Menembus Jantung Borneo Bersama Orangutan Albino
Hari Minggu (16/12/2018), saya menerima pesan singkat dari CEO Yayasan Borneo Orangutan Survival Jamartin Sihite. Ia memberi kabar bahwa Alba, orangutan albino, akan dilepasliarkan. Betapa senangnya saya akan menyaksikan peristiwa langka. Betapa tidak, Alba diklaim sebagai satu-satunya orangutan albino yang pernah ditemukan di dunia sampai saat ini.
Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Setelah mendapat persetujuan dari atasan saya, Mas Gesit Ariyanto, saya langsung menyiapkan diri dan barang-barang yang diperlukan, seperti hammock, sepatu boot, kaus kaki panjang, pakaian secukupnya, kamera, dan lain-lain.
Perjalanan membawa Alba dimulai pada Selasa (18/12/2018) dari Pusat Reintroduksi dan Rehabilitasi Orangutan Nyaru Menteng Palangkaraya, Kalimantan Tengah, milik Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS), ke Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Kabupaten Katingan, Kalteng. Taman nasional itu merupakan gugusan panjang dari Pegunungan Schwaner, jantung Pulau Kalimantan.
Alba diklaim sebagai satu-satunya orangutan albino yang pernah ditemukan di dunia.
Sejak ditempatkan Kompas di Kalimantan Tengah lebih dari tiga tahun lalu, saya gemar keluar masuk hutan. Kalimantan sebagai paru-paru dunia menyimpan sejuta peristiwa menarik dari dalam dan sekitar hutan hujan tropisnya. Begitu juga hubungan masyarakat adat dan alamnya.
Sebelum memulai perjalanan, dokter hewan dari Yayasan BOS membius Alba dan Kika, orangutan betina berumur enam tahun, yang juga dilepasliarkan bersama Alba. Mereka dibius agar bisa lebih tenang dalam perjalanan yang memakan waktu lebih kurang 12 jam itu.
Lima jam pertama, perjalanan cukup baik dan aman. Kondisi jalan masih beraspal, tetapi ketika memasuki Desa Tumbang Manggu harus menyeberangi Sungai Katingan yang lebar terjauhnya mencapai 200 meter. Saya dan rombongan menyeberang menggunakan kapal sederhana dari kayu. Kapal semacam ini sering dimanfaatkan di pedalaman Kalimantan untuk menyeberang.
Jangan berharap ada pelampung, apalagi sekoci. Kapal ini merupakan modifikasi dari dua perahu kayu bermesin. Tidak heran, 3-4 mobil dan 6 sepeda motor muat di atas deknya.
Dari Desa Tumbang Manggu, perjalanan dilanjutkan menuju Desa Tumbang Tundu. Perjalanan memakan waktu 7-8 jam. Bukan akibat jaraknya yang jauh, melainkan karena kondisi jalanan yang buruk.
Buruk karena memang jalanan itu sebetulnya bukan merupakan jalan umum, melainkan jalan transportasi milik perusahaan kayu di sekitar desa. Jalanannya penuh lumpur karena saat itu musim hujan. Sama sekali tak ada jalan beraspal.
Melewati Desa Tumbang Manggu, hari mulai gelap. Tak ada lampu jalan. Kiri kanan jalan hanya pohon-pohon tinggi, hutan. Permukiman warga sudah satu jam lalu dilalui.
Namun, satu-satunya yang mengkhawatirkan adalah kondisi ban mobil. Selama tiga jam berturut-turut, badan mobil bergeser ke kanan dan ke kiri. Bahkan, mobil yang berada di depan kami sempat berputar saat melewati tanjakan dan turunan yang curam.
Kami tiba sekitar pukul 03.00 WIB di Tumbang Tundu. Desa itu gelap karena memang tak ada listrik sejak desa tersebut dibangun. Hanya beberapa rumah yang terlihat memakai generator set. Sisanya adalah kegelapan.
Saya memilih menginap di rumah Sekretaris Desa Tumbang Tundu Salman. Sebelum tidur, saya dan Pak Salman sempat menyeruput kopi sambil berbincang-bincang. Di situ saya menggali semua tentang desa dan respons masyarakat terhadap pelepasliaran orangutan di hutan mereka.
Salman bercerita bagaimana senangnya warga mendengar Alba dilepasliarkan di hutan yang berjarak tiga jam menggunakan perahu dari desa mereka. Menurut Salman, dengan adanya Alba, perhatian ke kampung mereka akan lebih besar meski rasanya hanya sekadar harapan.
”Sudah ratusan kali kami menentang sawit dan perusahaan tambang. Kami tak mau hutan kami rusak atau diubah jadi perkebunan. Kalau kami kasih, marah nenek moyang kami nanti,” ungkap Salman kala itu.
Perjalanan dilanjutkan Rabu (19/12/2018) pukul 06.00. Kandang Alba dan Kika diangkat ke perahu. Total ada enam perahu yang mengangkut kami.
Perjalanan dilanjutkan melalui Sungai Bemban, anak Sungai Katingan. Airnya jernih tetapi arusnya deras. Beberapa kali kami harus melawan arus riam. Batu-batu besar kami lewati. Di kanan kiri tak terlihat lagi permukiman. Hanya hutan belantara.
Tiba di lokasi pukul 10.00 lalu terjadilah peristiwa yang terasa menyentuh hati. Kika dilepaskan dari dalam kandang. Ia dengan cepat melesat mencari pohon terdekat dan memanjat. Tangan-tangannya yang panjang dan kuat mencengkeram dahan-dahan pohon. Dalam sekejap, ia sudah berada di ketinggian 25 meter.
Tiba saatnya Alba dilepaskan. Sebelum kandang orangutan berusia enam tahun ini dibuka, saya dan teman-teman bersiap mengambil video dan foto. Saya mencoba menggantungkan telepon genggam saya pada ilalang di dekat kandang untuk merekam video.
Tanpa saya duga, semua terjadi begitu cepat karena Alba mencoba berontak, ingin keluar kandang. Mungkin karena pengaruh bius mulai menghilang.
Namun, tidak seperti Kika yang antusias, begitu kandang dibuka, Alba hanya berjalan keluar dengan perlahan. Ia juga tidak langsung memanjat, tetapi berjalan-jalan dahulu. Saya berusaha mengabadikan momen itu dengan kamera mirrorless sebanyak mungkin.
Begitu Alba menghilang dari pandangan, saya mengecek hasil jepretan kamera. Beberapa buruk, lainnya lumayan. Sedikit tidak puas karena banyak yang buram.
Celakanya, telepon pintar yang saya ikat di ilalang masih dalam mode on kamera. Sedari tadi HP itu hanya menggantung karena saya lupa menekan tombol rekam video. Sungguh kecewa karena momen itu tidak bisa diulang.
Saya memang mengambil beberapa gambar dan video dari kamera mirrorless, tetapi saya kehilangan momen saat Alba keluar dari kandang. Ingin rasanya membanting kamera dan HP, tetapi saya urungkan niat itu.
Menelusuri hutan
Tim monitoring tetap mengikuti Alba untuk melihat kondisi dan pergerakannya. Hal itu akan dilakukan selama enam bulan ke depan.
Saya juga sempat mengikutinya memasuki hutan dengan bonus digigit nyamuk dan diisap lintah. Semua itu baru saya sadari ketika kembali ke camp darurat tempat saya menggantung hammock untuk tidur.
Kami bermalam selama dua hari di hutan. Di sana, saya masih menyempatkan diri mengetik beberapa tulisan untuk kemudian dilanjutkan di rumah ketika kembali ke Palangkaraya.
Setiap menelusuri hutan di Kalimantan, ada perasaan bahagia yang menjalari sekujur tubuh. Melihat pepohonan, binatang-binatang liar, dan tumbuhan yang belum pernah saya lihat, serta kekayaan alam Kalimantan lainnya.
Salman yang beberapa kali menemani saya masuk hutan kemudian menjelaskan tentang beragam tumbuhan, yang bisa dimakan atau justru beracun, tanaman obat untuk perempuan, laki-laki, dan banyak lagi. Sambil asyik bercerita, tak sadar kami telah memasuki hutan terlalu dalam. Lembab dan gelap. Padahal, jam masih menunjukkan pukul 14.00.
Sepan apoi adalah salt lick atau tempat di mana hewan biasa menjilati bebatuan dan air yang berbentuk seperti danau kecil.
Kami pun tiba di sebuah tempat istimewa, sepan apoi, yakni salt lick atau tempat di mana hewan biasa menjilati bebatuan dan air yang berbentuk seperti danau kecil. Airnya asin dan mendidih meski saya tak mencium bau belerang.
Tempat itu dikenal keramat. Salman bercerita, di tempat itu pahlawan nasional asal Dayak, Tjilik Riwut, sering bertapa. Benar saja, ada beberapa patahu atau tempat menyimpan sesajen yang dibuat Tjilik Riwut puluhan tahun lalu sebelum ia pergi berperang mengusir kompeni dari tanah Dayak.
Kami diganggu entah oleh makhluk apa. Saat kami berfoto, saya, Salman, dan dua teman lain mendengar suara batuk dan deheman dari dalam semak. Batuk itu berulang lagi. Kali kedua, kami diikuti suara seperti benturan batu yang dilempar ke piring keramik. Kami semua menoleh tetapi suara itu langsung menghilang.
Salman lalu membakar rokok dan menaruhnya di piring dekat patahu. Setelah itu, kami pergi meninggalkan tempat tersebut. Perlahan masih tanpa suara, kami terus berjalan. Begitu sampai di bibir sungai, Salman angkat bicara. ”Kita lupa permisi tadi sama bue (nenek),” ujarnya.
Saya tak merespons dan meminta mereka kembali berjalan. Dalam perjalanan pulang, kami tidak berani membahas apa yang kami alami. Hal-hal aneh seperti itu sebenarnya sudah sering saya alami selama keluar masuk hutan atau tempat keramat di tanah Dayak. Biasanya saya akan meminta petuah dahulu tentang apa yang harus saya lakukan sebelum masuk hutan atau lokasi tertentu. Namun, kali itu saya lupa.
Keindahan hutan Kalimantan selalu menjadi pengalaman menarik dalam liputan saya. Kali ini, bersama Alba, saya diajak masuk ke jantung Pulau Kalimantan dan mengambil bagian dalam pelepasliaran orangutan yang merupakan satwa endemik Indonesia. Saya juga turut menjadi saksi akan harapan lestarinya rimba-rimba yang tersisa di Pulau Borneo.