Menanti Hercules Terbang Menuju Palu
Selalu ada saat pertama untuk semua hal. Begitu pula dengan pengalaman pertama naik pesawat Hercules. Pengalaman itu didapat setelah kantor menugaskan saya untuk meliput gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah.
Sehari setelah gempa dan tsunami Sulawesi Tengah, tepatnya hari Sabtu (29/9/2018), saya diminta bersiap untuk menggantikan reporter yang terlebih dahulu berangkat meliput.
Ini pola liputan yang biasa dilakukan oleh harian Kompas tiap kali ada liputan bencana. Seingat saya, pola itu dilakukan saat tsunami Aceh, gempa Padang, ataupun gempa Lombok.
Tujuannya, supaya reporter selalu dalam kondisi segar karena situasi dalam kawasan bencana yang tidak ringan. Hal lain adalah untuk memberikan kesempatan bagi wartawan lain untuk mempelajari metode peliputan di kawasan bencana.
Permintaan untuk bersiap ”untuk menggantikan” saya artikan sebagai jadwal keberangkatan yang mungkin baru akan terjadi beberapa minggu kemudian.
Namun, rencana berubah. Hari Sabtu sekitar pukul 21.00, editor meminta saya terbang ke Palu pada hari Minggu (30/9/2018) pukul 04.30 dengan Hercules TNI AU. Hercules itu dijadwalkan terbang dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Pastinya, saya kelabakan. Hanya ada waktu beberapa jam untuk mempersiapkan diri. Saya segera menelepon istri untuk menyiapkan ransel dan pakaian.
Saya juga bergegas pulang dari kantor untuk berbelanja logistik. Di kawasan bencana, saya duga pasti sulit mendapatkan logistik. Aktivitas perdagangan biasanya terhenti sehingga tidak mudah untuk mendapatkan makanan.
Malam itu, sambil mempersiapkan diri, saya ”minta arahan” dari teman-teman wartawan Kompas yang sudah berulang kali naik pesawat dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Bagaimana tips melewati pos penjagaan hingga melenggang ke perut Hercules.
Ternyata, prosedurnya tidak sederhana. Maklum, Halim Perdanakusuma adalah pangkalan militer, bukan bandar udara sipil.
Saya ingat kata-kata teman saya. ”Jangan mikir sampai ke Palu. Yang pertama lo bisa masuk pangkalan dulu. Sampai pangkalan, belum tentu bisa naik (Hercules),” katanya.
”Sampai di sana (pangkalan) cari orang operasional. Mereka yang berwenang. Lo harus banyak beramal,” ditambahkannya.
Tanpa mandi
Setelah tertidur selama 30 menit, saya berangkat dari rumah di Cipadu, Tangerang Selatan, Banten, pada pukul 02.00 tanpa mandi. Waktu begitu terbatas, saya khawatir tertinggal penerbangan pukul 04.30. Kesempatan untuk mandi baru didapat pada hari Rabu atau tiga hari kemudian!
Kesempatan mandi baru didapat tiga hari kemudian!
Tiba di pos penjagaan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma sekitar pukul 03.00, ternyata Halim sudah ramai. Ternyata benar, tidak mudah untuk masuk ke Lanud Halim.
Ketika penerbangan komersial lumpuh, maka pilihan untuk terbang ke Palu tentu dengan menumpang pesawat militer. Tidak heran bila telah banyak wartawan, sukarelawan, hingga sejumlah orang dari berbagai latar belakang yang berharap dapat terangkut Hercules ke Palu.
Wajah mereka semua mengantuk karena kurang tidur, sama seperti saya.
Seorang perwira TNI AU kemudian memberikan briefing kepada para wartawan. Intinya, TNI AU tidak bisa menjamin keberangkatan wartawan ke Palu karena Hercules diprioritaskan untuk mengangkut bantuan, sukarelawan, dan keluarga korban.
Meski niat kami baik untuk mewartakan kabar terkini dari Sulawesi Tengah dan untuk ”menggerakkan” rakyat Indonesia demi saudara di Sulteng, alasan TNI AU dapat kami terima.
Waktu pun berlalu. Usai azan Subuh, terdengar deru mesin pesawat Hercules menjauh. Hercules pertama terbang tanpa saya. Tenang, saya berpikir masih ada Hercules lainnya.
Pukul 05.00, saya dipanggil masuk ke dalam pangkalan. Karena jarak dari pos penjagaan ke dalam pangkalan cukup jauh, saya menumpang mobil dinas TNI AU.
Perasaan saya sedikit lega. Paling tidak, saya sudah maju selangkah, tidak lagi sekadar menunggu di pos penjagaan. Walau ternyata, perjuangan lebih berat dimulai. Saya diminta menunggu sampai ada panggilan tanpa kejelasan jam keberangkatan.
Dari pukul 05.00 ke pukul 09.00, belum juga ada tanda-tanda keberangkatan. Sementara satu per satu pesawat telah lepas landas.
Saya duduk di bawah pohon, tidak jauh dari apron, mencoba untuk tidur tapi tak bisa tertidur. Saya gelisah. Ketika ada anggota TNI AU melintas, saya langsung terduduk tegak meski dia ternyata hanya melintas saja. Saya mulai mengirim pesan ke editor bahwa keberangkatan ke Palu belum dapat dipastikan.
Hari semakin siang. Karena semakin tak sabar, saya berdiri lalu mencari perwira TNI AU yang tadi memanggil saya masuk ke dalam pangkalan.
Perwira itu terkejut. ”Lho, Mas belum berangkat? Saya pikir sudah berangkat dari tadi,” kata perwira itu dengan wajah penuh keheranan.
Lho, Mas belum berangkat?
”Belum, Pak. Saya menunggu dipanggil, katanya disuruh menunggu,” kata saya.
Kemudian, saya hanya dapat terdiam mencoba bersabar. Di ruang tunggu, saya lihat masih banyak sukarelawan, keluarga korban, dan wartawan yang belum terangkut.
Semua punya kepentingan serupa untuk meringankan beban korban gempa dan tsunami. Namun, tentu ada keterbatasan dalam infrastruktur transportasi.
Informasi pun berseliweran. Salah satunya adalah Hercules terakhir dari Halim Perdanakusuma yang dijadwalkan berangkat pukul 13.00 akan dipercepat jadi terbang pukul 11.00. Itu peluang terakhir saya untuk berangkat ke Palu pada hari itu juga.
Saya pun banyak berdoa agar dapat diterbangkan. Terbayang pula rekan wartawan Kompas di Palu, Videl Jemali, yang rumahnya tersedot likuefaksi. Keberangkatan saya ke Palu tentu demi warga Palu, Donggala, serta warga lain di Sulawesi Tengah.
Ternyata, sekitar pukul 10.00, nama saya dipanggil untuk masuk pesawat. Setelah menyelesaikan administrasi, saya masuk ke dalam bus yang membawa penumpang dari ruang tunggu ke apron di mana Hercules itu sedang dipersiapkan untuk terbang.
Saya lega sekali. Dari dalam bus, saya mengacungkan jempol sambil tersenyum kepada para anggota TNI AU yang sejak dini hari tadi saya ”kejar-kejar”.
Apabila dihitung, saya menunggu tidak kurang dari delapan jam mulai pukul 03.00 sampai 11.00. Itu lebih lama dari waktu penerbangan saya beberapa waktu lalu dari Jakarta menuju Tokyo, Jepang.
Mesin Hercules menderu tepat pukul 11.00. Pesawat itu segera melaju di landasan pacu untuk kemudian terbang menuju Palu.