Memburu Para Bintang Lapangan Hijau di Rusia
Tahun ini terasa sangat spesial bagi saya karena ditugasi untuk meliput langsung ajang Piala Dunia Rusia 2018 pada 14 Juni-15 Juli lalu. Untuk pertama kalinya saya bisa bertatap muka langsung dengan para pesepak bola terbaik di muka bumi ini seperti Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Luka Modric, Mohamed Salah, Harry Kane, atau Andres Iniesta.
Sebelum bisa bertemu mereka, saya dan lima kawan lainnya dari tim Kompas Gramedia (Yulvianus Harjono dari Harian Kompas, Firzie Idris dan Herka Yanis Pangaribowo dari Tabloid Bola, serta Radi Saputro dan Alvi Apriayandi dari Kompas TV) wajib menjalani prosedur dan persiapan panjang yang melelahkan.
Kami harus mengurus akreditasi peliputan dari FIFA sejak akhir 2017, memilih laga yang akan kami liput dan menyesuaikannya dengan tempat tinggal yang akan kami pakai, serta mempelajari Rusia dan kota-kotanya. Kami tinggal di Rusia selama 41 hari demi bisa meliput turnamen olahraga terakbar ini.
Tentu kami tidak bisa menonton dan meliput semua laga secara langsung. Bayangkan, selama satu bulan ada 64 laga yang digelar di 11 kota di sebuah negara yang begitu luas. Kami pun berbagi tugas dan saya memilih 11 laga antara lain Portugal-Spanyol, Jerman-Meksiko, Inggris-Belgia, dan tentu saja laga final antara Perancis dan Kroasia.
Di setiap laga yang diliput, seorang wartawan berhak memilih untuk mengikuti sesi jumpa pers atau mewawancarai langsung para pemain di area mixed zone. Dalam jumpa pers, setiap tim biasanya diwakili pelatih dan satu pemain. Sementara mixed zone adalah area yang merupakan jalur bagi para pemain dan ofisial tim untuk berpindah dari kamar ganti ke area parkir bus.
Selama para pemain berjalan inilah para wartawan bisa mencegat dan mewawancarai para pemain. Jalur yang dilalui para pemain dibuat berliku-liku supaya wartawan dapat mudah mewawancarai mereka. Kupon untuk bisa masuk ke mixed zone inilah yang paling saya incar karena wartawan berkesempatan mendapatkan wawancara eksklusif dengan pemain.
Ternyata tidak mudah untuk bisa mengobrol dengan para pemain. Tidak seperti di ruang jumpa pers, para pemain di area mixed zone berhak untuk menolak permintaan wawancara. Hanya ada beberapa pemain yang mau berhenti dan melayani beragam pertanyaan dari wartawan. Wawancara pun biasanya dilakukan beramai-ramai untuk menghemat waktu. Tidak mungkin juga pemain melayani wartawan satu per satu.
Saya merasakan suasana mixed zone yang pertama usai laga Spanyol kontra Portugal. Setelah mewawancarai beberapa pemain seperti David De Gea (kiper Spanyol dan Manchester United), dan Diego Costa (striker Spanyol dan Atletico Madrid) serta Joao Moutinho (gelandang Portugal dan Wolverhampton Wanderers), datanglah sang mega bintang, Ronaldo. Si CR7. Penyerang Portugal yang waktu itu masih bermain untuk Real Madrid datang melintas tepat di depan saya sambil nyengir ketika saya dan beberapa wartawan lainnya meminta waktu wawancara. Rupanya, Ronaldo enggan diwawancara lagi karena sudah berbicara di sesi jumpa pers.
Penolakan dari pemain biasanya juga terkait bahasa. Ini faktor yang sulit karena saya sendiri hanya menguasai bahasa Inggris. Saya pun kecewa ketika Iniesta (gelandang Spanyol dan Barcelona) menolak saya wawancara dengan bahasa Inggris.
Saya berkata ke Iniesta, “Andres, just one question in English, please?” Namun, ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Padahal, sebelumnya ia sempat dikerumuni wartawan dari Spanyol dan ia baru saja menyatakan pensiun. Saya sudah tidak bisa bergabung karena jumlah wartawan dari Spanyol itu terlalu banyak. Oleh karena itu, saya dan gerombolan jurnalis dari Inggris ingin mencegat Iniesta dan mewawancarai dalam bahasa Inggris.
Bisa juga penolakan itu karena suasana hati pemain. Mesir yang merasa optimistis karena memiliki Mohamed Salah sebagai pahlawan mereka ternyata dikalahkan Rusia. Semua pemain Mesir pun tidak mau diwawancarai di mixed zone. Bahkan Mohamed Salah pun hanya melintas dengan kepalanya yang tertunduk lesu. Sebenarnya, kesedihan para pemain itu sendiri sudah menjadi bahan cerita yang menarik untuk dideskripsikan ketika tidak bisa mewawancarai mereka. Jadi penolakan itu tidak masalah dan lagi pula itu hak para pemain.
Lucunya, ketika ada pemain seperti Denis Cheryshev, pemain bintang Rusia, yang sudah bersedia diwawancara, saya kesulitan karena Cheryshev hanya mau berbicara dengan bahasa Rusia yang baru saya pelajari dan belum saya kuasai sepenuhnya. Dalam situasi seperti itu, saya tetap membiarkan si pemain berbicara dan merekamnya. Lalu saya meminta para relawan di tempat itu untuk membantu saya menerjemahkan rekaman tersebut.
Proses wawancara pun jauh lebih mudah ketika berada di ruang mixed zone usai laga Inggris melawan Belgia. Semua pemain bisa diwawancarai dengan bahasa Inggris dan saya mendapatkan komentar dari beberapa pemain seperti Marouane Fellaini dan Thomas Vermaelen (Belgia), dan Harry Kane serta Gary Cahill (Inggris).
Tanpa kamera
Sayangnya kesempatan emas bertemu para bintang itu tidak bisa saya abadikan dengan kamera. Selama di area mixed zone, semua wartawan tulis dan radio dilarang keras memotret para pemain, apalagi swafoto. Ada banyak relawan yang mondar mandir di sekitar wartawan untuk mengawasi. Begitu ada wartawan yang memotret dengan menggunakan telepon pintar, maka relawan tersebut langsung mendatangi yang bersangkutan dan memintanya untuk menghapus gambar tersebut.
Selama berada di Rusia, saya dan teman-teman tidak berani melanggar aturan karena khawatir nama kami akan dicoret dan ke depan bakal kesulitan untuk meliput ajang yang digelar FIFA.
Saya sudah memahami aturan itu dan wajib mematuhinya. Selama berada di Rusia, saya dan teman-teman tidak berani melanggar aturan karena khawatir nama kami akan dicoret dan ke depan bakal kesulitan untuk meliput ajang yang digelar FIFA.
Namun, ada juga beberapa wartawan yang bandel tetapi kurang cerdik. Waktu itu salah seorang wartawan dari Bangladesh sempat bisa memotret dirinya dengan Mohamed Salah. Si wartawan ini pun saking gembiranya kemudian berteriak-teriak memanggil temannya untuk pamer. Tidak lama kemudian datanglah seorang relawan dan meminta foto itu dihapus. Andaikan si wartawan Bangladesh tadi diam saja, mungkin ia kini memiliki sebuah foto kenangan yang bisa ia ceritakan dengan bangga kepada anak dan cucunya.
Aturan serupa juga terjadi di ruang jumpa pers yang berada di stadion. Hanya wartawan dengan akreditasi fotografer yang boleh memotret. Itupun hanya 10 menit pada awal sesi jumpa pers dan setelah itu mereka diminta keluar ruangan. Setelah itu para reporter yang ada di dalam ruangan hanya boleh mengkonsumsi data suara dan tidak diperbolehkan mengambil gambar dengan telepon pintar.
Kecuali pada malam itu ketika Perancis baru saja mengalahkan Kroasia di laga final. Saya waktu itu berada di ruang jumpa pers dan dikejutkan dengan polah para pemain Perancis. Ketika Pelatih Perancis Didier Deschamps sedang berbicara, tiba-tiba para pemainnya masuk ke dalam ruangan sambil bernyanyi.
Ketika Pelatih Perancis Didier Deschamps sedang berbicara, tiba-tiba para pemainnya masuk ke dalam ruangan sambil bernyanyi.
Mereka lalu naik ke atas meja sambil menari-nari. Saya dan beberapa wartawan lainnya spontan merekam momen itu dengan telepon pintar dan tidak ada yang melarang. Mungkin para relawan juga sudah lelah dan menganggap momen itu sebagai bonus bagi wartawan di sesi jumpa pers terakhir.
Di pinggiran kota
Tantangan lainnya untuk bisa bertemu para bintang itu adalah ketika mereka berlatih di markas masing-masing. Markas itu rata-rata terletak di pinggiran kota yang sulit terjangkau. Kami pun harus bersusah payah mencapai tempat-tempat latihan tim dengan menggunakan taksi atau kereta.
Seperti ketika saya berada di Saint Petersburg, saya menggunakan taksi untuk menuju ke tempat latihan tim Inggris bersama Firzie Idris dan Herka Yanis Panggaribowo dari Tabloid Bola. Kami hanya punya waktu sekitar satu jam untuk mencapai tempat latihan dari apartemen yang kami tinggali.
Lalu kami pun menyewa taksi daring yang populer di sana, Yandex. Pengemudinya masih muda dan langsung menghidupkan pemutar musik digital begitu kami masuk ke dalam mobil. Tangannya kemudian memencet tombol pengeras volume suara hingga 50 persen. Lagu milik penyanyi Fifty Cent yang berjudul “In Da Club” langsung menghentak.
Kejutan pun berlanjut ketika kami sampai ke jalan tol. Sang pengemudi langsung menjelma sebagai pembalap dan membawa mobil meliuk-liuk menghindari semua kendaraan yang ada di jalan. Kap mobil yang kami tumpangi bahkan juga nyaris menyenggol bagian belakang truk.
Herka yang duduk di belakang memberitahu saya bahwa kecepatan mobil yang kami tumpangi sudah menembus 200 kilometer per jam. Dengan bantuan aplikasi Google Translate yang ada di telepon pintar, kami yang sudah ketakutan pun meminta si pengemudi untuk sedikit mengurangi kecepatan mobilnya.
Itulah secuil kisah saya dan teman-teman dalam memberitakan ajang Piala Dunia di Rusia. Seperti pemain, kami juga butuh strategi yang tepat untuk menulis banyak kisah di balik sebuah laga yang hanya berlangsung sekitar 90 menit.