Meski di Jepang, Sambal Tetap Tak Boleh Ketinggalan
Dari taman-taman yang indah hingga kota yang tertata rapi, Jepang memesona. Naik kereta cepat Shinkansen hingga toilet yang ”bergemericik” menjadi bonus pengalaman menarik selama kunjungan ke sana. Namun, soal makanan, tetap sambal dari Tanah Air juaranya untuk menggugah selera.
Akhir November 2018 hingga 4 Desember 2018, Kompas berkesempatan mengikuti program Jenesys (Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youth) 2018. Kompas menjadi satu dari total delapan pemuda yang bekerja di industri media Indonesia yang berangkat ke Jepang berdasarkan undangan Kementerian Luar Negeri (MOFA) Jepang. Detail kegiatan tersebut ditangani oleh Japan International Cooperation Center (JICE).
Tema program Jenesys 2018 bagi media adalah tentang transportasi publik dan mitigasi bencana alam. Peserta diajak mendengarkan paparan Prof Atsushi Fukuda, pakar transportasi Jepang dari Nihon University, menikmati transportasi modern kereta supercepat Shinkansen, menengok bekas bencana tsunami di kota Sendai, Prefektur Miyagi, mengunjungi perusahaan media terkait pembelajaran bencana, menikmati taman kota Tokyo, dan kegiatan lainnya.
Delapan orang itu adalah jurnalis Kompas, Jakarta Post, Rakyat Merdeka, kantor berita Antara, Metro TV (2 orang), dan TVRI (2 orang). Semua peserta yang diundang, hampir semuanya adalah orang yang belum pernah mengunjungi Jepang.
Hari pertama, kami tiba di Bandara Haneda sekitar pukul 06.50 waktu setempat. Selanjutnya, kami dijemput oleh Takei-san, petugas dari biro travel yang ditunjuk. Kami mengenalinya karena ia mengacungkan tulisan Jenesys 2018 di depan dadanya, menyambut setiap penumpang yang keluar dari imigrasi.
Baca juga:
Menembus Jantung Borneo Bersama Orangutan Albino
Meski tidak lancar berbahasa Inggris, Takei-san coba memahami pertanyaan kami. Ia menangkap perkataan kami dengan ”mengunci” satu dua kosakata bahasa Inggris yang diketahuinya. Termasuk, saat kami bertanya soal tempat penukaran uang dan di mana kami akan menginap nantinya. Saya merasa salut dengan usaha kerasnya untuk mengerti dan melayani kebutuhan kami.
Setelah dari bandara, kami diajak ke tengah kota Tokyo. Sedianya kami akan diajak makan siang dahulu sebelum kemudian check in di hotel yang disiapkan. Namun, karena masih terlalu pagi, kami pun berhenti di dekat Taman Timur Istana Kaisar Jepang di Tokyo. Takei-san mengajak kami turun dan mengenalkan kami dengan pemandu di keseluruhan program. Pemandu kami bernama Yuki-san.
Yang mengejutkan, Yuki-san sangat fasih berbahasa Indonesia. Bahkan, beberapa kosakata ”gaul” yang mungkin tidak ada di kamus, dia paham artinya. Eh, rupanya, Yuki-san pernah tinggal di Kepulauan Riau selama 12 tahun. Ia adalah pekerja perusahaan elektronik yang sempat mengirimnya bertugas di Riau belasan tahun lalu. Selama di Indonesia, Yuki-san pun menjelajah ke berbagai pelosok Tanah Air, seperti Bali hingga Papua. Pantas saja ia sangat paham dengan bahasa Indonesia.
Secara umum, perjalanan kami di Jepang sangat menyenangkan. Sebuah pengalaman yang rasanya ingin diulang lagi dan lagi.
Kenapa menyenangkan? Bayangkan saja, selain diajak menimba ilmu soal penanganan bencana dan transportasi, kami juga banyak diajak wisata alam dan sejarah, kuliner, serta tentu saja belanja!
Di setiap spot, tak lupa kami disilakan berfoto sebanyak-banyaknya. Bahkan, mereka selalu siap membantu memotret kami yang ingin narsis di akun media sosial masing-masing. Pokoknya, perjalanan saat itu adalah impian anak muda banget.
Hari kedua, kami diajak menjelajahi kota kecil di Jepang utara, yaitu kota Sendai di Prefektur Miyagi. Rombongan jurnalis yang tergabung dalam program Jenesys 2018 tiba di Sendai dengan mengendarai kereta ultracepat Shinkansen dari Stasiun Tokyo. Rombongan naik kereta Hayabusa menuju Sendai. Menaiki kereta berkecepatan 320 kilometer per jam tersebut, perjalanan sejauh 351 kilometer ditempuh hanya dalam waktu 1,5 jam.
Kami melangkah keluar Stasiun Sendai setelah sebelumnya makan siang di restoran bawah tanah. Di Jepang, bawah tanah memang lebih banyak dimanfaatkan untuk stasiun, mal, dan restoran. Suhu sore itu sekitar 8 derajat celsius. Lebih dingin jika dibandingkan dengan Tokyo yang saat itu masih sekitar 14 derajat celcsus. Kami pun mulai menggigil.
Menaiki kereta berkecepatan 320 kilometer per jam tersebut, perjalanan sejauh 351 kilometer ditempuh hanya dalam waktu 1,5 jam.
Dengan berjalan kaki, ditemani Kato Azu dari perwakilan JICE serta Yuki Shigematsu, penerjemah, kami menuju hotel yang letaknya hanya 10 menit dari Stasiun Sendai. Kami menginap di Hotel Greenchain. Lokasinya tidak terlalu jauh dari shopping arcade Aoba Sendai dan pusat perbelanjaan murah seperti AEON dan Don Quijote.
Di Sendai, kami diajak menikmati kota yang tidak sepadat Tokyo. Jika penduduk Tokyo sebanyak 13 juta orang, penduduk di Sendai sekitar 1 juta orang. Meski berbeda dari jumlah penduduk, secara umum kota Sendai memiliki tipikal sama dengan Tokyo: kota dengan bangunan modern, trotoar selebar 8 -10 meter yang dilengkapi penanda jalan untuk orang buta, jalan raya dengan 5-6 lajur, dan tentu saja suhu udara dingin karena Jepang sudah memasuki musim dingin.
Meski suhu cukup dingin, tetap saja ada orang-orang yang berjalan kaki pada dini hari saat suhu mencapai 1 derajat celsius. Orang Jepang memang sangat terbiasa jalan kaki dan antre. Tidak ada ceritanya orang Jepang bergerombol masuk kereta, lift, atau naik tangga. Mereka memilih berjajar rapi di sebelah kiri hingga orang di depannya naik terlebih dahulu.
Kekaguman lain adalah orang Jepang sangat fokus dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Takei-san dan Yuki-san, yang sempat menemani rombongan kami berjalan-jalan, selalu sabar menanti di rombongan paling belakang. Mereka akan menunggu dan membiarkan kami hingga benar-benar ”selesai” dengan kegiatan kami (misalnya saat berjalan-jalan).
Hampir mereka tidak pernah menyuruh kami buru-buru mengejar rombongan kami yang sudah berjalan di depan. Mereka sangat menghormati aktivitas kami. Mereka baru mengingatkan jika kami sudah mulai molor dan melanggar jam yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Satu lagi yang menurut kami sangat fantastis. Saat bekerja, dedikasi orang Jepang sungguh luar biasa. Takei-san, misalnya, adalah sosok yang saat kami makan akan selalu berdiri dan mengawasi segala aktivitas kami. Dia berdiri tak jauh dari kami, diam dan mengawasi kami makan. Melihat jika sewaktu-waktu kami membutuhkan sesuatu. Kenapa dia tidak ikut makan atau setidaknya duduk bersama kami? Begitu pikiran kami saat itu.
Serius. Perempuan berusia sekitar 40 tahun itu benar-benar berdiri sepanjang waktu kami makan. Ia pun tak mau makan meski sudah ditawari untuk ikut bergabung makan bersama.
Keindahan lain yang saya temukan selama di Sendai adalah warna-warni dedaunan. Ada daun momiji yang memerah, daun ginko yang menguning indah tetapi memiliki buah berbau busuk, serta pepohonan pinus nan menghijau. Warna-warni itu, terutama momiji, adalah sisa-sisa daun yang terlambat gugur.
Keistimewaan lain dari trip ke Jepang ramai-ramai saat itu adalah modernitas dan kecanggihan teknologinya. Pengalaman naik Shinkansen tentu salah satunya. Hal lain adalah toilet, yang setiap hari pasti kami temui. Toilet Jepang rasanya sangat manusiawi. Ia bisa menyemburkan air hangat dengan berbagai ukuran kekuatan air.
Dudukan toilet pun bisa dibuat hangat. Hal yang sangat dibutuhkan saat musim dingin seperti saat itu. Lebih mengejutkan lagi, toilet juga dilengkapi fitur suara air gemericik. Dengan demikian, saat kita tidak nyaman dengan kondisi perut dan diperkirakan bisa menimbulkan ”bunyi-bunyian” memalukan saat buang air, maka fitur gemericik air bisa dihidupkan. Maka, orang bisa buang air dengan nyaman.
Dari semua hal menyenangkan itu, tetap ada hal tidak mengenakkan dalam perjalanan kami, yaitu tidak semua makanan cocok dengan perut kami. Makanan serba ikan rupanya tidak selalu menggugah selera lidah Nusantara kami berdelapan. Untungnya, tiga jurnalis cowok di antara kami punya bekal andalan selama di Jepang, yaitu sambal.
Azizul, juru kamera dari Metro TV, membawa bekal sambal roa satu kantong plastik besar. Agra, juru kamera TVRI, membawa sambal teri sekantong plastik besar. Serta masih ada Bernardy dari kantor berita Antara membawa saus sambal botolan.
Untungnya, tiga jurnalis cowok di antara kami punya bekal andalan selama di Jepang, yaitu sambal.
”Bang, masuk enggak?” pertanyaan kami kepada kawan lainnya saat makanan datang. ”Tenang, ada sambal,” kata mereka jika menu makanan dirasa tidak cocok di lidah. Jadi, apa pun menu makanan selama di Jepang, kami berdelapan selalu menambahkan sambal ke mangkok nasi (untung kami selalu mendapat menu yang dilengkapi nasi putih). Para cowok itu membagi sambal yang mereka bawa di setiap kesempatan. Belakangan, muncul juga abon sapi di meja kami. Entah siapa yang membawa.
Satu hal menjadi catatan kami sebelum pulang kembali ke Indonesia. Jepang bukanlah negeri ”kasual”. Mereka selalu mementingkan penampilan rapi, bahkan saat turun makan di restoran setiap pagi. Ada aturan disebutkan bahwa sandal kamar hotel hanya berlaku di dalam kamar, tidak boleh dibawa ke meja makan. Baju dikenakan pun juga harus rapi. Tak ada sarapan pagi berpiyama seperti di Indonesia.
”Saya rasa, Indonesia adalah negeri casualism (kasual). Di sini, hanya mau makan saja repot sekali. Tidak bisa pakai baju seenaknya,” kata Riza, teman sekamar selama di Jepang.
Masih ada beragam aturan menjadi ”warga Jepang” yang baik yang selalu diingatkan ke kami. Di antaranya, saat naik elevator/tangga harus berdiri di sisi kiri (sisi kanan hanya untuk mereka yang terburu-buru dan mau mendahului), saat hendak masuk kereta harus mendahulukan mereka yang turun terlebih dahulu, seusai menggunakan kamar ruangan harus tetap kering sehingga kalau basah harus dilap, tisu toilet harus dibuang di dalam lubang toilet (karena sistem toilet Jepang bisa menghancurkan tisu), dan yang terpenting jangan pernah telat saat janjian. Bagi orang Jepang, telat adalah penghinaan. Apa pun alasannya. Jadi, menurutmu enak tinggal di Indonesia atau Jepang?