Tanpa ”Bonus” dan Hipotermia di ”Atap Sulawesi”
Perjalanan ke Gunung Latimojong berketinggian 3.478 meter di atas permukaan laut adalah pendakian bersama tiga anak saya, yaitu Annisa Dhiya Firdausi, M Kafah Anugerah Ilahi, dan M Yusuf Pallewai. Untuk pendakian ini, saya mengambil cuti.
Namun, beberapa hal menarik ditemui sepanjang perjalanan itu membuat saya memutuskan untuk menulis. Satu tulisan telah dimuat di halaman 1 harian Kompas edisi Jumat (30/11/2018) berjudul Magnet Ekonomi Baru di ”Atap Sulawesi”.
Waktu menunjuk pukul 05.00 Wita, Jumat (7/9/2018), saat kami tiba di Kalimbua, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan (sekitar 300 kilometer utara Makassar), setelah menempuh perjalanan darat sekitar tujuh jam dari Makassar.
Rumah milik Darwin atau yang akrab disapa Wiwin, tempat kami tiba, masih tertutup. Sopir yang mengantar meminta kami masuk ke Pohon Pustaka, sebuah bangunan di bagian kiri halaman depan, untuk mengaso sembari menunggu penghuni rumah bangun. Namun, dingin yang menusuk membuat kami memilih menghangatkan diri di dalam mobil.
Kedatangan kami di Enrekang untuk melakukan pendakian ke Gunung Latimojong. Ada delapan puncak di gugusan pegunungan ini dan puncak tertinggi adalah Rante Mario di ketinggian 3.478 mdpl. Rante Mario dikenal dengan sebutan ”Atap Sulawesi” karena inilah puncak tertinggi di Pulau Sulawesi. Rante Mario juga menjadi salah satu dari tujuh puncak tertinggi di Indonesia. Tujuan kami adalah puncak Rante Mario.
Sekitar pukul 06.00, Wiwin bangun dan menyambut kami dengan senyum ramah di gazebo di halaman depan. Dia masih mengenakan jaket tebal dan sarung. Rambut hitamnya yang sepinggang diikat. Rumah Wiwin sudah biasa menjadi tempat persinggahan pendaki atau penggiat alam bebas. Dia bersama rekannya mengelola Kelompok Pecinta Alam Palm sejak 1997 dan juga Pohon Pustaka sejak 2016.
Untuk ke Karangan, hanya ada dua pilihan transportasi, yakni jip atau ojek.
Jauh sebelum berangkat, saya sudah meminta bantuan Wiwin untuk dicarikan pemandu dan portir. Kepada Wiwin juga saya meminta dicarikan kendaraan yang akan digunakan ke Dusun Karangan. Dari Kalimbua atau Baraka, perjalanan masih harus dilanjutkan ke Dusun Karangan, dusun terakhir di kaki Latimojong yang menjadi jalur umum memulai pendakian.
Untuk ke Karangan, hanya ada dua pilihan transportasi, yakni jip atau ojek. Jip biasanya memuat hingga tujuh orang dengan biaya Rp 1,5 juta untuk perjalanan bolak-balik. Adapun ojek Rp 300.000 juga untuk bolak-balik. Biasanya jip atau ojek yang mengantar akan menjemput di hari pendaki turun gunung atau sudah berada kembali di Karangan.
Rencana semula kami akan mengendarai jip. Namun, Wiwin memberi tahu bahwa sudah beberapa hari tak ada jip yang beroperasi karena sejumlah titik jalan diperbiki. Kami pun memilih ojek.
Setelah mengatur semua barang bawaan dan kendaraan siap, kami memulai perjalanan ke Karangan. Ada lima sepeda motor yang kami gunakan dan satu di antaranya membawa ransel besar. Selebihnya ransel berukuran sedang ditempatkan di sepeda motor lain.
Sungguh bukan mudah duduk di boncengan sepeda motor dengan jalan tanah berbatu, menanjak, dan menurun. Beberapa kali kami harus melewati jalan kebun dan harus merunduk di bawah rimbun tanaman kopi ataupun kakao. Beberapa kali pula sepeda motor harus melewati sungai. Sebagian besar perjalanan dilakukan di jalan selebar setengah sampai 2 meter dengan tebing di satu sisi dan jurang dalam di sisi lain. Namun, betapapun sulitnya, perjalanan ini terbayar dengan hamparan panorama indah sejauh mata memandang.
Setidaknya tiga jam waktu tempuh yang dihabiskan untuk tiba di Dusun Karangan, Kecamatan Buntu Batu. Sebuah gerbang kayu berwarna hijau yang tegak berdiri dengan tiang di sisi kiri dan kalan jalan serta bagian atas lancip seperti atap rumah menjadi penanda Dusun Karangan.
Karangan adalah dusun kecil di mana hampir semua rumah berbentuk rumah panggung. Di sinilah biasanya para pendaki akan memulai perjalanan ke Latimojong. Kerap jika pendaki tiba menjelang malam, mereka akan menginap di rumah warga dan memulai perjalanan keesokan paginya. Warga sudah terbiasa menerima tamu dan menjadikan rumah mereka sebagai tempat persinggahan.
Siang itu, kami mendaftarkan nama-nama yang akan berangkat di bagian register dan membayar Rp 15.000 per orang. Registrasi di antaranya berisi data nama, daerah asal, jumlah orang dalam kelompok, serta tanggal naik dan perkiraan turun. Pendaftaran harus dilakukan agar penanggung jawab di dusun mengetahui jika ada pendaki yang tidak turun dalam waktu yang sudah dicatat atau diperkirakan sudah harus kembali.
”Ini penting karena di Latimojong ada banyak jalur dan berbatasan dengan beberapa kabupaten. Biasanya pendaki yang tidak didampingi dan tidak mengetahui jalan bisa nyasar. Kalau kami tahu waktu pendakian sudah lewat dari batas normal, tiga-lima hari, biasanya pencarian akan dilakukan,” kata Siemen, salah satu warga Karangan yang paham betul seluk-beluk Gunung Latimojong.
Disambut tanjakan
Seusai registrasi, kami singgah di sebuah warung kopi di ujung jalan. Ini kesempatan menikmati kopi segar yang dipetik dari kebun di kaki Latimojong. Enrekang adalah salah satu penghasil kopi terbaik di Indonesia dan sayang melewatkan ritual minum kopi di sini.
Benar saja, aroma segar dan wangi segelas kopi arabika yang tersaji membuat saya tak sabar menyeruput. Di warung ini saya bertemu sekelompok pendaki dari Bekasi yang baru saja turun. Sepasang suami istri asal Jerman tiba tak lama kemudian. Mereka juga akan mendaki tetapi bukan sore itu, melainkan esok harinya.
Setelah mengobrol, kami pamit untuk berangkat. Waktu menunjuk pukul 14.30 saat kami memulai perjalanan. Kami berangkat ditemani seorang pemandu dan dua portir, yakni Chapung, Simen, dan Miun. Wiwin dan rekannya hanya mengantar sampai batas anak sungai di ujung perkampungan.
Cerita orang-orang yang sudah melakukan pendakian di Latimojong yang menyebut jalur pendakian di gunung ini nyaris tanpa ”bonus” benar adanya. Bonus adalah istilah yang biasa digunakan untuk jalan datar di jalur pendakian. Memulai perjalanan, kami langsung disambut tanjakan hingga tiba di sebuah dataran luas dan terbuka di mana terdapat papan bertuliskan pos 1. Dari dataran ini, hamparan kebun kopi dan sawah dengan gugusan pegunungan di belakangnya tampak jelas terlihat.
Kami duduk sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke pos 2. Ada beberapa bagian turunan di jalur ini, tetapi juga tak mudah karena kami harus berjalan di antara akar pepohonan yang menjalar ke sana kemari dan bebatuan yang tertutup lumut. Perjalanan terasa berat bagi saya dengan tas ransel berukuran 50 liter yang terisi penuh di punggung.
Kami akhirnya tiba di pos 2 sekitar pukul 17.00. Pos 2 ditandai sebuah sungai besar berarus deras. Karena hari mulai gelap, Chapung memutuskan kami menginap di pos 2. Kami langsung mendirikan tenda di bawah tebing yang bersisian dengan sungai dan dilanjutkan menyiapkan makan malam. Saat malam, puluhan pendaki lain tiba dan bergabung di pos 2.
Di beberapa titik kami harus berpegangan pada rotan dan tali yang telah dipasang karena batu dan akar pohon yang besar dan licin.
Seolah tak sabar melanjutkan perjalanan, Sabtu (8/9/2018) pagi, kami semua bangun lebih cepat. Sebagian membongkar tenda dan merapikan barang, sebagian menyiapkan sarapan. Dingin pagi itu sangat menusuk. Sebentar saja, kopi dan makanan yang disajikan langsung dingin. Saat mencuci muka di sungai, rasanya seperti membasuh menggunakan air es.
Kami berangkat sekitar pukul 09.00 sebelum dingin makin menusuk. Jarak pendakian dari pos 2 ke pos 3 sebenarnya tak terlalu jauh. Namun, jalurnya sangat menanjak. Kami harus memanjat menggunakan kaki dan tangan. Di jalur ini bebatuan besar serta akar pepohonan yang licin membuat kami harus berhati-hati.
Di beberapa titik kami harus berpegangan pada rotan dan tali yang telah dipasang karena batu dan akar pohon yang besar dan licin. Di bagian lain, kami meniti akar pepohonan dan berpegangan pada batang pohon dan batu tepat di bibir jurang.
Di pos 3, kami tak berhenti lama dan melanjutkan perjalanan menuju pos 4. Lagi-lagi tanjakan di jalur ini cukup berat. Beruntung sepanjang perjalanan adalah hutan rapat dengan pepohonan besar nan rimbun hingga membuat jalan menjadi teduh. Setiap kali singgah, kami tak pernah lama. Selain agar semangat tak kendur, berhenti cukup lama juga membuat udara dingin cepat meresap dan menembus tulang.
Tiba di pos 5 sekitar pukul 13.30, kami beristirahat cukup lama. Sembari makan siang, kami berdiskusi tentang menginap di pos 5 dan melanjutkan ke puncak pada pagi hari atau di pos 7. Umumnya pendaki akan menginap di pos 5 sebelum melajutkan ke puncak. Pertimbangannya, selain karena sumber air melimpah di pos ini, tempat mendirikan tenda juga memadai karena datarannya cukup luas dan terlidung di bawah pepohonan. Berbeda dengan pos 7 di mana sumber air sering kering dan dataran yang lebih terbuka serta kerap terjadi badai.
Kami akhirnya memutuskan menginap di pos 7. Pertimbangannya perjalanan ke puncak tak akan terlampau jauh ditempuh dari pos 7. Kami meninggalkan pos 5 sekitar pukul 15.30 dengan perjalanan yang kian berat.
Baru saja tiba di pos 6, keadaan berubah. Kafah mulai kelelahan dan kedinginan. Dia juga mengaku pusing dan mual. Ini gejala hipotermia. Tak berapa lama, Yusuf juga mengalami hal sama. Sembari menolog keduanya, kami kembali berdiskusi tentang melanjutkan atau menghentikan perjalanan di pos 6. Namun, pertimbangannya tak ada sumber air.
Siemen akhirnya memberi kabar baik bahwa antara pos 6 dan pos 7 ada tempat yang memungkinkan untuk mendirikan tenda dan ada sumber air walau agak jauh. Kami mengikuti sarannya dan terus berjalan hingga tiba di tempat yang dimaksud, sebuah dataran kecil yang bisa memuat tiga tenda yang berada di ketinggian hampir 3.000 mdpl.
Selebihnya adalah pepohonan cukup rapat dengan lumut tumbuh di sana-sini. Tumbuhan lumut sangat banyak dan membentuk gumpalan-gumpalan besar di batang dan ranting pohon. Angin berembus cukup kencang dan bunyinya seperti desir suara ombak di pantai. Suhu dingin dan angin yang terus bertiup kencang diperparah kabut tebal yang mulai turun. Saat itu hanya rombongan kami yang menginap di tempat itu.
Setelah mendirikan tenda dan minum teh panas, kami berempat masuk ke tenda dan mengenakan pakaian dingin berlapis. Kafah dan Yusuf sudah berada dalam kantong tidur setelah saya menggosok kaki dan punggungnya untuk menghangatkan tubuh. Selanjutnya, saya yang mulai menggigil hebat. Tak lama kemudian saya seperti sulit bernapas. Rasanya seperti tak ada udara yang cukup untuk dihirup.
Saya memang tak tahan dingin dan kali ini rasanya betul-betul tersiksa. Saya mencoba menambah lapisan penghangat dan menutup rapat kantung tidur, tetapi tetap saja dingin masih terasa. Saat waktu makan malam tiba, Annisa, Kafah, dan Yusuf tak lagi ingin beranjak dari kantong tidur. Saya pun hanya makan tiga sendok dan minum lebih banyak air hangat. Sepanjang malam, saya tersiksa dingin dan sulit bernapas. Hingga pagi, saya tidur hanya satu jam.
Rencana berangkat subuh ke puncak agar bisa menyaksikan matahari terbit gagal. Kafah dan Yusuf belum begitu pulih. Hingga waktu menunjuk pukul 07.00, mereka bahkan tetap berada di dalam kantong tidur. Saya memaksakan diri bangun dan melawan rasa dingin, tetapi tetap saja menggigil dan sulit bernapas. Saya merasa mual. Namun, hal ini tak saya tunjukkan dan beri tahu kepada siapa pun.
Sekitar pukul 08.00, kami akhirnya menuju puncak Rante Mario. Jalan kian menanjak disertai suhu yang kian dingin dan angin yang tak henti bertiup. Saya masih saja merasa sulit bernapas hingga rasanya perjalanan kian berat. Namun, saya terus berjalan, singgah setiap beberapa puluh langkah dan menarik napas pelan.
Kafah yang berjalan bersama saya tampaknya kian lemah dan mual. Saat saya sudah bisa mengatasi gejala hipotermia, saya terus menemaninya, sesekali memapah dan memberi semangat. Yusuf dan Annisa sudah berjalan terlebih dahulu bersama Miun. Adapun Chapung menemani saya dan Kafah. Siemen tak ikut karena menjaga barang di tenda. Beratnya perjalanan ke puncak membuat pendaki umumnya menyimpan barang di tenda dan hanya membawa air minum dan makanan ringan ke puncak.
Melalui perjalanan berat, kami akhirnya tiba di puncak tepat pukul 11.00. Di puncak, Yusuf yang sepanjang perjalanan cukup sehat tiba-tiba lemas, muntah, dan pusing. Kami membaringkan di tempat teduh dan menggosok kaki dan punggungnya. Yang lain menyiapkan air panas. Kafah yang mulai membaik duduk menenangkan diri di atas batu sembari minum air hangat.
Kami tak lagi terlalu hirau dengan prosesi foto-foto seperti yang dilakukan puluhan pendaki lain yang terus tiba di puncak. Kami baru mengabadikan gambar saat Yusuf dan Kafah benar-benar pulih. Kami meninggalkan puncak sekitar pukul 13.00 dan langsung menuju tenda. Saat tiba, kami makan siang dan langsung berkemas. Pukul 16.30, kami melanjutkan perjalanan dengan tujuan turun hingga Karangan.
Namun, bertemu malam di perjalanan, membuat langkah melambat. Terlebih saat menuruni bebatuan dan melewati pepohonan di tepi jurang hanya dengan bantuan senter. Kami akhirnya harus menyerah di pos 2 saat Kafah kembali pusing dan meminta perjalanan ke Karangan dilanjutkan esok pagi.
Tak ada pilihan lain, selain memasang tenda dan beristirahat. Keesokan paginya, kami ke Karangan dan langsung melanjutkan ke Kalimbua, ke rumah Wiwin, tempat pertama kali tiba. Sore itu juga kami kembali ke Makassar dengan rasa puas telah menjejakkan kaki di puncak Rante Mario, ”Atap Sulawesi”.