Wartawan Butuh Informasi, Korban Butuh Dimengerti
Liputan bencana menyimpan segudang fakta menarik untuk dipublikasikan. Mulai dari gambaran kawasan terdampak, proses evakuasi hingga akhir pilu para korban. Namun, semuanya tak akan sempurna bila tak dibubuhi empati. Liputan bencana bukan mengeksploitasi kesedihan korban tapi memberi semangat penyintas bangkit lagi untuk masa depan lebih baik kelak.
Liputan bencana menyimpan segudang fakta menarik untuk dipublikasikan. Mulai dari gambaran kawasan terdampak, proses evakuasi hingga akhir pilu para korban. Namun, semuanya tak akan sempurna bila tak dibubuhi empati. Liputan bencana bukan mengeksploitasi kesedihan korban tapi memberi semangat penyintas bangkit lagi untuk masa depan lebih baik kelak.
Malam terakhir tahun 2018 di Kota Bandung, Jawa Barat, bersiap meriah. Keramaian manusia di beberapa titik mulai terlihat. Ledakan kembang api, meski terlalu dini, mulai terdengar terasa menghangatkan malam jelang pergantian tahun.
Bagi wartawan, momen itu tak boleh dilepaskan. Kamera sudah dimasukkan dalam tas. Sepeda motor menunggu digas. Semarak awal tahun baru 2019 siap diabadikan.
Sejumlah informasi terkait malam pergantian tahun pun coba digali. Grup WhatsApp dibuka satu per satu. Namun, bukan tempat menarik yang didapat. Justru kabar duka yang hadir di layar telepon genggam.
Berjarak sekitar 190 kilometer dari Bandung, kawasan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jabar, dilaporkan tengah dilanda bencana. Tertulis keterangan singkat dalam foto itu, terjadi longsor sekitar pukul 18.00. Lebih dari 30 rumah warga tertimbun tanah perbukitan.
Tak langsung percaya, kabar itu segera lantas dicari kebenarannya lewat Kantor SAR Bandung dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi. Kedua lembaga itu membenarkan kejadian itu. Namun, belum ada keterangan lebih jauh karena petugas sedang dalam perjalanan ke lokasi.
Informasi awal itu lantas disampaikan kepada Kang Cornelius Helmy, Kepala Biro Kompas Jabar. Saat itu juga, dia meminta rangkuman informasi awal itu disusun menjadi berita untuk diterbitkan di Kompas. Saya diminta menyiapkan diri meliput ke lokasi bencana.
Tak tahu sampai kapan, pakaian pun dikemas untuk tujuh hari ke depan. Perhitungannya, jika bencana ini menelan banyak korban, bakal ada masa tanggap darurat selama tujuh hari meski kemudian terbuka diperpanjang bergantung keadaan. Tak ketinggalan sejumlah barang lain, di antaranya jas hujan, payung, kantong tidur, senter, dan peralatan kerja, seperti laptop dan kamera.
Meski tetap bergerak memotret spot perayaan tahun baru, fokus utama sudah tidak ada di hati. Ketimbang mencari angle terbaik, jari jemari sibuk mencari informasi tentang longsor Cisolok. Hingga akhirnya, diketahui, longsor terjadi di Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Cisolok. Desa Sirnaresmi berada di ujung barat Provinsi Jabar. Desa itu berbatasan dengan Provinsi Banten. Melalui Google Maps, estimasi awalnya bisa ditempuh sekitar enam jam.
Hingga akhirnya, Selasa (1/1) subuh, saya tekadkan diri berangkat ke lokasi. Pertimbangannya agar bisa tiba di lokasi longsor sebelum sore. Selain itu, juga untuk meloloskan diri dari kemacetan tahun baru di Kota Bandung.
Bersama beberapa rekan wartawan, kami berangkat pukul 04.30 dan baru pukul 11.15 tiba di jalan masuk Desa Sirnaresmi. Lebar jalannya sekitar 2-2,5 meter. Sejumlah petugas Dinas Perhubungan Kabupaten Sukabumi berjaga dan meletakkan road barrier menutup jalan.
Saya turun dari mobil dan menyampaikan kepada petugas mengenai tujuan untuk meliput. Salah satu petugas mengatakan, mobil tidak diperbolehkan masuk hingga ke lokasi longsor. Setelah beberapa saat negoisasi, izin pun keluar. Namun, mobil hanya diperbolehkan melintas hingga Imah Gede Kasepuhan Sinar Resmi. Jaraknya sekitar 800 meter dari lokasi kejadian. Petugas mewanti-wanti agar memberi jalan bila ada mobil ambulans atau tim SAR gabungan yang melintas.
Saat ingin kembali ke mobil, puluhan kendaraan, baik mobil dan sepeda motor, terlihat sudah antre ingin menuju lokasi longsor. Kami bisa saja masuk lokasi menggunakan mobil. Namun, hal itu urung dilakukan.
Jika memaksa masuk menggunakan mobil, pengendara lain juga pasti akan melakukan hal sama. Bila itu terjadi, tentu akan sangat merepotkan petugas. Semuanya berpotensi mengganggu proses evakuasi karena akses tim SAR gabungan akan terganggu.
Atas pertimbangan itu, kami memilih berjalan kaki. Mobil dititipkan di rumah warga. Perkiraan kami benar. Pengendara lain pun tidak ada yang menerobos penjagaan petugas. Konsekuensinya, perjalanan sekitar 4,5 kilometer ke lokasi kejadian harus ditempuh berjalan kaki. Jalan penuh tanjakan dan turunan. Kemiringannya hingga lebih dari 30 derajat.
Baru satu kilometer, lelah mulai terasa. Lutut bergetar setelah melalui tanjakan dan turunan. Menyesal tidak rutin olahraga sehingga fisik mudah lelah. Istirahat sejenak dan duduk di batu di pinggir sungai jadi pelipur lara. Saat mengatur nafas yang ngos-ngosan, terlihat melintas warga menggunakan sepeda motor. Saya tak membuang peluang untuk menumpang.
Senang rasanya mendapat tumpangan. Apalagi di depan sudah terlihat jalan menanjak. Namun, setelah dibonceng sekitar 300 meter, motor berhenti. Ternyata bapak baik hati itu tak hendak pergi ke lokasi bencana. Ia punya tujuan lain, menengok ladang yang kebetulan searah.
Berat rasanya turun dari motor itu. Namun, perjalanan harus tetap berlanjut. Banyak tanjakan dan turunan menanti. Ucapan terima kasih dilontarkan. Namun, saking lelahnya, saya lupa bertanya siapa namanya.
Kami kembali berjalan kaki. Di perjalanan, saya mendapat tumpangan sepeda motor lagi. Namun, hanya sekitar 500 meter. Perjalanan pun kembali harus dilanjutkan berjalan kaki. Akhirnya, kami tiba di lokasi longsor sekitar pukul 13.00. Butuh satu setengah jam hanya untuk tiba di lokasi kejadian.
Di sana, material longsor terlihat berasal dari bukit di dekat permukiman warga. Selain tanah, longsor juga membawa bebatuan dari atas bukit menerjang rumah-rumah warga. Kampung Garehong rata dengan tanah.
Empati
Lokasi longsor juga sudah dipenuhi ratusan orang. Kebanyakan adalah warga dari kampung atau desa lain yang ingin menonton. Sekali lagi ironi itu hadir. Bencana seharusnya bukan tontonan.
Akibatnya tidak sederhana. Dua ekskavator tidak dapat digunakan dengan optimal karena pergerakannya terbatas. Apalagi, lumpur hingga setinggi lebih dari empat meter menutupi kampung itu.
Setelah menerobos keramaian, tombol kamera langsung ditekan. Namun, pergerakan kami sangat terbatas. Selain banyak pengunjung, akses jalan yang tersedia tertutup lumpur hingga 50 sentimeter.
Ditambah lagi saat itu mendung. Sekitar 15 menit berselang, rintik hujan mengguyur. Petugas menghentikan proses evakuasi. Warga pun diminta meninggalkan lokasi karena hujan berpotensi memicu longsor susulan.
Saya belum puas memotret. Masih banyak obyek dan tempat yang belum terjangkau. Namun, apalah artinya kepuasan jika mengabaikan keselamatan?
Jurnalis butuh informasi tapi korban juga butuh dimengerti.
Bergeser dari lokasi longsor, saya mencari posko pengungsian. Ternyata tidak ada. Dari sedikit pengalaman meliput longsor atau bencana besar, baru sekali ini tidak ada posko pengungsian.
Saya bertanya kepada personel SAR gabungan dan petugas di posko pengaduan mengenai korban selamat. Namun, tidak ada jawaban dari mereka. Beberapa di antara mereka berlalu begitu saja. Hati ini maklum karena mereka mungkin sedang fokus mengevakuasi korban. Dari seorang penjaga warung, saya mengetahui korban selamat mengungsi ke rumah warga di kampung lainnya. Jumlahnya 63 orang.
Tinggal di kampung adat, rasa kekeluargaan dan tolong menolong di desa itu masih kuat. Apalagi, banyak di antara mereka masih berhubungan keluarga. Itu sebabnya tidak ada posko pengungsian karena korban ditampung di rumah warga lainnya. Sirnaresmi berada dalam naungan Kampung Adat Sinar Resmi, salah satu yang masih bertahan di Jabar.
Bermodal informasi dari penjaga warung itu, saya menyusuri beberapa kampung tempat mengungsi korban selamat. Namun, tak semua korban bersedia diwawancarai, bahkan untuk sekadar ditemui.
Mereka masih trauma. Hal ini bisa dipahami. Sebab, ketika ditanya, tentu mereka akan mengingat kembali kejadian mengerikan itu. Terlihat mudah bagi saya yang sedang menggali informasi tapi sulit bagi korban yang mengalaminya.
Gagal mendapat informasi dari dua nara sumber bukan hal yang harus disesali. Tidak ada alasan juga untuk mengeluh dan menggerutu. Saya berusaha memotivasi diri sendiri. Dari 63 korban selamat, dua orang tidak bersedia diwawancarai. Berarti masih ada 61 orang lagi. Pilihan itu lebih dari cukup untuk menggali lebih dalam.
Saya akhirnya bertemu Tandi (32), salah satu penyintas yang terluka. Dia mengungsi ke rumah kakaknya, Suma (50), sekitar 500 meter dari Kampung Garehong.
Tandi masih menahan sakit di dada dan punggungnya. Tubuhnya sempat terkubur material longsor sedalam satu meter selama satu jam. Dia ditolong warga lainnya. Pria yang bekerja sebagai petani itu mengungsi bersama anaknya, Cindy (8). Namun, istrinya, Yami (28), tidak selamat.
Saat mewawancarai Tandi, saya tidak banyak bertanya mengenai istrinya. Saya mendengarkan bagaimana dia dapat selamat dari peristiwa mengerikan itu. Saya juga mewawancarai keluarga korban. Salah satunya Wardi (26). Umi (63), ibu Wardi, menjadi salah satu korban meninggal akibat longsor itu. Jenazah Umi ditemukan oleh tim SAR gabungan, Rabu (2/1). Saya tidak langsung mewawancarai Wardi hari itu. Dua hari kemudian, barulah saya menemuinya lagi. Saat itu, dia sudah cukup tenang untuk menjawab beberapa pertanyaan.
Tak terasa tujuh hari kami berada di Garehong. Sebanyak 32 korban ditemukan meninggal dunia. Belasan berita sudah dimuat di Kompas. Bentuknya beragam, mulai dari headline hingga feature di halaman 1 atau di bagian lebih dalam. Mulai dari evakuasi korban, kondisi penyintas, hingga kearifan lokal yang terus dipelihara di sana.
Sirnaresmi atau Sinar Resmi
Kearifan lokal memang tak dipisahkan dari Kampung Garehong. Warganya masih menerapkan pesan-pesan leluhur, seperti menanam padi sekali dalam setahun dan menyimpan hasil panen di leuit (lumbung padi). Secara adat, mayoritas warga Kampung Garehong mengikut Kasepuhan Sinar Resmi. Sebagian kecil lainnya mengikut Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Ciptagelar. Ketiga kesepuhan itu masih berhubungan keluarga.
Padi di dalam leuit, misalnya, tidak boleh dijual sebelum kebutuhan pangan warga setempat terpenuhi. Padi itu juga kerap dilakukan saat muncul kejadian tak terduga. Besar kemungkinan, kejadian bencana alam, sudah dipikirkan leluhur. Padi dalam leuit adalah cadangan di masa transisi.
Ada kisah unik saat membedakan nama Desa Sirnaresmi dan Kasepuhan Sinar Resmi. Keduanya sering membingungkan awak media saat membuat berita. Saya pun penasaran. Apakah keduanya berkaitan atau justru sebaliknya.
Atas rasa penarasan itu, saya menemui sesepuh Kasepuhan Sinar Resmi Abah Asep Nugraha. Dia membantu saya mengurai benang kusut persoalan Sirnaresmi atau Sinar Resmi yang telah membuat saya beberapa kali ditelepon editor untuk menanyakan hal itu.
Sebelum bernama Sinar Resmi, kasepuhan tersebut bernama Sirna Resmi. Perubahan nama itu dilakukan Abah Asep pada Februari 2002. Abah Asep mengatakan, dalam bahasa Sunda, sirna berarti betah, tenang, atau tidak ada yang mengganggu. Namun, dalam Bahasa Indonesia, sirna sama dengan hilang atau lenyap.
Agar tidak disalahartikan, nama Kasepuhan Sirna Resmi pun diganti menjadi Sinar Resmi. Namun, nama desa itu secara administratif sudah ditetapkan sebagai Desa Sirnaresmi dan tidak ikut diganti namanya.
Tujuh hari meliput longsor di Kampung Garehong membuat saya belajar banyak hal. Tidak hanya menambah pengalaman liputan, melainkan juga belajar berempati kepada penyintas dan kelurga korban. Jurnalis butuh informasi tapi korban juga butuh dimengerti.