saya kepada temannya, Deden. Pemuda itu bertanya apakah saya mau belajar bahasa isyarat. Saya mengangguk.
Deden kemudian mengajarkan saya sejumlah gerakan bahasa isyarat. Setelah saya mengerti beberapa istilah dalam bahasa isyarat, perbincangan menjadi lebih lancar dan cepat karena tidak harus bertukar pesan dalam tulisan lagi.
Dari liputan itu, saya baru sadar, sebenarnya saya yang mempunyai keterbatasan karena tidak bisa bahasa isyarat. Berkat teman-teman tuli ini, yang selama ini dianggap mempunyai kekurangan dan keterbatasan, saya justru mempelajari hal baru.
Dalam hidup ini, kita sering menuntut orang lain mengerti bahasa kita sehari-hari. Namun, mengapa kita tidak pernah berusaha memahami bahasa mereka?
Hal yang paling menyentuh bagi saya adalah ketika Christianto mengatakan (dalam bahasa isyarat): ”Saya tuli, saya tidak bisa mendengar. Tetapi, saya senang kalau ada yang menyapa dan berbicara dengan saya!”
Hati ini langsung tersentil, apakah sikap saya selama ini sudah ramah dengan teman-teman disabilitas?
Apakah saya mau berinteraksi dengan orang dengan kondisi fisik atau intelektualitas berbeda? Apakah saya sering melakukan tindakan yang memarjinalkan teman-teman berkebutuhan khusus?
Liputan Asian Para Games menyadarkan akan makna hidup dalam merangkul keberagaman dan mengupayakan masyarakat yang inklusif dalam hidup sehari-hari. Beberapa teman juga membawa serta anak-anak mereka untuk menonton pertandingan sebagai upaya pembelajaran terhadap anak-anak mereka.
Apabila kesempatan itu dimaksimalkan, sebenarnya kita dapat sama-sama belajar dari saudara-saudara kita kaum disabilitas. Asian Para Games juga belum tentu dapat kembali digelar di Jakarta dalam hitungan 50 tahun lagi.
Apa pun, dengan segala kelebihan dan kekurangan, Pemerintah Indonesia sudah menyediakan fasilitas-fasilitas ramah disabilitas, seperti trotoar dengan penunjuk arah untuk kaum tunanetra. Bus transjakarta dan KRL juga sudah memberikan kursi dan ruang khusus untuk kaum disabilitas dan pengguna kursi roda.
Masalahnya adalah apakah kita mau berbagi dengan mereka, sahabat-sahabat disabilitas?