Jatuh Hati pada Rote...
Berjumpa dengan orang-orang baru dengan latar belakang budaya berbeda di belahan bumi yang berbeda tak bisa dimungkiri kerap menimbulkan perasaan tak nyaman. Ada perasaan takut, cemas, dan menahan diri yang berkelindan menjadi satu. Tapi, niat baik selalu berhasil mengalahkan segalanya.
Setidaknya, perasaan ”negatif” seperti itulah yang saya rasakan ketika bersiap menjejakkan kaki di Kupang dan Rote, di Nusa Tenggara Timur, pada 27 Oktober 2018-2 November 2018. Berkunjung ke tempat baru yang belum pernah saya kunjungi selalu menimbulkan rasa cemas berlebihan. Penyebabnya sederhana karena tidak kenal medan, juga buta terhadap orang-orang yang memiliki budaya berbeda.
Apalagi, selama masih di Jakarta, sejumlah humor tentang stigma negatif mengenai orang Rote kerap terdengar.
Beruntung, pengalaman menjadi wartawan selama bertahun-tahun yang selalu dipertemukan dengan hal-hal baru dalam perjalanan hidup saya mengajarkan banyak hal, sekaligus menjadikan saya terlatih untuk mengatasi seluruh perasaan negatif dengan cepat. Berbekal niat baik, saya menyambut perjalanan ke NTT dengan harapan mendapat pengalaman baru, pelajaran baru, juga keluarga baru.
Perjalanan selama satu minggu di Kupang dan Rote itu merupakan perjalanan terakhir dalam rangkaian Ekspedisi Alat Musik Nusantara (AMN). Kali ini, tim AMN akan menggali lebih dalam tentang sasando. Sasando adalah alat musik berdawai yang berasal dari Rote dengan resonansi terbuat dari daun lontar.
Tim sasando hanya tim kecil terdiri atas empat anggota, yaitu saya, Dwi As Setianingsih (reporter); Rony Ariyanto Wibowo (fotografer); Rian Septiandi (videografer); dan Pandu Lazuardy (grafis). Tak sekadar mendapat informasi-informasi penting tentang sasando, nyatanya kami juga mendapat perspektif baru tentang orang-orang Kupang dan Rote.
Selama berada di Kupang, lalu menyeberang ke Rote, seluruh ketakutan dan kecemasan yang sempat hinggap di kepala runtuh seketika manakala kami menyaksikan dengan mata dan kepala kami betapa hangat dan ramahnya orang-orang Kupang dan Rote yang kami temui selama perjalanan kami, terutama orang Rote.
Seluruh ketakutan dan kecemasan kami di kepala seketika runtuh.
Tancap gas
Kami berada di Kupang selama empat hari. Begitu mendarat di Bandara El Tari, Kupang, dari penerbangan yang diberangkatkan dini hari dari Bandara Soekarno-Hatta, kami langsung tancap gas untuk mulai menggali tentang sasando. Maklum waktu kami sangat terbatas sehingga kami harus memanfaatkan waktu kami sebaik mungkin.
Diantar driver asal Kupang yang baik hati dan sangat penolong, Kasmat Gorang, kami menuju kediaman keluarga Pah yang selama ini dikenal sebagai pelopor sasando di Kupang. Kami berjumpa dengan Djitron Pah, yang kemudian banyak bercerita tentang sasando. Di tengah kantuk yang sangat, kami berusaha menyimak ceritanya sebaik mungkin.
Oya, sebelumnya, saat masih berada di Jakarta, kami sudah lebih dulu mengobrol banyak tentang sasando dengan Ganzer Lana, pemain sasando muda asal Atambua, dan Jackob Hendrich A Bullan, pemain sekaligus pembuat sasando asal Rote yang kini bermukim di Jakarta. Dari keduanya, kami lumayan mendapat bekal tentang sasando.
Ganzer bahkan menunjukkan kepada kami kepada siapa saja sebaiknya kami bertemu saat berada di Kupang dan Rote. Kebetulan, Ganzer baru saja melakukan penelitian mendalam tentang sasando sebagai tugas akhirnya di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Setelah berjumpa dengan Djitron, kami beristirahat di hotel untuk memulihkan tenaga, malamnya baru kami kembali meliput permainan sasando Djitron di Kantor Gubernur NTT. Kebetulan malam itu ada perayaan Soempah Pemoeda. Hari pertama yang cukup padat gizi.
Hari-hari kami di Kupang selanjutnya tak jauh-jauh dari sasando. Kami bertemu dengan banyak pemain sasando, perajin sasando, hingga musisi-musisi yang mengajarkan sasando kepada anak-anak muda di Kupang. Kami juga mengambil banyak lanskap kota yang banyak berkaitan dengan sasando serta pohon lontar yang menjadi bahan baku pembuatan sasando, selain material lainnya.
Meliput lontar yang bagi masyarakat Kupang juga merupakan pohon kehidupan membuat kami tidak bisa tidak menjajal air lontar manis yang baru saja diambil dari pohon. Rasanya manis, menyegarkan. Di Jawa, orang mengenalnya dengan nama legen. Ada juga es buah lontar yang rasanya segar manis dicampur dengan sedikit gula dan susu kental manis.
Tapi, kalau sopi, hasil olahan air lontar yang mengandung alkohol yang dikenal sebagai minuman tradisional khas NTT, hanya sedikit saja. Harap maklum, status kami di sana bukan berlibur. Tapi bekerja. Jadi, asupan alkohol kami batasi. Terutama saya, yang jelas-jelas tidak mengonsumsi alkohol.
Tak lupa, kami juga berkunjung ke lokasi pembuatan topi Ti’i langga berbahan daun lontar serta anyaman lontar yang banyak dikerjakan oleh kaum ibu. Lontar sungguh merupakan pohon kehidupan bagi masyarakat Kupang. Kami yakin, di Rote pun demikian, bahkan mungkin lebih mendarah daging lagi.
Keluarga baru
Menjelang keberangkatan menuju Rote, musibah jatuhnya pesawat Lion Air di perairan Karawang, Jawa Barat, tak urung membuat kami cemas. Padahal, dengan pesawat kecil, jarak Kupang-Rote hanya 15 menit saja. Tapi, kami tetap bersepakat untuk mengambil rute laut menuju Rote, menggunakan kapal cepat.
Sekitar 1,5 jam terombang-ambing di laut, sampailah kami di Rote. Ungkapan jika bertemu orang Rote atau ular, mana yang harus dibunuh lebih dulu, terngiang-ngiang di telinga. Ah… tapi di kapal pun, sebelum kami menjejak kaki di daratan Rote, kami sudah berjumpa dengan begitu banyak orang Rote. Tapi, alhamdulillah semua baik-baik saja.
Ficky, driver mobil yang kami sewa selama di Rote, menjemput kami di pelabuhan. Pemuda Rote itu berperawakan kecil, tak banyak bicara. Dia mengantar kami ke kediaman pembuat sasando gong, yaitu sasando tradisional yang terdiri dari 7 senar, asal muasal sasando sebelum dikenal sasando elektrik seperti saat ini.
Sayang, hari itu, Pak Anderias Thonak (52), sang pembuat sasando gong, sedang sibuk di sawah. Istrinya yang ramah justru menawari kami untuk datang kembali keesokan harinya yang segera kami setujui tanpa pikir panjang.
Tawarannya yang tanpa babibu itu kami maknai sebagai niat baik dan sikap yang selalu terbuka kepada orang lain tanpa prasangka. Dari situ kami yakin, pencarian kami di Rote di hari-hari selanjutnya pasti akan dimudahkan.
Setelah itu, kami sibuk berputar-putar mencari hotel untuk menginap. Kami memang belum memiliki hotel untuk menginap karena hotel yang tersedia lebih banyak berada di kawasan wisata Pantai Nembrala yang jaraknya lebih kurang 2 jam dari pusat kota Ba\'a.
Dari segi jarak, jelas tidak praktis jika kami menginap di sana. Apalagi lebih banyak narasumber berada di kawasan pusat kota. Beruntung kami menemukan hotel baru tak jauh dari Pelabuhan Ba\'a.
Hari itu, kami menjadi tamu pertama mereka meski seharusnya baru keesokan harinya mereka resmi menerima tamu. Rezeki memang tak pernah salah. Kami senang karena selain lokasinya yang strategis, kami juga bisa beristirahat dengan cukup nyaman.
Pertemuan dengan Pak Christian Dae Panie yang aktif mengajarkan musik kepada anak-anak muda di Rote dan pemain sasando gong, Pak Stevanus Ki’ak (28) memberi kami pemahaman baru tentang sasando. Memberikan pemahaman tentang awal mula sasando dipergunakan oleh masyarakat Rote.
Informasi yang mereka berikan itu seolah menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kami tentang asal muasal penggunaan sasando, makna serta filosofinya bagi masyarakat Rote.
Pertemuan-pertemuan kami selanjutnya dengan beberapa pemain dan pembuat sasando, termasuk pemain sasando senior yang kini telah pensiun sebagai pemain sasando, Elias Ledoh, semakin meyakinkan kami akan makna dan filosofi sasando bagi masyarakat Rote. Di titik itulah kami merasa gembira, menjelang akhir perjalanan liputan kami, apa yang kami cari sudah kami peroleh.
Jauh berbeda
Sepanjang berjumpa dan berkenalan dengan orang-orang Rote, tak sekalipun tebersit hal negatif di kepala kami. Justru kami merasa sangat dibantu dan dimudahkan. Semua dilakukan dengan tulus, tanpa pamrih.
Padahal, sebelumnya, kepala kami sudah diisi dengan humor khas tentang orang Rote yang memuat pandangan negatif mengenai orang Rote. Seperti disebutkan di buku yang ditulis oleh putra Rote Dr Wilson M A Therik: Relasi Negara dan Masyarakat di Rote.
Namun, fakta di lapangan sungguh jauh berbeda. Mungkin di sinilah pepatah tak kenal maka tak sayang berlaku dan menemukan konteksnya.
Saat kami bertandang ke kediaman Mama Margaretha Lani, pembuat gula lempeng, kami disambut dengan sangat hangat olehnya, juga dengan kerabat-kerabatnya yang hari itu tengah sibuk membantu pembuatan gula lempeng.
Dengan sabar dan senang hati, dia meladeni pertanyaan-pertanyaan kami, menunjukkan proses pembuatan gula lempeng, dan membiarkan kami mencicipi gula lempeng yang masih berbentuk karamel. Rasanya sungguh sedap tiada duanya.
Dia begitu gembira ketika kami mengambil foto dan video seluruh proses pembuatan gula lempeng. Apalagi kami kemudian juga membeli gula lempeng itu sebagai oleh-oleh. ”Nanti kau cetak itu foto lalu kau kirim kemari, ya, fotonya,” begitu katanya dengan riang. Kami tentu saja mengiyakan permintaannya itu dengan ringan.
Hampir dua jam kami di sana. Mengobrol dan bercanda layaknya keluarga. Ketika kami berpamitan, dia menjabat tangan dan memeluk kami dengan hangat. Kami juga berkali-kali berfoto bersama.
Jangan lupakan kami. Ingat kami selalu, ya.
”Jangan lupakan kami. Ingat kami selalu, ya,” begitu katanya berulang kali. Sebuah pertemuan yang sungguh membuat hati kami terasa penuh dan hangat. Kami merasa sangat diterima dan dianggap sebagai bagian keluarga. Agak ’aneh’ mengingat kami ini baru saja berkenalan dengan mereka. Tapi, seperti itulah kenyataannya.
Begitu juga saat kami bertandang ke kediaman Bapak Elias Ledoh. Istrinya, Mama Getruida Ledoh, bahkan menawari kami menginap di rumahnya. Padahal, kami orang asing, baru saja kenal, dan datang menjelang maghrib.
”Kau menginap saja di sini. Nanti kau tidur menetek sama mama. Baru besok kita bunuh kambing,” katanya seperti diterjemahkan asisten mereka.
Sempat bingung dan kaget saya dengan kalimat yang diucapkan dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Rote itu. Apalagi ada kata-kata menetek dan membunuh. Tapi setelah dijelaskan, saya langsung mengerti dan justru menjadi sangat terharu.
Maksudnya kira-kira, saya, satu-satunya perempuan di tim ini, diminta menginap dan tidur di bersamanya di kamar tidurnya, lalu besok akan dipotongkan kambing sebagai tanda perayaan menyambut kedatangan kami.
Duh, hati siapa yang tak meleleh dengan kebaikan hati Mama Getruida. Rasanya tak enak kalau menolak. Tapi, tentu saja kami akhirnya dengan berat hati menolak karena waktu kami di Rote tak panjang.
Saya lalu berjanji, kelak, jika saya datang kembali ke Rote, saya akan menginap di kediaman beliau dan siap menikmati sajian kambing di meja makan. Mudah-mudahan tidak sekadar janji.
Menjelang malam kami berpamitan dan lagi-lagi merasa memiliki keluarga baru di Rote.
Masih banyak orang baik yang kami temui selama di Rote, seperti sebelumnya di Kupang. Semuanya menerima kami dengan hangat, dengan tangan terbuka dan hati yang ringan.
Dalam pandangan saya, mereka adalah orang-orang yang ramah, hangat, dan baik kepada orang luar. Sikap yang sangat bertolak belakang dengan kondisi alam Rote yang sebenarnya keras dan panas, mengaduk-aduk emosi.
Perspektif baru ini betul-betul membuka mata kami. Tak selamanya perbedaan latar belakang menjadi pembenaran untuk saling membenci. Kami pun jatuh hati dengan Rote. Memang benar kata orang, tak kenal maka tak sayang.