Bangga Jadi Wartawan Kampung
Pada 4 Januari 2019, tepat lima tahun saya ditugaskan harian Kompas untuk meliput di Kepulauan Maluku, yang terdiri dari Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Dalam kurun waktu tersebut, saya telah mengabarkan cerita tentang kepulauan rempah itu dari hampir 50 pulau yang pernah saya datangi. Hingga Rabu (12/12/2018), kisah itu tersusun dalam 2.174 artikel yang dimuat Kompas.
Tepat satu bulan menjelang ulang tahun kelima itu, saya mendapat kejutan yang tidak pernah saya bayangkan. Leher saya dikalungi kopa (tas) dan kepala saya ditakhtahkan asope (kain merah) oleh Handry Rehy, tokoh masyarakat di pesisir selatan Pulau Seram, tepatnya Kecamatan Telutih, Kabupaten Maluku Tengah.
Peristiwa pada Selasa (4/12/2018) petang itu menjadi penghargaan tertinggi untuk saya yang pernah ada. Penghargaan itu rasanya yang melampaui apresiasi terhadap tulisan dari internal kantor atau lembaga lain di luar kantor atau pemerintah. Bahkan, serasa melebihi undangan Pemerintah Amerika Serikat dalam program pertukaran bergengsi, yakni International Visitor Leadership Program, beberapa bulan lalu.
Asope dan kopa merupakan simbol budaya Suku Alifuru, suku asli Pulau Seram. Dengan nada setengah berbisik serta tatapan tajam ke arah saya, Handry berucap begini, ”Bung sudah berbuat untuk tanah Seram. Sudah berbuat untuk Maluku. Terimalah pemberian ini dari kami.” Kira-kira begitu ucapan Handry yang saya tangkap.
Saya memang tidak menangkap secara utuh ucapan itu lantaran suasana hati sedang campur aduk tak karuan. Kaget, terbebani, bahagia, dan haru. Tanpa sadar, air mata saya jatuh. Lebih dari 50 orang yang menyaksikan pemberian itu berusaha menguatkan saya lewat tepukan tangan. Kehadiran saya saat itu untuk berbagi pengalaman kewartawanan bagi tokoh agama dan pemuda di daerah itu.
Leluhur tanah Seram akan selalu menjagamu. Kami juga akan mendoakanmu. Sementara kopa itu tempat menyimpan bekal. Semoga rezeki selamanya ada dalam hidupmu.
Lalu apa makna asope dan kopa yang diberikan itu. Handry menjelaskan, asope yang dipakai di kepala itu bertujuan sebagai pelindung. ”Leluhur tanah Seram akan selalu menjagamu. Kami juga akan mendoakanmu. Sementara kopa itu tempat menyimpan bekal. Semoga rezeki selamanya ada dalam hidupmu,” jawabnya.
Menurut Handry, banyak dampak positif dari artikel di harian Kompas. Itu terutama saat memberitakan kondisi yang terjadi di pelosok Maluku, mulai dari kesehatan, pendidikan, infrastruktur, hingga mengangkat kisah para inspirator. Lewat artikel itu banyak orang mengenal Maluku, tergugah, hingga pengambil kebijakan di pusat kekuasaan pun memberi tanggapan.
Dengan tidak bermaksud membanggakan diri sendiri, apa yang dikatakan oleh Handry itu ada benarnya juga. Saya lalu menambahkan bahwa tidak hanya faktor liputan saja yang menjadi penentu efek berita, tetapi, juga faktor media, yakni harian Kompas, tempat saya bekerja mulai dari calon wartawan sejak November 2012, kemudian diangkat menjadi wartawan pada November 2013. Reputasi Kompas yang lahir pada 1965 itu membuat banyak orang, termasuk pengambil kebijakan, menjadikannya sebagai referensi. Politisi kawakan pun sering kali terganggu jika dikritik.
Pada kesempatan itu, teman-teman Handry menyinggung tulisan saya tentang sekolah darurat di Desa Sabuai, Kabupaten Seram Bagian Timur. Setelah tulisan itu terbit, banyak donatur menawarkan diri untuk membangun sekolah tersebut. Ada juga yang mengirim buku, tas, dan alat tulis. SD Sabuai menjadi perhatian banyak orang.
Mereka juga menyentil tentang liputan gizi buruk di Pulau Seram. Anak usia balita bergizi buruk menerima bantuan dari sejumlah donatur. Banyak sukarelawan pun berjanji akan masuk ke pedalaman memberikan pelayanan kesehatan gratis.
”Kalau tidak ditulis Kompas, tidak ada tanggapan. Selama ini kami selalu keluhkan, tetapi tidak ada respons cepat dari pemerintah daerah,” kata Carlos Titahena dari Desa Piliana di kaki Gunung Binaiya, selatan Seram.
Sementara ada juga inspirator lokal, seperti Saiful Rumain dari Seram bagian timur dan Safiah Wainsaf dari Raja Ampat, Papua Barat, yang masuk dalam 10 besar penerima penghargaan Menteri Kesehatan bulan lalu. Saya ikut bangga, dua tulisan tentang pejuang kesehatan di pedalaman mengisi deretan 10 besar.
Harapan Saiful, yang ingin diangkat menjadi pegawai negeri sipil, dan curhatan Safiah, yang selama ini menghabiskan uang gajinya untuk mengantar orang sakit, kini sudah sampai ke telinga pejabat di Jakarta. Keinginan mereka sebentar lagi menjadi kenyataan.
Sebelum penghargaan diberikan kepada Saiful dan Safiah, saya dihubungi oleh pihak Kementerian Kesehatan dan diundang hadir dalam acara tersebut. Lantaran sibuk liputan, saya tidak bisa hadir. ”Apa Bapak tidak bangga ikut menyaksikan pemberian penghargaan itu? Ayo dong, hadir ya, Pak,” pinta orang kementerian itu dari balik telepon.
”Saya cukup berbangga untuk mereka dari jauh, Ibu. Titip salam buat orang-orang Kementerian Kesehatan agar terus memperhatikan layanan kesehatan di pelosok-pelosok. Juga perhatikan nasib petugas medis di pelosok,” kata saya kepada ibu tersebut.
Saya juga sudah lupa nama-nama yang pernah menelepon untuk mengucapkan terima kasih atas liputan saya. Begitu pula berapa banyak orang mengancam lantaran terganggu dengan tulisan saya.
Media massa berpengaruh besar dalam membentuk opini publik dan memengaruhi proses pengambilan keputusan. Karena itu, media massa harus menjaga integritasnya, termasuk tidak berpihak pada kepentingan politik tertentu.
Publik bahkan orang-orang di pelosok kini dengan mudah memetakan media dan afiliasi politik. ”Kalau teve ini, dukung si A. Kalau teve ini dukung si B,” ujar Onal Silawane, seorang warga.
Lebih celakanya lagi, ada yang menilai bahwa media-media massa tertentu di Jakarta provokatif dan merusak persatuan. Penilaian Onal dan publik terhadap media massa menjadi tamparan bagi saya.
”Lalu, apakah kepercayaan terhadap media massa akan tergerus? Saya sebagai wartawan di kampung ini bisa apa?” Saya membatin.
Terlepas dari segala kritik terhadap media massa, saya meyakini, wartawan adalah jalan kerasulan awam bagi saya. Dengan menjadi wartawan, saya bisa membantu orang-orang di pelosok, di gunung, di lembah, dan di pesisir pulau-pulau kecil. Itu yang membuat saya bangga menjadi wartawan kampung.