Menjadi Bagian Sejarah KRI Bima Suci
Hari Sabtu, 8 September 2018, sekitar pukul 09.45 waktu setempat, dari atas geladak KRI Bima Suci, permukaan Laut Jepang terlihat tenang dengan riak-riak kecil. Angin bertiup pelan, tetapi cukup untuk menggerakkan kapal melaju ke arah timur laut dengan kecepatan 4-5 knot.
Balapan kapal layar tiang tinggi SCF Far East Tall Ships Regatta 2018 telah diakhiri hampir 2 jam sebelumnya. Artinya, kapal kini boleh melipat layar-layarnya dan menyalakan mesin untuk menempuh sisa perjalanan menuju Vladivostok, Rusia timur jauh. Para awak pun boleh bernapas lega karena perjuangan mereka mengendalikan kapal dengan sepenuhnya tenaga angin pun telah selesai.
Namun, bagi kami, para wartawan yang mengikuti pelayaran Kartika Jala Krida 2018 ini, puncak tugas baru akan dimulai. Komandan KRI Bima Suci Letnan Kolonel Laut (P) Widiyatmoko Baruno Aji memerintahkan semua staf dokumentasi, baik dari Dinas Penerangan TNI AL (Dispenal), Bagian Penerangan Akademi Angkatan Laut (AAL), maupun kami para jurnalis, untuk mengabadikan KRI Bima Suci dalam keadaan seluruh layar terkembang dan benar-benar berlayar menggunakan angin sebelum seluruh layar dilipat kembali.
Satu-satunya cara untuk mengabadikan kapal saat berlayar di tengah laut adalah dengan meninggalkan kapal dan merekamnya dari jauh. Itu artinya, kami harus menumpang perahu karet sekoci dari kapal dan mengarungi lautan menjauh dari segala keamanan dan kenyamanan kapal layar latih tiang tinggi terbaru milik TNI Angkatan Laut ini.
Maka, empat wartawan yang mengikuti pelayaran ini, saya dari Kompas, dua reporter dari Kompas TV, dan satu jurnalis dari RTV, mulai melakukan persiapan. Pertama-tama, saya masukkan kamera dan telepon seluler ke dalam dry bag yang sudah disiapkan. Kemudian, kami mengenakan jaket pelampung darurat dari kapal, lalu mengantre satu per satu untuk menuruni tangga tali dari geladak menuju perahu sekoci yang sudah menunggu di permukaan air.
Jujur saja, hal ini cukup menakutkan. Jarak dari geladak kapal hingga permukaan laut di bawahnya berkisar 5 meter-6 meter. Dan, satu-satunya jalan untuk menuju perahu sekoci adalah menuruni tangga tali dengan anak-anak tangga kayu yang digantungkan menempel di dinding kapal.
Tantangan makin tak sepele mengingat KRI Bima Suci tidak dalam posisi statis, tetapi bergerak maju dengan kecepatan 5 knot (sekitar 9,26 kilometer per jam) dan naik turun mengikuti gelombang laut. Artinya, perahu sekoci di bawah juga harus menyesuaikan kecepatan dengan mesin tempelnya agar posisinya tetap berada tepat di bawah tangga tali.
Meleset sedikit saja dalam seluruh proses ini, kami yang tengah menuruni bisa dengan mudah tercemplung ke dalam laut yang berkedalaman lebih dari 3.000 meter itu. Benar bahwa kami mengenakan jaket pelampung, tetapi jatuh ke laut di antara dua kapal yang tengah bergerak, apalagi di saat hendak menjalankan tugas penting ini, sungguh benar-benar harus dihindari.
Layakkah semua risiko yang bisa berarti pertaruhan keselamatan diri ini ditempuh demi sebuah foto?
Sempat muncul pemikiran untuk tak usah turun ke sekoci. Toh, ada kawan-kawan dari Kompas TV yang akan mengambil gambar dan mereka pasti tak berkeberatan jika saya meminta dua-tiga foto untuk dimuat di halaman Kompas. Apalagi, perahu sekoci kecil itu sudah lumayan penuh diisi dua awak dari TNI AL, dua petugas dokumentasi dari Dispenal dan Bagpen AAL, serta dua wartawan.
Berulang kali terjadi perdebatan batin, layakkah semua risiko yang bisa berarti pertaruhan keselamatan diri ini ditempuh demi sebuah foto?
Panggilan bangsa
Namun, dorongan adrenalin dan tarikan panggilan tugas akhirnya tak sanggup dikalahkan semua pertimbangan akal sehat itu. Lagi pula ini bukan tugas biasa. Bagi saya, ini adalah kesempatan sekali seumur hidup untuk mengabadikan sejarah sebuah bangsa. Bangsa yang takdirnya selalu berkelindan dengan laut, bangsa yang ingin dan harus menjadi bangsa maritim besar, dan saya adalah bagian dari bangsa itu.
Maka, dengan membulat-bulatkan tekad, saya mulai memosisikan badan membelakangi laut, berpegangan pada pagar geladak kapal, kemudian mulai menurunkan kaki satu demi satu ke anak tangga kayu yang bergoyang-goyang menghantam dinding besi kapal. Jaket pelampung yang tebal dan dry bag yang menggantung di pinggang sempat membuat posisi tidak nyaman melakukan ini semua. Tetapi, apa boleh buat, langkah sudah terayun….
Napas baru bisa ditarik lega saat kaki sukses masuk ke dalam sekoci. Dan, begitu kawan jurnalis Kompas TV, Herwanto, ikut masuk ke perahu, tangga tali pun ditarik dan sekoci karet itu beranjak menjauh dari kapal.
Di luar dugaan, laut yang terlihat tenang dari ketinggian geladak kapal pada kenyataannya ternyata bergolak di bawah sini.
Di luar dugaan, laut yang terlihat tenang dari ketinggian geladak kapal pada kenyataannya ternyata bergolak di bawah sini. Gelombang yang datang silih berganti kadang-kadang, bahkan berdasarkan perkiraan kasar, mencapai ketinggian 2 meter atau 3 meter. Semakin kami menjauh dari KRI Bima Suci, pemandangan kapal itu kadang-kadang tertutup gulungan gelombang yang lewat.
”Dari kapal pun kadang-kadang sekoci tidak terlihat. Kami juga sempat waswas,” ujar Mayor Laut (E) Kresno Wibowo, salah satu instruktur dari AAL, setelah kami kembali ke kapal.
Namun, semua itu terlupakan saat di depan mata terpampang pemandangan KRI Bima Suci yang anggun tengah membelah lautan dengan 26 layar utamanya terkembang penuh serta menggembung ditiup angin. Badan kapal dan layar-layarnya yang putih berkilauan memantulkan sinar matahari pagi yang cerah itu terlihat kontras menawan dengan latar belakang langit biru muda dan laut bernuansa biru tua serta bergelombang.
Inilah imaji setiap penjelajah lautan sejak dulu kala saat para pelaut nenek kakek moyang kita memutuskan untuk beranjak dari daratan dan mengakrabi lautan guna menjelajah tempat-tempat baru, membuka jalinan-jalinan pertautan baru dengan bangsa-bangsa lain di dunia demi bersama meraih kehidupan yang lebih baik. Jadilah pelaut dan lihatlah dunia!
Maka, tak perlu menunggu lama sebelum kamera dikeluarkan dari dry bag, diaktifkan, dan moncong lensa pun segera diarahkan ke KRI Bima Suci. Setelah memastikan fokus, jari pun memencet tombol shutter selama-lamanya dan biarkan kamera menjalankan fungsi pengambilan gambar berantai (burst) hampir tanpa henti.
Langkah ini perlu dilakukan mengingat sekoci tempat kami berada tak pernah berhenti bergerak karena ombak terus bergelora. Foto perlu diambil sebanyak-banyaknya agar tak satu pun momen di kesempatan dan waktu yang terbatas itu terlewatkan. Beberapa kali cipratan ombak pun mengenai badan, muka, dan kamera-kamera kami.
Tiba-tiba terlihat pergerakan di atas kapal. Para taruna AAL angkatan ke-65 terlihat berlarian menempati posisi menghormat di pinggir geladak hingga ujung tiang layar di haluan kapal. Dan, sebagian awak kapal pun mulai menaikkan bendera Merah Putih raksasa yang terletak di buritan kapal.
Lalu, terpampanglah sebuah pemandangan yang hampir surealis, saat Sang Merah Putih raksasa berkibar dengan anggun di belakang kapal serba putih yang tengah membelah lautan biru teduh. Decak kagum dan rasa bangga seolah mau meledak dari dalam dada, ditingkahi kesadaran untuk tak boleh melewatkan satu detik pun momen itu dalam rekaman kamera.
Inilah puncak itu! Inilah puncak perjalanan yang saya tempuh dengan berbagai tantangan dari awal. Tugas telah dilaksanakan. Dan, saat foto ini akhirnya mewarnai wajah halaman 1 Kompas dua hari kemudian (foto baru bisa dikirim ke Jakarta keesokan harinya setelah mendapat sinyal ponsel saat kapal mendekati Vladivostok), itu adalah sebuah keniscayaan untuk mengabarkan sejarah dan menyemai kebanggaan tersebut ke seluruh Indonesia.
Dari awal
Tekad untuk mengikuti pelayaran KRI Bima Suci ini telah muncul dari awal semenjak saya berjumpa pertama kali dengan kapal mengagumkan ini di dermaga Komando Armada Timur (sebelum berganti nama menjadi Komando Armada Dua) TNI AL di Surabaya, Jawa Timur, Januari 2018.
Walau bukan sebuah kapal perang, KRI Bima Suci mengemban misi yang tak kalah penting dibandingkan dengan KRI-KRI lain di jajaran TNI AL. Bahkan, dalam situasi dunia yang damai saat ini, misi diplomasi kebudayaan dan misi pelatihan bagi para kadet angkatan laut ini bisa dibilang sebagai salah satu misi paling penting.
Sebelumnya, misi itu diemban oleh KRI Dewaruci yang sudah bertugas sejak tahun 1953. Sampai akhirnya Pemerintah RI memutuskan untuk membeli kapal baru untuk meneruskan tugas Dewaruci yang telah berusia hampir 70 tahun.
Berukuran nyaris dua kali lipat dari pendahulunya itu, KRI Bima Suci kini menjadi pengemban misi duta maritim bangsa Indonesia di abad ke-21. Sejarahnya masih akan sangat panjang mewarnai perjalanan bangsa ini jika mengingat masa tugas Dewaruci sebelumnya.
Kapal yang dipesan dari galangan kapal Freire di Vigo, Spanyol, itu baru dibawa pulang ke Tanah Air pada September 2017. Waktu itu, pelayaran pun diikuti para taruna AAL angkatan ke-64 dan menjadi pelayaran Kartika Jala Krida 2017. Kapal akhirnya tiba dengan selamat di Surabaya pada pengujung November 2017.
Pelayaran Kartika Jala Krida 2018 ini pun menjadi momen bersejarah karena menjadi pelayaran muhibah perdana KRI Bima Suci ke mancanegara yang dimulai dari Tanah Air.
Itu sebabnya, dalam berbagai kesempatan menyampaikan rencana peliputan ini kepada pimpinan, saya tegaskan bahwa ini bukan liputan biasa, melainkan Kompas akan menjadi bagian dari sejarah penting. Sejarah akan mencatat bahwa Kompas menjadi bagian dari pelayaran muhibah perdana KRI Bima Suci. Foto di halaman 1 itulah buktinya.
Sejarah akan mencatat bahwa Kompas menjadi bagian dari pelayaran muhibah perdana KRI Bima Suci.
Saya pun memilih tahapan pelayaran yang menurut saya akan menjadi puncak dari pelayaran KJK 2018 ini, yakni dari Yeosu, Korea Selatan, menuju Vladivostok, Rusia.
Karena selain akan menuju titik terjauh dari pelayaran ini, dalam tahapan itu juga KRI Bima Suci untuk pertama kalinya akan mengikuti balapan kapal layar internasional, yakni SCF Far East Tall Ships Regatta (FETSR) 2018.
Maka, berbagai tahapan pun dimulai, dari mulai mengurus surat security clearance ke Markas Besar TNI AL hingga mengurus visa kunjungan singkat ke dua negara, yakni Korea Selatan dan Rusia. Visa ini dibutuhkan karena saya harus masuk ke wilayah negara itu dan berganti moda transportasi untuk masuk dan keluar negara tersebut.
Pengurusan visa ini sempat terkendala karena saya akan menaiki sebuah kapal militer. Untunglah dengan berbagai bantuan dari Kedutaan Besar RI di Seoul dan Moskwa, para Atase Pertahanan dan Atase Angkatan Laut RI di Seoul dan Moskwa, dan bantuan rekan-rekan diplomat di Kedutaan Besar Korsel dan Rusia di Jakarta, serta andil bantuan dari panitia SCF FETSR 2018, semua visa bisa selesai tepat pada waktunya. Visa ke Rusia baru jadi hanya tiga hari sebelum saya berangkat dari Jakarta.
Begitu seluruh urusan imigrasi baik di Jakarta maupun di Seoul dan Yeosu tuntas, dimulailah petualangan kecil saya di KRI Bima Suci. Berbagai hal baru pun ditemui, mulai dari belajar menyesuaikan diri dengan irama kehidupan di dalam kapal militer hingga belajar hidup di sebuah kapal.
Kehidupan kapal
Saya dan kawan-kawan jurnalis ditempatkan di dek bawah (Lower Deck) yang merupakan dek kedua paling bawah (telusuri bagian dalam KRI Bima Suci dalam infografik interaktif ini). Ini adalah dek tempat para taruna dan bintara kapal tinggal selama di kapal. Dek ini sudah berada di bawah garis air sehingga sudah dilengkapi pintu-pintu kedap air yang sebagian harus ditutup rapat saat kapal berlayar.
Kami ditempatkan di kamar yang berisikan 18 tempat tidur, terbagi dalam enam kelompok ranjang susun tiga tingkat. Setiap tempat tidur memiliki lebar sekitar 90 sentimeter dan tinggi ruangan tak sampai 70 sentimeter. Benar-benar hanya cukup untuk merebahkan badan dan tidur.
Di sebelah kamar tidur ini terdapat kamar mandi yang berisi empat toilet dan empat ruang mandi shower. Selmua shower ini mengalirkan air panas dan setiap toilet dilengkapi dengan sistem penyedotan vakum untuk membuang kotoran.
Saat jam makan tiba, kami harus naik satu lantai menuju Tween Deck, di mana dapur dan ruang makan utama berada. Terdapat tiga ruang makan dalam KRI Bima Suci, yakni ruang makan khusus perwira, ruang makan khusus taruna, dan ruang makan bagi awak kapal lain. Di ruang makan ketiga inilah para wartawan biasa makan.
Karena jumlah piring dan peralatan makan yang terbatas, tak jarang kami harus bergantian makan. Dan, setiap orang diwajibkan mencuci sendiri peralatan makan yang baru saja digunakan. Ruang cuci piring ini terletak di sebelah ruang makan.
Mengingat keterbatasan logistik yang bisa diangkut kapal, para juru masak menghidangkan makanan yang sederhana. Biasanya terdiri atas satu jenis sayur dan satu jenis lauk. Khusus pada jam makan siang akan dihidangkan juga satu jenis buah. Jika jatah makanan ini dirasa kurang, para awak kapal biasanya memasak sendiri mi instan di tengah malam.
Seluruh cadangan logistik ini, mulai dari berkarung-karung beras sampai daging, telur, ikan, sayur-sayuran, dan buah-buahan, disimpan di ruang penyimpanan berpendingin di lantai dasar kapal (Bottom Deck). Di dek terbawah ini juga terdapat ruang mesin dan ruang kendali seluruh sistem elektrikal kapal.
Yang menarik, salah satu ruangan di depan ruang ballroom di dek utama (Main Deck) dibuat menjadi sebuah warung kecil yang menjual berbagai makanan kecil dan minuman ringan dari Indonesia, seperti teh dalam botol.
Kapal juga dilengkapi dengan ruang laundry, yang diaktifkan setiap beberapa hari sekali, dan para awak kapal harus antre untuk menggunakan mesin cuci bersama ini secara bergantian. Selain itu juga ada ruang potong rambut, ruang hiburan yang dilengkapi televisi layar datar berukuran besar dan pemutar DVD, hingga ruang pemadat dan pembakar sampah.
Pada awal pelayaran, kehidupan berjalan normal. Namun, begitu kapal mulai bergerak sepenuhnya menggunakan tenaga angin, terutama saat kecepatan angin cukup tinggi dan kapal bisa mencapai kecepatan 10 knot, kapal pun bergerak dalam posisi miring. Seketika itu pula seluruh dunia di dalam kapal ikutan miring.
Tidur dilakukan dalam posisi miring, mandi dan gosok gigi sambil berpegangan agar tak terpelanting di lantai kamar mandi yang licin, dan makan pun harus dilakukan dengan memegang piring dan gelas masing-masing karena kalau tidak maka piring dan gelas akan tergelincir ke sisi meja yang lain.
”Kalau naik kapal yang terguncang-guncang ombak, sih, sudah biasa. Tetapi, kalau naik kapal miring seperti ini, butuh penyesuaian,” ungkap Letkol Laut (P) Joko Purwanto yang menjadi Perwira Pelaksana Latihan (Palaklat) dalam KJK 2018.
Semua perwira, awak kapal, dan taruna mendapat giliran jaga sebanyak 2 x 4 jam setiap hari secara bergantian. Jadi, mereka yang bertugas jaga pada pukul 00.00-04.00, akan kembali mendapat giliran jaga pada pukul 12.00-16.00. Demikian seterusnya.
Namun, secara umum, dalam sebuah pelayaran seperti ini, banyak waktu luang yang harus dihabiskan para awak. Maka, setiap orang pun memiliki caranya masing-masing untuk mengisi waktu di antara giliran jaga dan waktu istirahat.
Ada yang membaca buku, menonton DVD di ruang hiburan, menonton film-film yang sudah diunduh di laptop masing-masing, berolahraga seperti bersenam atau joging keliling geladak kapal, mendengarkan koleksi musik dari HP, ataupun sekadar mengobrol sambil merokok di geladak kapal sambil menikmati pemandangan laut.
Berada di sebuah kapal yang berlayar di tengah laut seperti ini, kita akan mendapat kesempatan menikmati pemandangan matahari tenggelam (sunset) atau terbit (sunrise) yang sempurna di saat hari-hari cerah. Demikian juga di malam hari, pemandangan langit bertabur bintang bisa dinikmati penuh, bahkan Bima Sakti pun terlihat.
Hanya satu yang tak bisa dilakukan seisi kapal saat berlayar, yakni memainkan HP untuk berkomunikasi, karena tak ada sinyal seluler di tengah laut. Kondisi ini bisa bertahan berhari-hari. ”Di zaman seperti ini, salah satu tantangan paling besar adalah tidak bisa berkomunikasi dengan HP selama berhari-hari,” ujar Letkol Joko.
Itulah sebabnya, begitu kapal mulai mendekati daratan, semua orang bergegas mengaktifkan kembali ponsel masing-masing untuk segera mengontak orang-orang tercinta di Tanah Air. Tak jarang, mereka akan berkumpul di titik-titik yang menyediakan koneksi Wi-Fi gratis, seperti di kafe, hotel, dan perkantoran, saat kapal sandar di pelabuhan.
Berlayar dengan KRI Bima Suci pada muhibah perdana ini membawa begitu banyak pengalaman dan pelajaran berharga dalam perjalanan saya sebagai seorang wartawan. Namun, di atas semua itu, Kompas bersyukur telah menjadi bagian dari sejarah KRI Bima Suci, kapal kebanggaan seluruh negeri. Catatan kecil ini pun akan menjadi bagian sejarah itu kelak hingga 60, 70, atau bahkan mungkin 100 tahun lagi selama kapal ini masih menjalankan tugas-tugas sucinya bagi negara dan bangsa.