Mesin Rusak hingga Nyaris Hanyut di Sungai Kapuas
Medio November lalu saya berkesempatan liputan ke hulu Sungai Kapuas, tepatnya di Desa Kereho, pedalaman Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Menembus daerah paling hulu Sungai Kapuas itu tidak mudah dan berisiko tinggi.
Perahu kayu berukuran 7 x 1 meter bermesin 40 PK sudah siap di Dermaga Nanga Erak, Kecamatan Putussibau Selatan, Rabu (14/11/2018) siang. Perahu itu akan membawa sejumlah pegawai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kapuas Hulu dari Kecamatan Putussibau Selatan menuju Desa Kereho untuk melaksanakan program “Kampung KB”.
Saya menumpang perahu itu. Dengan menumpang perahu rombongan tersebut saya bisa menghemat biaya perjalanan. Saya tidak perlu menyewa perahu. Sebab, biayanya bisa hampir puluhan juta untuk pulang pergi jika dengan biaya sendiri.
Barang-barang kami harus dibungkus dengan plastik terlebih dahulu agar tidak basah saat terpercik air. Selain itu, menjaga kemungkinan kalau saja misalnya kami karam, masih ada kemungkinan barang-barang yang kami bawa tidak basah. Barang pun dimasukkan ke dalam perahu itu.
Sebelum berangkat, kami makan terlebih dahulu dengan menu utama nasi panas dan ikan sungai yang digoreng. Perut harus diisi karena sudah siang. Lagi pula perjalanan sulit diprediksi karena situasi medan yang berat. Bisa jadi sampai ke tujuan hari itu, bisa jadi kembali lagi karena sesuatu dan lain hal.
Setelah makan siang, penumpang berjumlah 12 orang termasuk saya, satu per satu masuk ke perahu. Kami duduk bersila beralas plastik karena tidak ada kursi. Posisi duduk disusun sedemikian rupa untuk menjaga keseimbangan perahu. Saya memilih untuk duduk urutan ketiga dari depan supaya bisa memotret.
Posisi duduk seperti itu tidak enak. Sebab duduk bersila berdesak-desakan. Berbeda seandainya menggunakan speed boat yang dilengkapi tempat duduk akan lebih enak. Kali ini, kami harus menekuk kaki. “Siap-siap kramlah kaki ini,” dalam hati saya. Bayangkan saja perjalanan empat hingga lima jam, duduk dengan kondisi kaki ditekuk bersila.
Medan yang sulit seperti itu hanya bisa dilintasi oleh pengemudi-pengemudi yang handal di air yang arusnya deras, berbatu, serta terdapat pusaran-pusaran.
Perahu pun berlahan bertolak ke tengah Sungai Kapuas. Joni (30), pengemudi perahu, mulai menyalakan mesin 40 PK. Ia merupakan warga Kereho yang datang ke Putussibau Selatan untuk menjemput rombongan Pemkab Kapuas Hulu.
Sebab, yang hafal kondisi sungai adalah warga di hulu Kapuas, salah satunya Joni. Medan yang sulit seperti itu hanya bisa dilintasi oleh pengemudi-pengemudi yang handal di air yang arusnya deras, berbatu, serta terdapat pusaran-pusaran.
Sungai Kapuas pasang siang itu karena hujan di hulu. Perjalanan ke Kereho melawan arus karena ke arah hulu. Perahu meliuk-liuk melawan derasnya sungai terpanjang di Indonesia itu. Air kerap tersembur ke dalam perahu karena membelah gelombang dan pusaran air.
“Di bawah kita semuanya batu. Batu di dasar sungai sebesar rumah, maka arusnya deras. Perahu harus dari kayu, sehingga saat terbentur batu tidak mudah pecah,” ujar Joni sambil mengemudikan perahu.
Oky (32) yang juga warga Kereho duduk paling depan. Ia menjadi penunjuk arah untuk memberi tanda kepada Joni. Tangan Oky menunjuk ke arah kanan. Perahu segera di arahkan Joni ke kanan agar tidak menabrak gundukan kayu dan menghindari pusaran air.
Satu jam kemudian, hal yang menakutkan terjadi. Mesin perahu tiba-tiba mogok. Perahu pun hanyut tak terarah. Penumpang termasuk saya kelimpungan, khawatir perahu menabrak kayu di sungai. Penumpang ramai-ramai menarik akar kayu di pinggir sungai, agar perahu tertahan. Namun, satu per satu akar yang ditarik putus.
Perahu sempat hanyut karena arus deras. Namun, akhirnya bisa menemukan akar kayu dan ranting pohon yang menjuntai ke bawah. Dengan menarik akar dan ranting kayu itu kami bisa tertahan di pinggir sungai.
Semantara itu, Joni berusaha menyalakan mesin berkali-kali. Setelah 30 menit, untungnya, mesin menyala kembali. Setelah itu, kami mencari kampung terdekat, yakni Nanga Balang untuk mengganti komponen mesin yang rusak.
Beberapa dari kami di perahu itu turun dan menemui sejumlah pedagang di kampung itu, siapa tahu ada yang menjual komponen mesin yang rusak. Ternyata pedagang tidak ada yang menjual komponen yang dibutuhkan. Sementara perjalanan masih jauh.
Kembali rusak
Akhirnya, Joni menggunakan komponen bekas yang masih bisa dipakai untuk melanjutkan perjalanan. Setelah melintasi Sungai Kapuas, kami pun memasuki Sungai Kereho, anak Sungai Kapuas. Saat melintasi Sungai Kereho, mesin kembali mogok di tengah arus deras. Perahu kembali tertahan di pinggir sungai.
Kami satu per satu mempersiapkan tenaga untuk menolak kayu yang besar di pinggir sungai. Sebab, perahu itu hanyut dan hendak membentur kayu yang besar. Kalau terbentur keras, perahu bisa pecah. Namun, kami berhasil menahan kayu itu, sehingga perahu kami bisa sedikit menjauh dari kayu yang besar itu. Kami pun bertahan dengan menarik ranting kayu yang terjuntai ke sungai.
Langit semakin mendung. Kami harus segera melanjutkan perjalanan. Jika debit air semakin naik karena hujan, ada wilayah yang tidak bisa kami lintasi, yang disebut Riam Bendak. Di situ, kalau air pasang tidak bisa dilintasi.
Beberapa menit kemudian, untungnya ada perahu milik warga Kereho lainnya Tehen (54), yang menyusul dari belakang. Semua pindah ke perahu Tehen untuk melanjutkan perjalanan dan akhirnya tiba di kampung Sepan, pusat Desa Kereho di sore hari. Total perjalanan sekitar empat jam mengarungi arus deras sepanjang perjalanan.
Di paling hulu masih ada beberapa kampung, tetapi tidak bisa dilintasi hari itu karena ada lokasi yang disebut Riam Bendak, arusnya berkali-kali lipat lebih deras dan sedikit mendaki. Saat air pasang, arusnya lebih pantas untuk arung jeram.
Riam Bendak bisa dilintasi saat ketinggian air berkurang, sehingga perahu bisa didorong dan penumpang turun serta jalan menyelinap di antara bebatuan besar. Perlu waktu beberapa hari untuk bisa menembus kampung paling hulu.
“Kita tidak bisa lewat ke kampung yang di ujung kah Pak?” ujar saya kepada Tehen.
“Tidak Pak. Arusnya deras. Bahaya,” ujarnya.
Namun, dalam hati saya tidak yakin 100 persen bahwa di sana bahaya. Saya berniat untuk melihat kondisi arus yang dikatakan berbahaya itu, tanpa bermaksud sombong. Namun, saya merasa penasaran, separah apa sih lokasi itu, sehingga menjadi momok.
Akhirnya keesokan harinya saya bersama teman-teman lain yang penasaran dengan lokasi yang menjadi momok itu dibawa ke lokasi itu oleh Tehen. Kebetulan hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit dari pusat desa.
Kami pun menuju Riam Bendak. Saat mendekati lokasi itu, dari kejauhan sudah terlihat aliran air sedikit menanjak di Riam Bendak itu. “Wah, ini sih lebih cocok tempat arung jeram, bukan jalur transportasi,” demikian saya berkata dalam hati.
Semakin mendekati Riam Bendak, aliran air semakin tidak beraturan dan banyak pusaran. Gelombangnya juga tinggi. Perahu kami disandarkan sekitar 10 meter dari Riam Bendak karena sangat berbahaya kalau mendekati lokasi itu.
Kami turun dari perahu dan naik ke atas bebatuan, berjalan di atas batu yang licin. Kami ingin melihat arus yang menjadi momok itu dari daratan. Di lokasi itu (tempat berjalan kaki), entah siapa yang iseng nulis di gapuranya “Siapkan Tenaga dan Mental Mu Brother”. Tulisan itu sepertinya dibuat untuk menyemangati siapa pun yang melintas di situ.
Saya baru percaya kalau Riam Bendak tidak bisa dilintasi jika kondisi debit airnya tinggi. Sungai itu hanya bisa dilintasi jika airnya surut, sehingga perahu bisa didorong lewat arus itu dan penumpangnya turun berjalan kaki. Setidaknya keraguan saya tentang Riam Bendak sudah terjawab. Kami pun kembali ke kampung Sepan.
Terisolasi
Di malam hari saya berbincang dengan penduduk sekitar, mendengarkan keluh kesah mereka. Hidup terisolasi seperti itu pasti berdampak pada kehidupan mereka. Yang jelas, harga kebutuhan pokok berkali-kali lipat meningkat karena biaya angkut tinggi dan risiko juga tinggi.
Selain itu, ternyata tidak sedikit orang yang melintasi jalur sepanjang Kapuas dan Sungai Kereho yang tenggelam karena arus yang deras. Bahkan, ada yang sulit ditemukan karena tertutup batu-batu. Di dasar sungai, batu-batu sebesar rumah.
Bahkan, ada juga yang meninggal di perjalanan saat ingin berobat ke kota karena saat musim kemarau juga sulit melintasi sungai. Maka, harus lebih hati-hati saat kemarau agar tidak menabrak batu-batu besar.
Warga di kampung paling hulu juga pernah dilanda kelangkaan pangan saat kemarau beberapa tahun lalu.
Mahalnya biaya transportasi, membuat warga di sepanjang Sungai Kereho terpaksa bekerja menambang emas. Sebab, jika dijual ke kota, setelah dipotong biaya transportasi mereka masih bisa memperoleh keuntungan. Kalau mereka menjual sayuran, hasil penjualannya hanya habis untuk menutupi biaya perjalanan saja.
Warga di kampung paling hulu juga pernah dilanda kelangkaan pangan saat kemarau beberapa tahun lalu. Sungai tidak bisa dilintasi untuk berbelanja ke kota, sehingga mereka bertahan dengan makan sagu.
Kisah-kisah itu sudah pernah saya dengarkan dari mulut ke mulut. Itulah yang membuat saya sangat ingin melakukan peliputan ke daerah itu.
Apalagi, daerah itu sangat jarang dikunjungi. Kali ini, saya mendengarkan kisah itu langsung dari mulut warga di kampung itu serta mengalami sendiri kondisi di lapangan secara nyata.