Hari menjelang tengah malam ketika saya dihubungi via pesan Whatsapp dan ditugaskan berangkat ke lokasi bencana longsor di Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat. Rasanya campur aduk. Sedih karena mengingat peristiwa itu. Kaget karena tidak menyangka akan ditugaskan ke sana sekaligus ”senang” karena akan menghadapi tantangan baru dalam peliputan. Bagi wartawan baru seperti saya, meliput berbagai peristiwa menjadi kesempatan yang sangat berarti.
Ini pengalaman kedua meliput bencana longsor untuk saya yang baru sembilan bulan diangkat sebagai wartawan harian Kompas. Pengalaman pertama adalah saat meliput longsor di Culamega, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, bulan November lalu. Bagi saya pribadi, meliput peristiwa semacam ini bukan sekadar memberi laporan tentang bencana, melainkan juga memperkaya jiwa saya melalui empati yang tumbuh dan rasa syukur masih diberi kesehatan dan keselamatan.
Selain itu, peliputan semacam ini semakin mengasah saya agar tahan banting di lapangan. Maklum, longsor biasanya terjadi di lereng bukit atau gunung dengan medan yang tidak mudah. Saya punya waktu tidak sampai dua hari untuk mempersiapkan diri, selain fisik juga mental. Persiapan menjadi kunci keberhasilan peliputan.
Hari Minggu (6/1/2019), saya berangkat pagi-pagi dengan harapan sampai di tujuan tidak terlalu sore dan sempat bertemu dengan Mas Tatang Mulyana Sinaga yang akan saya gantikan. Mas Tatang sudah bertugas meliput di lokasi bencana selama sepekan sejak peristiwa terjadi.
Selain itu, peliputan semacam ini semakin mengasah saya agar tahan banting di lapangan.
Saya harus menyetir dengan hati-hati melewati Jalan Nasional III menuju Sukabumi, terutama ketika sampai di jalur Cibadak. Di jalur ini, sejumlah titik merupakan turunan ekstrem yang butuh konsentrasi tinggi untuk melaluinya. Kendaraan-kendaran yang lewat harus memperlambat laju agar mampu melintas dengan selamat.
Akhirnya saya tiba di Cisolok, Kabupaten Sukabumi, pukul 13.00. Daerah ini merupakan gerbang menuju Kampung Adat Sinar Resmi yang menjadi lokasi bencana. Beruntung saya sudah melengkapi diri dengan sepatu bot karena kondisi jalan sangat licin dan berbatu.
Saya tidak bisa meneruskan perjalanan dengan mobil karena kondisi tidak memungkinkan. Butuh kendaraan berpenggerak empat roda dan pick-up untuk melewati jalan yang belum beraspal, serta penuh tanjakan dan turunan. Kemiringannya bisa mencapai 30 derajat. Sungguh curam. Perjalanan semakin berisiko karena berbatu nan licin, bak jalur offroad.
Saya harus menggunakan jasa ojek untuk mencapai lokasi. Sebagai akamsi alias anak kampung sini, Kang Fani yang memboncengi saya, mampu melewati medan yang berat ini dengan santai. Padahal, sepeda motor yang digunakannya berjenis matik.
Sepeda motor Kang Fani mampu menaklukkan jalanan kasar dan hanya sesekali berhenti ketika melewati bebatuan yang licin bekas terkena hujan. ”Tenang saja. Ini sudah biasa,” kata Kang Fani yang membuat saya untuk sementara mampu menarik napas lega.
Tidak terbayangkan kalau saya yang harus menyetir sepeda motor itu sendirian. Salah pilih jalur, sepeda motor bisa oleng dan terjatuh. Selama 15 menit, jantung saya terpompa lebih kencang dengan pengalaman berkendara di medan jalanan yang berat dengan motor matik.
Tidak lama, tampaklah rekahan tanah yang menganga. Warnanya coklat kemerah-merahan. Di dekatnya batu-batu besar setinggi orang dewasa berserakan menutupi area persawahan yang kemudian membentuk tanah lapang berlumpur.
Di lereng bagian bawahnya terlihat ratusan manusia berkumpul. Mereka, warga dan petugas, tengah bahu-membahu mencari korban yang masih tertimbun. Di sinilah juga medan saya. Medan yang harus saya gali informasinya untuk kemudian dilaporkan kepada pembaca.
Waktu kedatangan saya bertepatan dengan hari terakhir pencarian korban. Seorang warga belum ditemukan. Untuk mencarinya, petugas menyemprotkan air ke arah bebatuan besar. Dengan harapan, tanah yang berubah menjadi lumpur karena terkena air mampu menggeser bebatuan.
Di sudut yang lain, tampak alat berat mengangkat puing-puing yang diperkirakan menimbun korban. Selama berjam-jam berlangsung demikian hingga akhirnya senja pun tiba. Sayangnya, korban tidak kunjung ditemukan.
Saya pun menghadapi tugas ”berat”. Mewawancarai korban selamat atau keluarga korban jiwa adalah tugas berat. Bagaimana saya harus pintar-pintar bersikap dan memilih kata agar pertanyaan saya efektif sekaligus tidak menyakiti atau menambah rasa sedih korban dan keluarganya.
Kadang-kadang saya tidak tega untuk terus bertanya kepada korban atau keluarganya. Namun, di sisi lain, saya ingat tugas yang harus diselesaikan. Beruntung, warga bersikap terbuka. Mereka bahkan mengatakan kondisinya sangat terbantu oleh pemberitaan media.
Saya juga harus bersikap waspada dan hati-hati karena lokasi bencana adalah tempat yang masih labil. Jangan sampai justru saya yang menjadi korban berikutnya dan membuat susah orang lain.
Selepas Maghrib, Komandan Korem 061 Suryakancana Kolonel Mohammad Hasan mengumumkan keputusan penghentian situasi tanggap bencana. Dengat berat hati ia menyatakan pencarian oleh tim gabungan terhadap korban terakhir tidak dilanjutkan.
”Kami sudah berusaha, tetapi korban tidak kunjung ditemukan. Kami meminta maaf kepada keluarga korban. Semoga almarhumah mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya,” tutur Hasan terbata-bata.
Kilat lampu kamera dan berpuluh pasang mata menatap jumpa pers terakhir itu. Riuh wartawan yang hadir tak mampu menyembunyikan suasana haru yang menyeruak. Pencarian ini menyisakan satu korban yang belum ditemukan. Meski berusaha untuk bersikap profesional, tak urung saya sempat ikut larut dalam duka di kampung yang tertimbun bencana ini. Delapan hari meliput di sana menjadi pengalaman yang sangat berharga.