Terseret Situasi Mencekam
Terjangan tsunami meninggalkan duka dan trauma bagi masyarakat Banten. Melihat laut sedikit surut atau pasang, masyarakat sangat mudah cemas. Wartawan Kompas ikut terseret dalam situasi mencekam di tengah kepanikan warga.
Saat tengah asyik mengetik di kantor Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten, Selasa (25/12/2018) sekitar pukul 14.30, sekonyong-konyong terdengar teriakan. ”Air naik... ayo cepat...,” ujar seorang wartawan media massa daring memaksa mengajak keluar kantor yang berada di Desa Sumberjaya itu.
Di luar, tampaklah kejadian yang menakutkan. Masyarakat tunggang-langgang menyelamatkan diri. Beberapa warga bahkan meloncat ke pohon dan memanjatnya. Kondisi hiruk pikuk itu ditingkahi jeritan-jeritan. Sejumlah ibu berjalan dengan tergesa-gesa setengah menyeret anaknya.
Suasana sangat kacau. Tak pelak pula kecemasan menyergap lantaran informasi tentang munculnya kembali tsunami itu menyebar sangat cepat. Baru tiga hari sebelumnya, tsunami menerjang Banten, dan Sumur termasuk kecamatan yang paling parah diterjang gelombang dahsyat tersebut.
Ternyata, tersiarnya kabar itu bermula di pantai yang berjarak sekitar 500 meter dari kantor Kecamatan Sumur. Entah siapa yang memulai dan apa penyebabnya, tiba-tiba sudah banyak warga kalang kabut. Kebetulan, Bupati Pandeglang Irna Narulita dan rombongannya sedang berada di pantai itu.
Tak ayal Irna ikut berlari-lari. Camat Sumur Endin Haerudin sampai harus memapah Irna yang napasnya sudah tersengal-sengal. ”Aduh, hoaks lagi. Kami jadi susah bekerja. Sudah datang ke lokasi yang dilanda tsunami tetapi harus balik lagi,” ujar Irna sambil duduk dan mengelus-elus dadanya.
Komandan Komando Distrik Militer 0601/Pandeglang Letnan Kolonel (Inf) Nur Heru yang juga berada di Desa Sumberjaya saat kegemparan itu berlangsung, mengatakan, sejak tsunami melanda, kepanikan sudah terjadi empat kali di Kecamatan Sumur.
Kepanikan itu terjadi karena sejumlah warga menyebarkan informasi mengenai naiknya air laut. Persepsi mereka saat mengamati fenomena alam berbeda-beda. ”Ada warga yang melihat air laut berwarna hitam atau pasang lalu panik dan berteriak-teriak,” kata Heru.
Untunglah kabar itu tak benar. Sekitar satu jam setelah kegaduhan itu terjadi, warga kembali beraktivitas seperti biasa. Jalan yang sebelumnya dipadati warga sudah bisa dilalui kendaraan bermotor. Mobil-mobil terlihat kembali berlalu-lalang.
Kondisi alam yang tak kunjung stabil jelas menjadi tantangan sendiri untuk mengalahkan ketakutan. Hoaks kerap menyebar melalui media sosial selain simpang siur informasi yang disampaikan warga. Beberapa warga curhat kepada wartawan Kompas mengenai kecemasan mereka akan tsunami susulan.
Apalagi, saat hilir mudik di pantai, hampir tak ada bangunan tinggi yang bisa menjadi tempat berlindung seandainya tsunami terjadi lagi. Cukup mengejutkan sebenarnya melihat beberapa pedagang berani berjualan di Pantai Carita meski gemuruh Gunung Anak Krakatau terdengar sangat jelas.
Selaras dengan ketakutan, gangguan psikologis yang lebih dalam pun ditengarai marak seusai bencana terjadi. Saat mewawancarai korban tsunami, wartawan Kompas sempat bertemu setidaknya tiga warga yang diduga mengalami gangguan jiwa. Interaksi itu, misalnya, terjadi saat peliputan di posko pengungsian lapangan futsal, Desa Rancateureup, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Sabtu (5/1/2019).
Ketika sedang memotret anak-anak bermain lompat tali, wartawan Kompas dihampiri seorang laki-laki berumur sekitar 20 tahun. Pria itu meminta wartawan Kompas memotret aktivitas anak-anak tersebut sambil tertawa. Wartawan Kompas pun memberikan senyuman karena sejak awal sudah memotret aktivitas anak-anak tersebut.
Ketika selesai memotret, wartawan Kompas mewawancarai pria itu dan menanyakan asal serta kondisi rumahnya. Namun, laki-laki tersebut menjawab dengan kalimat rancu dan berbicara tak jelas sambil tertawa.
Wartawan Kompas terdiam sejenak dan berusaha mencerna kalimat pria tersebut. Karena semakin tidak jelas pembicaraannya, wartawan Kompas pun pergi. Dari kejauhan, wartawan Kompas melihat pria tersebut tertawa sendiri tetapi tidak ada orang di sekitarnya.
Selaras dengan ketakutan, gangguan psikologis yang lebih dalam pun ditengarai marak seusai bencana terjadi.
Wartawan Kompas juga bertemu warga yang diduga mengalami gangguan jiwa di Kampung Lelang Baru, Desa Panimbangjaya, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Rabu (2/1/2019).
Saat mewawancarai seorang nelayan yang kehilangan pekerjaan karena kapal dan alat tangkapnya hancur tergulung tsunami, seorang pria berumur sekitar 30 tahun datang lalu menawari mi instan. ”Mau mi? Ini tinggal satu lagi,” tutur pria berambut cepak tersebut sambil tertawa dan memakan mi instannya tanpa dimasak terlebih dahulu.
Namun, wartawan Kompas menolak karena belum merasa lapar dan membalasnya dengan senyuman. Dia pun terlihat ingin bergabung dalam obrolan kami dengan nelayan itu. Sesekali dia menimpali dengan kalimat yang tidak jelas.
Setelah beberapa saat, kami terdiam. Tidak lama kemudian, pria tersebut berjalan menjauh dan meracau.
Selanjutnya, wartawan Kompas kembali bertemu orang yang diduga mengalami gangguan jiwa saat meliput di Kampung Lentera, Desa Cigondang, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Kamis (3/1/2019). Kampung ini berada di bibir pantai sehingga sebagian besar rumah penduduk hancur diterjang tsunami.
Saat hendak menghampiri korban yang kehilangan rumahnya, wartawan Kompas didatangi seorang pria paruh baya. Dia menawarkan parkir mobil, padahal daerah tersebut dipenuhi puing-puing rumah.
Wartawan Kompas berupaya menghindar tetapi pria itu berusaha terus mengejar sambil mengobrol dengan arah pembicaraan tak jelas. Hingga akhirnya, seorang pria lain menghampiri dan mengajak wartawan Kompas berjalan mendekati rumah yang masih berdiri. ”Di sini banyak yang stres dan susah diajak ngobrol, apalagi setelah terjadi bencana tsunami,” tutur pria tersebut.
Kebingungan juga terlintas saat meliput di lokasi lain karena beberapa narasumber menyampaikan jawaban yang tak jelas. Entah mereka tidak paham bahasa Indonesia atau mereka mengalami gangguan jiwa.
Beberapa calon wartawan Kompas yang sedang meliput Natal dan Tahun Baru 2019 di Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, pada akhir 2018 juga mendadak ditugaskan ke Kabupaten Pandeglang saat tsunami menerjang. Tak ayal, persiapan pakaian tak memadai karena hanya cukup untuk dua hari.
Di tengah jalan, turun hujan deras. Baju yang melekat pun basah kuyup. Sembari berboncengan dengan sepeda motor, mereka tetap tancap gas dan menggigil kedinginan. Kerisauan pun menjalar karena zona waspada dengan jarak 500 meter dari bibir pantai telah dikeluarkan.
Tak urung dua calon wartawan Kompas itu tetap semangat lantaran baru pertama kali meliput daerah yang terdampak bencana. Mereka menyusuri jalan-jalan sempit di tengah kantong-kantong berisi jenazah dan permukiman yang luluh lantak dihantam tsunami. (HARRY SUSILO/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/PRAYOGI DWI SULISTYO/KURNIA YUNITA RAHAYU/PRADIPTA PANDU MUSTIKA/INSAN ALFAJRI/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)