Mendadak Los Angeles
Ada satu hal yang saya ingat sewaktu mengikuti pendidikan sebagai wartawan sewaktu pertama kali memulai karier di Kompas, yakni sebuah ilustrasi bahwa seorang wartawan mirip dengan tentara yang harus siap ditugaskan ke mana pun, termasuk dalam keadaan mendadak. Selama 13 tahun kemudian, saya pun mengalaminya. Terakhir, saat tiba-tiba ditugaskan pergi ke Los Angeles, Amerika Serikat.
"Dit, visamu untuk Amerika Serikat masih berlaku?" tanya Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Sutta Dharmasaputra (sekarang Wakil Pemimpin Redaksi) pada sebuah sore di tanggal 6 November.
Saat itu pukul 15.00, pekerjaan di Departemen Media Sosial sudah hampir tertangani semua. Pertanyaan yang menurut saya aneh itu saya jawab, bahwa visa saya masih berlaku hingga bulan Juni 2019. Visa tersebut didapatkan dalam rangka perjalanan menghadiri peluncuran ponsel pintar Galaxy Note 9 dari Samsung di New York pada awal Agustus.
Jawaban saya segera diikuti oleh permintaan untuk segera mempersiapkan diri berangkat ke Los Angeles untuk menghadiri pemutaran perdana film dokumenter berjudul "Bali: Beats of Paradise" yang disutradarai Livi Zheng. Sosok tersebut sudah diangkat Kompas sejak karya sebelumnya yang ditampilkan di sana yakni "Brush with Danger."
Seharusnya ada wartawan yang ditugaskan untuk menghadiri acara tersebut, tetapi hingga masa-masa terakhir, ternyata visa tidak kunjung diterbitkan oleh Kedutaan Besar AS. Sore itu adalah kesempatan terakhir untuk memutuskan nama penggantinya, dan saya pun masuk daftar.
"Berangkat besok ya," lanjutnya.
Belum habis kekagetan saya, Livi kembali membuat kejutan dengan meminta agar saya berangkat malam itu juga agar tiba di sana pada pagi hari.
Saya pun kaget, karena ini adalah penugasan yang paling mendadak, terlebih melibatkan perjalanan jarak jauh. Dengan segera saya menghubungi Livi melalui layanan perpesanan WhatsApp untuk berkomunikasi soal waktu perjalanan. Belum habis kekagetan saya, Livi kembali membuat kejutan dengan meminta agar saya berangkat malam itu juga agar tiba di sana pada pagi hari.
Tiket pun segera dikirimkan, tertulis waktu keberangkatan dari Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 23.50 WIB. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB dan saya baru sadar kalau sama sekali belum berkemas untuk penugasan mendadak ini.
Dan saya pun juga baru sadar belum mengabari istri di rumah. Saya sungguh merasa beruntung karena anggota keluarga sedang dalam keadaan sehat saat ditinggal.
Persiapan
Sesegera mungkin saya kembali ke rumah, berkemas, dan bersiap-siap untuk berangkat menuju bandara. Saya sedikit panik sewaktu menyadari tidak cukup banyak waktu untuk mengadakan riset sebelum berangkat.
Riset sebelum berangkat adalah kebiasaan yang selalu dilakukan oleh wartawan mengenai apa yang hendak diliput dan berbagai hal lainnya. Segala informasi dipersiapkan dengan tujuan kita memiliki calon tulisan yang sudah dipersiapkan sejak masih di tanah air, mulai dari mengunduh peta luring dari layanan Google Maps, mencari obyek yang menarik untuk diulas, hingga mempelajari sekilas sistem transportasi umum bila kita harus berpindah tempat.
Bagi saya, hal ini penting agar sebagai wartawan kita bisa mendapatkan calon-calon tulisan di samping liputan utama. Inilah "buah tangan" seorang jurnalis yang diminta pergi ke sebuah tempat.
Sayangnya keinginan itu tidak bisa dilaksanakan, terlebih lagi saya tidak bisa mendapatkan jadwal kegiatan selama di sana (itinerary). Ditambah jeda waktu hingga 13 jam antara Indonesia dan Amerika Serikat menyebabkan komunikasi sedikit bermasalah. Yang bisa dilakukan sekarang tinggal menunggu keberangkatan saja.
Akhirnya saya membuat keputusan untuk tidak membawa kamera digital saya. Saya memutuskan untuk mempergunakan ponsel pintar P20 Pro dari Huawei sebagai perangkat pengambil gambar dan video sepanjang perjalanan ini. Pengalaman itulah yang kemudian saya siapkan sebagai tulisan untuk rubrik "Klinik Foto" yang terbit pada Minggu (18/11/2018).
Perjalanan panjang
Penerbangan saya berlangsung sesuai jadwal yang tertera di tiket dengan singgah hampir enam jam di bandara Incheon, Korea Selatan setelah mengudara selama sembilan jam. Perjalanan pun dilanjutkan menuju Los Angeles dan tiba pada pukul 08.40 tanggal 7 November waktu setempat.
Meski seolah berlangsung singkat, sebetulnya perjalanan yang dilakoni selama 23 jam 50 menit atau hampir satu hari penuh karena menghubungkan zona waktu yang terpaut 15 jam. Waktu di Los Angeles delapan jam lebih mundur dari waktu di Greenwich sedangkan Jakarta lebih maju tujuh jam.
Mendarat di Bandara Internasional Los Angeles atau kerap disingkat LAX, saya segera menuju ke kawasan Hollywood untuk berkumpul dengan rombongan wartawan yang sudah tiba dua hari sebelumnya. Di lokasi saya mendapatkan informasi bahwa rombongan tidak akan sempat untuk kembali ke hotel karena acara utama akan dilangsungkan pada pukul 20.00.
Ada harga yang harus dibayar usai melakoni perjalanan panjang menuju tempat yang memiliki waktu yang terpaut jauh dengan negara asal, yakni siklus badan yang kacau. Jam biologis sudah meminta istirahat malam tetapi jelas-jelas masih siang. Yang bisa dirasakan saat itu adalah lemas, pusing, dan perut yang bergejolak.
Dan jet lag pun terjadi, badan yang sebelumnya masih bugar meski kelelahan mendadak seperti lunglai kehabisan tenaga. Berbagai cara dilakukan untuk menjaga agar tetap sadar, mulai cuci muka dan mengunyah makanan.
Beruntung, menjelang pukul 17.00, badan mulai segar kembali, tepat waktunya untuk berangkat menuju lokasi acara di Samuel Goldwyn Theater.
Dalam kondisi yang masih lemas karena perjalanan jauh, liputan acara berlangsung dengan lancar. Pemutaran film bisa diikuti hingga rampung dan wawancara dengan para pihak yang terlibat seperti Duta Besar RI untuk Korea Selatan Umar Hadi, yang bertindak selaku produser eksekutif, Livi Zheng selaku sutradara, dan beberapa nama yang melalui karpet merah.
Saya juga menyempatkan diri menyapa pembaca melalui akun media sosial @hariankompas untuk memberitahukan bahwa Kompas hadir dan melaporkan peristiwa ini.
Selesai acara pukul 22.00, rombongan segera beranjak ke hotel yang terletak di kawasan Burbank, pinggir Los Angeles yang menjadi lokasi beberapa studio film seperti Warner Bros dan The Walt Disney. Tiba di kamar sekitar pukul 23.30, perjalanan belum usai karena saya harus mengirimkan naskah tulisan untuk diterbitkan di koran. Di Jakarta saat itu masih menunjukkan waktu pukul 14.30 sehingga masih ada waktu untuk mengusulkan judul berita (listing).
Melawan kantuk, akhirnya tulisan rampung pukul 01.00 dini hari dan segera dikirimkan berikut foto-foto pendukungnya. Tulisan ini diterbitkan di harian Kompas edisi Minggu (2/12) dengan judul Bunga Asing, Akar Lokal.
Akhirnya saya punya waktu untuk mandi setelah tertunda 1 hari lebih setelah perjalanan panjang dari Jakarta. Dan saat itu pun saya masih bengong karena bisa berada di tempat yang terpaut 14.000 kilometer, padahal satu hari sebelumnya saya masih memikirkan soal rencana kerja untuk Departemen Media Sosial maupun rencana liputan untuk tulisan Gawai.
Inilah yang kemudian terjadi, mendadak Los Angeles.